Ada sebuah hutan belantara yang sangat cantik jika dilihat
dari ketinggian. Di dalamnya bisa ditemukan banyak tumbuhan dan binatang. Ada
yang cantik, ada yang buas, ada yang lembut. Di hutan belantara itu, ada sungai
yang menyejukkan, ada pula jalanan berbatu yang sulit. Apakah itu merupakan
sebuah keadaan yang ideal? Mungkin ya bagi mereka yang telah sukses
beradaptasi. Bagi mereka yang belum terbiasa, hutan indah ini bisa lebih
mengerikan dari medan perang.
Aku adalah seekor burung merpati berwarna coklat dari hutan
sebelah. Dari atas, aku melihat hutan ini begitu indah dan asri dan aku coba
memasukinya. Saat baru masuk, aku disambut dengan penuh keramahan dan cinta
kasih. Segalanya terlihat indah. Burung-burung berkicauan, suara aliran air
sungai menyejukkan kalbu, kelinci berlompatan gembira, bahkan sang singa pun
hanya berjalan perlahan dengan anggun, tidak ada kesan mengerikan. Kalau dalam
menyusuri hutan ini sesekali terluka karena terkena duri, luka itu juga akan
cepat sembuh.
Aku disambut oleh si Burung Elang. Dia mau berteman
denganku, tapi aku menghormatinya sebagai senior. Si Burung Elang memujiku, ia
bilang, aku mempunyai banyak kelebihan, dan aku akan bisa sukses di hutan ini. Aku
bersyukur diterima dengan begitu ramah. Burung Elang membanggakan aku ke
penduduk hutan lainnya.
Aku berpikir, aku bisa tinggal di sini selama-lamanya. Meski
di sini aku harus puas dengan makanan yang seadanya, tapi perjalanan di sini
membuat semuanya worth it. Sesekali tertusuk duri dan berdarah, itu biasa.
Apalagi, aku bertemu seekor burung merpati yang menjadi teman baikku. Burung
merpati ini berwarna abu-abu. Tadinya ia juga dari luar hutan ini, namun ia
telah sukses beradaptasi dan menjadi penghuni tetap hutan itu. Kita menjadi
teman baik karena kita berbicara bahasa yang sama, berkicau dengan nada yang
sama.
Akupun semakin mencintai hutan ini dan ingin tahu segala
seluk beluknya. Aku ingin mengenal semua penduduknya. Aku menghormati pemimpin
hutan ini. Akupun mulai menaati aturan hutan ini dan berperilaku bagai salah
satu anggotanya. Gerak gerikku sudah mencerminkan hutan ini. Berbekal rasa
cinta, ingin tahu, ingin memiliki, aku memosisikan diriku sebagai salah satu
bagian dari mereka.
Aku menemukan satu sudut yang nyaman di hutan itu. Letaknya
di dekat sungai yang airnya jernih. Di sana, aku membangun rumah, membangun
kehidupan, bersiap-siap untuk menetap di sana. Tetangga-tetangga menyambutku
dan aku menyukai mereka. Mereka hidup dengan berpedoman pada peraturan dan
kebiasaan setempat. Aku berusaha mengikuti sebisaku. Sebagai warga baru, pasti
tidak bisa langsung menyesuaikan diri, dan aku tahu diri. Aku tidak mungkin
mengacak-acak sistem dan kebiasaan yang ada. Aku hanya diam di sangkarku,
bermain sendiri, terkadang dengan si Merpati Abu. Aku menyibukkan diri dengan
meng-explore hutan itu. Terbang ke sana kemari, naik turun, keluar masuk. Yang
jelas, aku tidak mengganggu siapapun.
Aku mulai berkontribusi semampuku bagi sudut hutan itu.
Penduduk hutan juga mulai menerima dan menyukaiku. Namun siapa yang sangka. Si
Elang yang mendekati pondokku yang nyaman. Ia bilang, aku telah merusak komunitas
pojokan itu. Aku diminta untuk menyesuaikan diri sesuai standarnya. Aku
menolak, bukan karena aku tidak menghormatinya, namun karena tidak sejalan
dengan pemikiranku. Akupun heran, setauku komunitasku itu welcome-welcome saja
sama aku dan mereka menyukaiku. Tapi ia bilang, tidak apa tidak mengikuti
maunya dia, tapi itu akan membuat aku tersiksa.
Lalu akupun mulai dikucilkan olehnya. Tak kusangka, tersiksa
yang dia maksud adalah “penyiksaan” yang disengaja. Di hutan yang besar dan nyaman ini, aku mulai
merasa tersiksa. Sebagai makhluk hutan, rasa self-defense ku mulai bangkit. Aku
mulai menyakiti diri sendiri dan makhluk sekelilingku, bahkan si Merpati Abu
yang paling menyayangiku. Si Merpati Abu memintaku untuk pergi demi kebaikanku
sendiri, mencari habitat yang baru. Pertamanya aku tidak rela meninggalkan
hutan yang indah ini. Namun semakin lama, aku semakin lemah, semakin tersiksa,
dan semakin sedih. Sayapku patah. Ketika aku ingin berkicau, aku disuruh diam
dan jangan berisik. Si Elang yang tadinya membanggakanku dan memujiku mulai
mencecar dan memojokkanku. Aku berusaha bertahan, namun keadaan semakin gawat. Lalu,
akhirnya tidak ada cara yang lebih baik lagi. Akupun memutuskan untuk
meninggalkan hutan itu.
Ketika “permisi” kepada Si Elang, aku berkata terus terang
kepadanya, kalau ketidakcocokanlah alasan utamanya. Bukan salahnya, dan bukan
salahku juga. Ia bilang, “bukankah ini yang kamu minta dulu?” namun aku
menerjemahkannya sebagai, “rasakan kau tidak mau mengikuti aturanku”. Apapun
itu, aku sudah pasrah. Apapun yang ia tuduhkan, aku terima dengan telinga
terbuka. Yang penting, kita sudah hilang dari kehidupan satu sama lain. Aku tidak
perlu memusingkannya, dia tidak perlu memusingkan aku.
Biarlah dia tetap di hutan ini, dan aku yang terbang pergi,
kembali ke angkasa bebas, di mana tidak ada aturan apapun, tidak ada tuduhan
apapun, tidak ada siksaan apapun. Dari sana, aku bisa melihat hutan itu dari
luar. Kelihatannya masih tetap indah dan cantik seperti yang kukenal dulu.