Ocehan-ocehan saya :)

Tuesday, December 11, 2012

The Survival of The Brown Dove


Ada sebuah hutan belantara yang sangat cantik jika dilihat dari ketinggian. Di dalamnya bisa ditemukan banyak tumbuhan dan binatang. Ada yang cantik, ada yang buas, ada yang lembut. Di hutan belantara itu, ada sungai yang menyejukkan, ada pula jalanan berbatu yang sulit. Apakah itu merupakan sebuah keadaan yang ideal? Mungkin ya bagi mereka yang telah sukses beradaptasi. Bagi mereka yang belum terbiasa, hutan indah ini bisa lebih mengerikan dari medan perang.

Aku adalah seekor burung merpati berwarna coklat dari hutan sebelah. Dari atas, aku melihat hutan ini begitu indah dan asri dan aku coba memasukinya. Saat baru masuk, aku disambut dengan penuh keramahan dan cinta kasih. Segalanya terlihat indah. Burung-burung berkicauan, suara aliran air sungai menyejukkan kalbu, kelinci berlompatan gembira, bahkan sang singa pun hanya berjalan perlahan dengan anggun, tidak ada kesan mengerikan. Kalau dalam menyusuri hutan ini sesekali terluka karena terkena duri, luka itu juga akan cepat sembuh.  

Aku disambut oleh si Burung Elang. Dia mau berteman denganku, tapi aku menghormatinya sebagai senior. Si Burung Elang memujiku, ia bilang, aku mempunyai banyak kelebihan, dan aku akan bisa sukses di hutan ini. Aku bersyukur diterima dengan begitu ramah. Burung Elang membanggakan aku ke penduduk hutan lainnya. 

Aku berpikir, aku bisa tinggal di sini selama-lamanya. Meski di sini aku harus puas dengan makanan yang seadanya, tapi perjalanan di sini membuat semuanya worth it. Sesekali tertusuk duri dan berdarah, itu biasa. Apalagi, aku bertemu seekor burung merpati yang menjadi teman baikku. Burung merpati ini berwarna abu-abu. Tadinya ia juga dari luar hutan ini, namun ia telah sukses beradaptasi dan menjadi penghuni tetap hutan itu. Kita menjadi teman baik karena kita berbicara bahasa yang sama, berkicau dengan nada yang sama.

Akupun semakin mencintai hutan ini dan ingin tahu segala seluk beluknya. Aku ingin mengenal semua penduduknya. Aku menghormati pemimpin hutan ini. Akupun mulai menaati aturan hutan ini dan berperilaku bagai salah satu anggotanya. Gerak gerikku sudah mencerminkan hutan ini. Berbekal rasa cinta, ingin tahu, ingin memiliki, aku memosisikan diriku sebagai salah satu bagian dari mereka.

Aku menemukan satu sudut yang nyaman di hutan itu. Letaknya di dekat sungai yang airnya jernih. Di sana, aku membangun rumah, membangun kehidupan, bersiap-siap untuk menetap di sana. Tetangga-tetangga menyambutku dan aku menyukai mereka. Mereka hidup dengan berpedoman pada peraturan dan kebiasaan setempat. Aku berusaha mengikuti sebisaku. Sebagai warga baru, pasti tidak bisa langsung menyesuaikan diri, dan aku tahu diri. Aku tidak mungkin mengacak-acak sistem dan kebiasaan yang ada. Aku hanya diam di sangkarku, bermain sendiri, terkadang dengan si Merpati Abu. Aku menyibukkan diri dengan meng-explore hutan itu. Terbang ke sana kemari, naik turun, keluar masuk. Yang jelas, aku tidak mengganggu siapapun. 

Aku mulai berkontribusi semampuku bagi sudut hutan itu. Penduduk hutan juga mulai menerima dan menyukaiku. Namun siapa yang sangka. Si Elang yang mendekati pondokku yang nyaman. Ia bilang, aku telah merusak komunitas pojokan itu. Aku diminta untuk menyesuaikan diri sesuai standarnya. Aku menolak, bukan karena aku tidak menghormatinya, namun karena tidak sejalan dengan pemikiranku. Akupun heran, setauku komunitasku itu welcome-welcome saja sama aku dan mereka menyukaiku. Tapi ia bilang, tidak apa tidak mengikuti maunya dia, tapi itu akan membuat aku tersiksa.

Lalu akupun mulai dikucilkan olehnya. Tak kusangka, tersiksa yang dia maksud adalah “penyiksaan” yang disengaja.  Di hutan yang besar dan nyaman ini, aku mulai merasa tersiksa. Sebagai makhluk hutan, rasa self-defense ku mulai bangkit. Aku mulai menyakiti diri sendiri dan makhluk sekelilingku, bahkan si Merpati Abu yang paling menyayangiku. Si Merpati Abu memintaku untuk pergi demi kebaikanku sendiri, mencari habitat yang baru. Pertamanya aku tidak rela meninggalkan hutan yang indah ini. Namun semakin lama, aku semakin lemah, semakin tersiksa, dan semakin sedih. Sayapku patah. Ketika aku ingin berkicau, aku disuruh diam dan jangan berisik. Si Elang yang tadinya membanggakanku dan memujiku mulai mencecar dan memojokkanku. Aku berusaha bertahan, namun keadaan semakin gawat. Lalu, akhirnya tidak ada cara yang lebih baik lagi. Akupun memutuskan untuk meninggalkan hutan itu.

Ketika “permisi” kepada Si Elang, aku berkata terus terang kepadanya, kalau ketidakcocokanlah alasan utamanya. Bukan salahnya, dan bukan salahku juga. Ia bilang, “bukankah ini yang kamu minta dulu?” namun aku menerjemahkannya sebagai, “rasakan kau tidak mau mengikuti aturanku”. Apapun itu, aku sudah pasrah. Apapun yang ia tuduhkan, aku terima dengan telinga terbuka. Yang penting, kita sudah hilang dari kehidupan satu sama lain. Aku tidak perlu memusingkannya, dia tidak perlu memusingkan aku.
Biarlah dia tetap di hutan ini, dan aku yang terbang pergi, kembali ke angkasa bebas, di mana tidak ada aturan apapun, tidak ada tuduhan apapun, tidak ada siksaan apapun. Dari sana, aku bisa melihat hutan itu dari luar. Kelihatannya masih tetap indah dan cantik seperti yang kukenal dulu.

0 comments: