Ocehan-ocehan saya :)

Monday, November 17, 2014

Satu Malam di Bekasi



Bekasi.

Apa yang pertama kali terlintas di kepala ketika mendengar kata “Bekasi”?

Jauh? Panas? Macet?

Meski gue ikut-ikutan ngetawain dan nimpalin meme yang mengolok-olok Bekasi, gue gak bisa memverifikasi tuduhan-tuduhan di atas karena gue belum pernah mengunjungi Bekasi. Nah, hari Sabtu tanggal 15 November 2014, gue berkesempatan untuk mengunjungi #SUN3BKS, hajatannya anak @StandUpIndo_BKS. Kesempatan bagus untuk ketawa-ketawa di malam Minggu, sekaligus mencari tahu apakah Bekasi “segitunya” yang dikatakan orang-orang.

Perjalanan ke Bekasi cukup lancar, ternyata nggak sejauh dan semacet yang orang-orang bilang. Gue sampai di Gedung Pertemuan Prasetya pukul 18.30, satu jam sebelum acara dimulai, dan saat itu seat sudah terisi sekitar 70%. Semua orang yang sudah menunggu saat itu pastilah sudah membeli tiket jauh-jauh hari karena tiket sudah sold-out sejak beberapa hari sebelum acara. Di tengah-tengah penonton yang sudah duduk manis, terlihat beberapa grup penonton yang memakai kaos komunitas masing-masing. Tapi yang paling menonjol tetaplah para panitia yang dengan bangga memakai kaos merah menyala bertuliskan PRIDE OF BEKASI.

Stand Up Night yang diselenggarakan untuk memperingati ulang tahun komunitas Stand Up Indo Bekasi yang ketiga ini diberi nama “Benteng Bekasi”, pelesetan dari “Benteng Takeshi”, game show asal Jepang yang terkenal di tahun 2000-an. Perhelatan akbar anak Bekasi ini dihadiri oleh lebih dari 600 orang dan menampilkan komika-komika Bekasi plus 2 bintang tamu, @Uus__ dan @kemalpalevi. Konsep acara dibuat mirip dengan Benteng Takeshi, lengkap dengan sang Kaisar yang suka ngangkang (@awwe_), pengawalnya yang tukang komentar (@AryaNovrianus), dan dua pembawa acara yang tukang rusuh (@adjisdoaibu dan @hernawanyoga). Konon Sang Kaisar sudah bosan dengan hiburan yang itu-itu saja, sehingga Sang Pengawal menyiapkan hiburan yang baru, yaitu stand-up comedy.

Setelah penonton merasa hangat karena tektokan antara Sang Kaisar dan pengawalnya serta dua pembawa acara rusuh, satu per satu komika Bekasi naik. Secara berurutan, ada @indraturner, @oomjenggot (Riko), @whisnuSS, @aldes_w, @Jekibarr, dan @sigit_exit. Ada yang anak motor, ada yang anak yatim, ada yang anaknya penjudi, ada yang wota. Tapi yang jelas, semuanya anak Bekasi yang gak akan keberatan kalau punya pacar anak Bekasi karena mereka gak akan mengeluh ngapelnya kejauhan. Lucu sih udah pasti karena katanya stand-up comedian yang gak lucu itu dosanya besar. Mereka lebih takut gak lucu daripada masuk neraka karena bercandain Tuhan. Tapi mereka nggak sekadar lucu, mereka lucu yang berkesan. Ada untungnya juga nama mereka belum tenar dan (masih) relatif jarang muncul di TV atau layar lebar, jadinya menonton mereka ngelawak bagaikan menyodorkan kanvas putih ke pelukis random dan hasilnya adalah sesuatu yang ingin gue pamerkan di dinding ruang tamu gue.


Setelah line-up Bekasi, naiklah dua bintang tamu malam itu. Uus, as usual, melemparkan bit-bit pelesetan yang bikin geregetan. Dia kelihatan sekali sangat menikmati panggung dan crowd Bekasi, sampai harus minta perpanjangan waktu sama panitia. Kemal, yang baru-baru ini ngeluarin film yang ada namanya sendiri (prestasi besar, selamat ya!), nampaknya menikmati panggung itu sebagai ajang di mana dia bisa sepuasnya ngomong kata-kata yang gak akan masuk ke filmnya. Karena kalau masuk, pasti filmnya akan terlalu banyak bunyi “tiiit”-nya. Hal ini, disambut begitu hangat oleh crowd Bekasi.

Kalau biasanya acara ditutup oleh bintang tamu yang istimewa, anak-anak Bekasi yang unik dan tiada duanya ini menutupnya dengan sang bintang Bekasi yang literally bintang bener-bener bintang, yaitu @bintangbete. Malam itu, dia didaulat menjadi panglima para penantang Benteng Bekasi. Setnya yang paling pendek di antara penampil lainnya menutup pesta ulang tahun Stand Up Indo Bekasi dengan meninggalkan perasaan puas. Puas bagi penampil, penonton, panitia, dan mudah-mudahan para sponsor.

Pukul 11 malam, gue meluncur kembali ke Jakarta. Beberapa jam lalu di perjalanan menuju Bekasi, pengetahuan gue akan Bekasi masih berupa prasangka, tapi sekarang gue udah boleh mengambil kesimpulan. Kesimpulan yang gue buktikan sendiri kalau Bekasi itu seru, lucu, dan boleh dibilang underrated. Kalau ada yang nanya sama gue, “Hah? Lo nonton stand-up jauh banget sampai ke Bekasi?” Gue akan jawab dengan mantap, “Gak jauh-jauh amat koq. Tapi kalau emang jauh pun, worth it banget bela-belain ke sana untuk nonton #SUN3BKS.”

Selamat @StandUpIndo_BKS!

Viva La Komtung.

Friday, October 24, 2014

Review "Ngeri-ngeri Sedap" by Bene Rajagukguk (+ sedikit kritik sosial)



Bene Dion.
Pertama gw liat Bene stand-up itu di Salihara, tepatnya di acara “7 Hari untuk Rakyat”, di mana ada penampilan 7 stand-up comedian. Namanya “Bene Dion Rajagukguk” itu menarik perhatian gw banget. Bene, yang gw assume diambil dari nama Benedictus, berarti “yang terberkati”, sama seperti nama Bapa Paus yang sebelum ini, Benedictus ke-XVI. Sedangkan Dion mengingatkan gw pada seorang mantan murid gw yang paling ganteng, baik dan pinter. Dan Rajagukguk mengingatkan gw pada seorang Ibu Batak yang baik hati dan lucu yang gw kenal, ber-boru Rajagukguk. 


Salah satu show stand-up terbaik yang pernah gw tonton


Dari penampilan dia di hari itu pula, gw tahu kalau dia seiman dan segereja sama gw (fakta ini agak istimewa buat gw, karena yang gw tahu, biasanya yang Batak itu di gereja sebelah). Bit dia yang soal “sebelum makan bikin tanda salib doang itu sama kayak miscall-in Tuhan” itu berkesan banget, sekarang tiap kali gw melakukan itu (yang mana kalau gw lakukan berarti gw sedang pencitraan), gw inget Bene. Kedua kalinya gw nonton dia stand-up itu di Hard Rock Café, di mana dia jadi opener-nya Pandji. Dua-duanya berkesan. Paling berkesan sama suaranya yang lantang dan tegas, gak klemer-klemer.
       23 Oktober 2014, begitu gw tahu bukunya udah keluar di Gramedia deket rumah, gw langsung beli. Dalam waktu sebulan ini, gw baca 2 buku lain yang ditulis sama comic juga dan dua-duanya gak sreg banget di hati gw. Nah, buku Bene ini sebenernya cover-nya yang paling nggak banget dibanding dua buku itu, tapi isinya, jauh lebih bagus dari ekspektasi gw (yang udah keburu ancur).
       Gw gak bermaksud ngejelekin 2 comic lain itu, tapi gw berharap stand-up comedy itu tetap jadi sebuah kesenian yang berkualitas dan berbobot, bukan ocehan para alay yang ngerasa dunia kiamat kalau gak punya pacar. Mau harga sembako naik kek, ada anak kelaparan dan miskin kek, bodo amat yang penting gua punya pacar. Gw gak mau ada pengkotak-kotakan di stand-up, di mana ada comic alay dan comic keren. Maunya semuanya keren.
Comic/penulis yang pertama, sebenarnya ceritanya bagus-bagus aja, cuma kayaknya dia nulisnya masih belum mahir. Banyak banget yang cuma HAHAHA HAHAHA HAHAHA ga jelas sampe akhir zaman. Kalau dia nulis buku lagi, gw mungkin masih kasih kesempatan kedua. Tapi tidak untuk si comic/penulis kedua ini. Yang ini, gw sampe rada kesel bacanya. Terlalu alay buat gw. Menurut gw, dia sebagai public figure yang punya banyak followers alay remaja, dia harusnya ngasih teladan yang baik. Yah, kalau emang ga punya prestasi atau cerita yang pantas untuk dibagikan, setidaknya gak usah lah cerita bagaimana dia pacaran waktu remaja (ya hak dia sih, cuma ada gitu manfaatnya?), cabut dari sekolah, dan lain-lain seolah-olah itu hal yang keren. Gw yakin koq si dia punya prestasi yang bisa dibanggakan (jadi juara). Kalau cuma modal followers banyak aja, mending gak usah nulis buku sekalian. Sayang-sayang kertas dan pohon. Akhirnya, gw yang mengkoleksi buku dan happy kalau liat lemari buku gw penuh sama buku, ngasih buku itu ke temen dengan pesan “ini buat lu, gak usah dibalikin lagi, gw udah baca (dan gw gak suka)”. 
Koleksi karya-karyanya stand-up comedian. Masih dikit, tapi dari sini mestinya kebaca gw suka yang model gimana.
       Oke. Back to Bene and his book, “Ngeri-ngeri Sedap”.
       Benang merah dari buku ini adalah “Batak”. Gw punya beberapa teman Batak dan mereka semua istimewa, pasti menonjol dibanding yang lain. Bene ini interesting karena dia “Batak banget”, as in bener-bener masih lahir di Sumatera Utara, gak kayak temen-temen gw yang lahirnya di Jakarta.
Cerita dikit. Waktu gw kuliah di Beijing, gw pernah ikut aubade (paduan suara) yang nyanyi lagu-lagu daerah, salah satunya medley lagu-lagu Batak: Tilo-tilo dan Sik-sik Sibatumanikam yang liriknya susah banget. Sebelum kami latihan, kami dikasih tahu apa artinya lagu-lagu itu dari Ibu Tambunan (yang boru Rajagukguk itu). Kami perform lagu itu di upacara 17 Agustus di KBRI Beijing di hadapan Dubes RI. Beliau berkesan sekali dan kemudian mengundang kami untuk perform di resepsi diplomatik HUT RI di Beijing, di mana kami nyanyi lagu ini di hadapan pada diplomat dari seluruh dunia yang sedang bertugas di Beijing. Bangganya minta ampun.
Cover dan judul buku yang alay, namun sangat menjual
       Bene ini nulis bagaimana asal-usul marga orang Batak, lalu dijelasin pula soal yang namanya “marpadan”, bikin gw tahu kalau orang Batak itu gak mungkin cinta pada pandangan pertama, yang mungkin adalah “cinta abis nanya marga”. Ternyata, selain nikah dengan yang marganya sama itu dilarang, nikah sama yang “marpadan” juga a big no-no.
       Melalui buku itu, gw juga jadi tahu bagaimana kondisi di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara saat itu yang begitu mencekam sampai satu keluarga harus jual semua yang mereka punya dan pindah kota.
       Gw sedih membaca bagaimana seorang anak SD yang dihajar bapaknya karena menolak untuk berjualan es lilin di SMP dekat rumahnya. Gw ngerti rasa malunya anak itu, tapi gw ngebayangin, pasti Si Bapak juga gak berdaya dan stress, makanya si anak jadi korban. Si Ibu yang terjepit di tengah-tengah (tapi juga pasti stress dan gak berdaya) harus bijaksana dan menjadi pendamai antara dua pihak yang sedang berseteru ini.
       Gw bahagia membaca bagaimana Bene masuk UGM, dapet beasiswa bergengsi, masuk SUCI, lulus cumlaude, dan ngebiayain orang tuanya ke Jogja (keren pula, ada deg-degannya karena Kelud meletus). Tapi yang bikin gw senyum lebar banget adalah bagaimana kedua orang tua Bene enjoy banget ngeliat openmic di Jogja, yang gw terjemahkan sebagai “Bapak dan Mamak bangga sama Bene dan merestui karier Bene sebagai komik”.
       Inilah. INILAH. Pinter akademis dan bertanggungjawab. Gw masih gak sreg sama yang diomongin di buku ini halaman 101-103. You know, kesannya keren gitu kalo kuliah gak lulus-lulus. Kesannya badass, rebel, ngelawan sistem, tapi sebenernya kurang bertanggungjawab aja, gak mau (atau gak mampu) selesaiin apa yang udah dimulai. Mereka memperdaya orang dengan kata-kata “Ah buat apa cepet-cepet lulus demi ijazah selembar doang”, “Ah pendidikan di Indonesia sampah,” “Pendidikan yang penting itu di masyarakat, bukan di kampus.” Poin terakhir ini bener juga sih, lah kalau emang ngerasa begitu, ya gak usah kuliah aja dari awal. Lulus SMA langsung aja terjun ke masyarakat. I mean, kuliah itu kan gak belajar ilmu doang, tapi juga membentuk manusia jadi seseorang yang bertanggungjawab, mempersiapkan diri dari masa remaja menuju kedewasaan. Yang nyinyir akan mengatakan “ya elu enak, punya duit kuliah, di luar negeri lagi”. Kalau sampai ada yang mikir begitu, then you don’t get my point.
Koq gw ngerasa lebih keren kalau bisa berkarya (jadi stand-up comedian, jadi penulis, apa pun), tapi pada saat yang sama, yang utama tetap tidak diabaikan? Jujur gw prihatin banget liat kelakuan anak remaja zaman sekarang dengan media dan orang-orang di dalamnya yang mengamplifikasikan. Mimin-mimin dan para influencer di twitter, anak presiden, tuhannya para alay dengan followers 8 juta orang itu (salah satunya gw) seolah mendoktrin para remaja kalau jomblo itu kiamat. Harus banget ngebedain yang namanya “malam minggu” dan “sabtu malam”? Ya gw tau itu semua untuk lucu-lucuan, tapi kayaknya udah kebanyakan jadi gak lucu lagi, dan efeknya sepertinya udah jadi lebih gede daripada cuma buat bahan becandaan aja. Yang nyinyir akan ngomong lagi, “Elu pasti jomblo, makanya gampang tersinggung.” Jawaban gw: emang gw gak punya pacar, trus kenapa? Kalau ada yang becanda soal jomblo gitu-gitu, kadang gw ketawa juga koq. Tapi dalam hati gw mikir, manfaatnya apa?
Kenapa sih gak lebih banyak orang kayak Bene? Meski dia datang dari keluarga yang (sepertinya) menengah ke bawah, dari tempat terpencil di ujung Sumatera sana, tapi tetap bisa berprestasi secara akademis, membuat tenang hati orang tua sekaligus membanggakan mereka, dan bisa berkarya juga lewat stand-up? Inilah kenapa gw seneng baca kisah-kisah Bene, yang bermakna. Mungkin Bene sendiri gak ngerasa, tapi dia menyertakan nilai dan pesan mengenai tanggung jawab dan berbakti pada orang tua dalam bukunya.
Berkarya terus ya, Bene! Habis ini aku mau cari-cari video stand-up kau. Kalau kau bikin special show, aku pasti nonton kau! Salam buat Mamak ya!

24.10.2014
CK

Tuesday, October 21, 2014

Review "Gerakan Senyum Massal": A Stand-up Comedy Show



Ternyata, mood seseorang sangat berpengaruh dalam seluruh pengalaman menonton stand-up comedy. Tanggal 21 Oktober 2014, hari SELASA, gw nonton show “Gerakan Senyum Massal”, sebuah stand-up show yang mempunyai tema besar kesehatan jiwa. Intinya, dengan show stand-up comedy, kita diajak untuk senyum dan ketawa untuk jiwa yang lebih sehat.

Tapi, ternyata ini adalah show yang ngasih gw perasaan kecewa setelah nontonnya. But, to be fair, faktor yang bikin gak berkesan 80% ada di gw, dan 20% mungkin ada di panitia. 

Gw bahas faktor dari panitianya dulu. 

Ini udah kali kedua Aethra membuat show seperti ini, dan ini yang pertama kali gw nonton. Sama seperti tahun lalu, line up tahun ini sangat ganas. Ada Gilang Bhaskara, Ernest Prakasa, Sammy Notaslimboy, dan Ryan Adriandhy. MC-nya? Pandji Pragiwaksono. Ada yang bilang ini The Avengers-nya stand-up comedy Indonesia. Tiket yang harganya relatif mahal gw bayar dengan penuh kerelaan karena gw yakin it’s going to be worth the price, dapet buku pula. Gw nonton yang tengah-tengah (middle class) karena ogah beli tiket paling murah yang diberi label tiket “rakyat jelata” (seriously, why?).

Lineup bertabur bintang, harga tiket yang premium, lokasi yang ciamik (Graha Bhakti Budaya TIM) membuat gw datang dengan ekspektasi tinggi. Namun, yang sangat gw sayangkan adalah, kenapa kenyamanan penonton yang udah beli tiket dan dateng dengan effort yang besar dikorbankan? Yang diprioritaskan adalah penonton di TV yang nonton sambil pake daster dan ngemilin kusuka? Untuk kepentingan ngambil gambar yang ciamik, Kompas TV pasang lampu segede-gede apaan tauk yang nyorot ke penonton. Katanya sih, tahun lalu gak kayak gitu. Gw jadi menderita banget nontonnya sambil memicing-micingkan mata kesilauan gitu, dan gw berasa suhu ruangan jadi lebih panas. Trus dugaan sotoy gw, listrik yang mereka pake itu gila-gilaan, jadi lampu di ruangannya suka kedip-kedip kayak listriknya gak kuat gitu. Hal kecil sih, but it matters. 

Okeh, faktor kedua. Faktor diri gw sendiri. Gw menyalahkan diri gw sendiri. 

Show ini kebetulan diadakan di hari Selasa, salah satu hari tersibuk gw, di mana gw biasanya baru selesai kerja jam 8 malam. Hari itu, gw rampungkan semuanya jam 6 sore, tapi gw kerja dengan terburu-buru dan gak tenang. Jam 6.30 baru jalan dari rumah dan sampai TIM udah jam 7.15, pake nyasar-nyasar pula. Gw telat 15 menit. Gw yang udah dibukingin tempat sama Santi harus masuk ke tempat duduk dengan pake manjat-manjat karena kursinya mepet, gak enak pake permisi-permisi sama orang, apalagi acaranya udah mulai. Gw yang udah rapih-rapih pake manjat-manjat gak karuan, di bawah sorotan lampu terang benderang. Setelah berhasil manjat, baru tau kalau gw kenal juga orang yang duduk di sebelah gw dan dia bilang “ih gw bete tadi ada yang ngetek-ngetekin tempat buat yang telat gitu. Taunya elu!!!” Hiks, sungkan pol.

Gw salah. Gw semestinya kelarin kerjaan lebih pagi, gw mestinya bawa mobil sendiri, gw mestinya gak usah maksain duduk di situ. Lesson learned. 

Udah. Sekian bahas yang jelek-jeleknya. Sekarang bahas komikanya. 

Urutannya ya itu tadi: Gilbhas, Ernest, Sam, Ryan. Jujur gw gak begitu konsen nonton Gilbhas karena gw masih menyesuaikan diri di kondisi yang super gak nyaman buat gw itu. Gw sampe tutup muka gw pake buku, bergerak kanan kiri gak jelas. Suasana memang belum begitu panas. Gw hampir gak ketawa sama sekali. Gw cuma inget ada 1 callback soal pesawat di belakang. 

Ernest. Ini gw super-duper tegang karena gw nungguin dia ngomongin soal Beijing. Tapi ternyata enggak. Antara kentang dan lega. Beberapa bitnya udah gw baca di bukunya, dan beberapa di linimasanya. Tetep, gw belom bisa ketawa banget. 

Sammy. Nah ini baru. Ini pertama kalinya gw liat dia live, tapi kira-kira udah tau gayanya dia gimana. Gw suka dia ngutip-ngutip Alkitab macam “berbahasa roh disangka mabuk anggur” (yeah, I’m your typical Middle class-Cina-Kristen). Suka yang nyerempet-nyerempet macam “dari gw masih berbentuk sperma aja gw udah percaya Yesus”. Dan karena topik anak selalu menarik buat gw, gw suka cerita bagaimana Sam memaksa anaknya yang berumur 6 tahun untuk suka main di Dufan karena harga tiketnya mahal. Dari semuanya, gw paling ketawa sama setnya Sam. Mungkin karena saat itu gw lagi moodnya pengen marah-marah. Denger orang marah-marah, gw sedikit lebih lega.

Ryan. Ini juga pertama kalinya gw nonton dia live, tapi dengan otak yang lebih fresh karena gw gak pernah nonton dia standup sebelumnya. Yang paling akrab sama gw itu karya dia di Outwit (itu pun lebih karena Pangeran Siahaan sih (hihihihi), dan gw agak sebel koq mereka keluarin 2 kali doang trus gak ada kabarnya lagi. Anyway…). Dan ternyata, nonton dia standup itu ya 11-12 sama nonton video Outwit. Gak bikin ngakak, tapi mind blowing dan bikin dalem ati ngerasa “anjir, keren”. Gw suka bagian revolving door di salah satu mall di Jaksel, tepatnya di daerah Gandaria. Kertas-kertas dia yang di akhir itu cerdas, mungkin terlalu cerdas. Malam itu gw gak siap untuk karya sekeren itu. Coba kalau dituangkan dalam video Outwit, pasti lebih bisa gw nikmati (dengan porsi Pangeran dibanyakan plis). Gw yakin awalnya banyak yang bingung soal bagian “Yes, No, dan ???”. Ryan ngejelasinnya buru-buru juga.

Terakhir, gw somehow tau kalau Pandji harus buru-buru ke airport abis itu. Gw tau sih gak ada hubungannya sama gw. Mau Pandji ketinggalan pesawat pun, gak ngaruh ke gw. Tapiiii… Gw yang terlalu melankolis ini ngerasa ikut cemas dan panik, kayak pengen acaranya cepet-cepet selesai biar Pandji bisa cepetan ke bandara, biar gw bisa kabur dari tempat menyilaukan itu. Belakangan juga baru tau kalau Ernest pun harus buru-buru. Fuhhh… Pas selesai, rasanya gw lega banget. Gw liat banyak yang ngarep nunggu di bawah panggung buat foto-foto bareng mereka gitu. Tapi, mereka gak bisa memenuhi harapan karena ya emang mereka udah harus cabut. 

Kayaknya, gw harus puasa nonton stand-up dulu bentar. Dua bulan terakhir ini, sejak Agustus, udah agak kebanyakan, jadi overkill sehingga urat ketawa gw udah tumpul. Gw slow down dulu deh, siap-siap buat 2015. Gw denger banyak yang spesial-spesial di tahun depan. Sabar aja dulu. :)

Viva la Komtung

CK
22.10.2014

Sunday, October 12, 2014

Review #TutWuriHangapusi by Luqman Baehaqi



Baru sekitar 9 bulan yang lalu, saya menulis review tentang show stand-up comedy dengan kalimat pembuka “gw (sebenarnya) bukan penggemar stand-up comedy”, karena memang saat itu belum. Tapi sejak saat itu, saya jadi mengikuti perkembangan kesenian komedi tunggal di Indonesia. Bahkan sekarang, kalau teman-teman dekat saya mendengar kata “stand-up comedy”, mereka pasti ingat saya, berkat saking seringnya saya post mengenai stand-up di medsos.

Kata Pandji Pragiwaksono (yah, memang susah membahas soal stand-up comedy di Indonesia tanpa menyebut nama beliau), ada 3 hal yang menunjukkan mengapa stand-up comedy di Indonesia terus berkembang, antara lain:
1.       Film Indonesia di tahun 2014 dengan penonton terbanyak sampai saat ini adalah Comic 8
2.       Seniman Indonesia pertama yang mengadakan tur dunia adalah seorang stand-up comedian
3.       Tetap ada special show dari komika-komika

Pantas saja stand-up comedy terasa melekat sekali pada saya, karena saya terlibat dalam 3 hal itu, meski seiprit saja. Saya adalah satu dari 1,6 juta penonton Comic 8, saya super beruntung bisa ikut Pandji ke Melbourne dan Adelaide dalam tur dunianya, dan saya nonton special show #TutWuriHangapusi persembahan Luqman Baehaqi kemarin, 11 Oktober 2014 di Gedung Pertunjukan Bulungan, Jakarta Selatan.

Saya tahu #TutWuriHangapusi dari RT-an Pandji di twitter, dan begitu tahu show ini tentang pendidikan, saya langsung mau nonton. Kenapa? Karena saya seorang guru dan saya juga ngerasa banyak yang gak beres. Hmmm, sebenarnya berat sekali menyebut diri sendiri guru karena saya merasa belum pantas menyandang sebutan yang terkesan begitu mulia itu. Saya hanya pernah mengajar preschool selama 3 bulan dan sudah setahun belakangan ini jadi guru les Mandarin buat anak-anak, terutama yang sekolah di sekolah “internasional”. Saya gak tahu apa saya layak disebut guru. Saya tidak bekerja di sekolah atau lembaga pendidikan apa pun, saya hanya bantuin anak-anak yang nggak bisa ngikutin pelajaran Mandarin di sekolah untuk tidak dapat nilai jelek dalam ujian mereka. Namun, untuk tulisan ini, kita sepakati saja kalau saya ini guru.

Dua minggu sebelum #TutWuriHangapusi, saya datang ke shownya Pandji di Hard Rock Café, di mana Luqman menjadi openernya. Yang asyik dari nonton stand-up adalah, kita jadi melihat “keanehan” yang sudah terlalu umum sehingga yang aneh terkesan biasa. Contohnya, soal cerita rakyat Sangkuriang dan Malin Kundang. Bit-bit Luqman banyak yang “menampar” seperti itu. Setelah acara di Hard Rock Café, saya somehow kecemplung nimbrung di percakapan antara Luqman dan Pandji mengenai persiapan show ini sampai hampir tengah malam. Saya semakin gak sabar menunggu 11 Oktober 2014.

Beberapa hari menjelang 11 Oktober, banyak sekali komika (dan Luqman sendiri) yang ngetwit mengenai “kenapa #TutWuriHangapusi layak ditonton”, atau sekedar ngetwit “gue akan nonton #TutWuriHangapusi tanggal 11 Oktober nanti”. Dengan cuitan sebanyak ini di twitter, saya gak habis pikir kenapa tiketnya gak sold out.

Meski di awal ada sedikit kesalahpahaman dengan panitia mengenai tiket dan hampir terjadi baku hantam (hehe bercanda, santai aja koq), acaranya sangat menyenangkan. Gedungnya mumpuni untuk pertunjukan stand-up. 2 openernya cadas banget. @Pul_lung menceritakan pengalaman beliau sebagai dosen dan siasatnya ketika memergoki mahasiswi menyembunyikan ponsel di dalam roknya untuk nyontek ketika ujian, @irvan_karta, sang ilmuwan, menceritakan bagaimana “bahagia itu Sederhana” (notice the capital “S”). Mungkin inilah genre stand-up comedy yang cocok sama saya, yang membahas keluarga, anak-anak, pendidikan, dan sebagainya. Kalau nonton komika yang ngebahas alay, jomblo, cewek, pacaran, dan berbagai “keresahan” remaja lainnya, ya mungkin saya ketawa juga, tapi menyisakan sedikit rasa gedeg di hati, dan abis itu gak meninggalkan kesan berarti apa pun. Hiburan sesaat aja. (BTW, Irvan ngomongin JKT48 juga koq, tapi dari sisi kebapakan). 

Sekecewa apa pun kita sama Indonesia, tetap dia ibu kita, dan kita harus menghormatinya

Berikutnya, yang ditunggu-tunggu, Mr. Luqman Baehaqi. Separuh bagian awal sampai pertengahan (waktu Luqman sulap) itu terasa belum panas. Tapi sesudah pertunjukan sulap nyeleneh itu, baru deh asyik. Bagian favorit saya adalah soal peribahasa Indonesia. Sama seperti soal cerita rakyat tadi, peribahasa Indonesia itu aneh dan tanpa sadar membentuk perilaku nyebelin orang Indonesia. Misalnya, kita sudah hafal “ada udang di balik batu” di luar kepala, sehingga kita selalu nyari-nyari “udang”-nya ketika ada yang bersikap baik sama kita. Bit ini memang gak selucu itu sampai bikin perut keram atau jatuh dari kursi, tapi berkesannya tuh di sini… *tunjuk hati dan otak*.

Yang berkesan lagi adalah bit-bit mengenai guru yang relate ke diri saya pribadi. Yang bikin ngerasa “awww so sweet” adalah ketika Luqman cerita ada 3 anak yang ditanya cita-citanya. Anak pertama bilang mau jadi polisi karena “mau ngelindungin Bu Guru kalau ada yang ngejahatin” (aawwww), anak kedua gak mau kalah, mau jadi dokter karena “mau nolongin Bu Guru kalau si Polisi gak bisa ngelindungin” (aaaaaaaaawwwww), dan yang ketiga lebih gak mau kalah lagi, bilang mau jadi tukang gali kubur kalau “polisi dan dokter gagal” (hmph). Plus yang berasa ketampar banget adalah kalimat “kalau anak nilainya jelek, harusnya guru minta maaf ke muridnya”, karena saya baru saja minta maaf ke murid saya yang nilainya jelek kurang dari 12 jam sebelum Luqman mengatakan itu.

Yang bikin saya ngangguk-ngangguk lagi adalah soal guru les. Meski saya guru les, tapi saya suka sedih liat anak-anak saya yang udah capek seharian di sekolah dan sorenya masih harus ketemu saya lagi. Orang tua mereka bayar saya cukup tinggi, jadi seberapa pun saya ingin mereka main, saya harus tetap membuat mereka belajar, karena itu tanggung jawab saya. Maka itu, saya harus pinter-pinter dan kreatif mengambil hati anak supaya mereka masih semangat ketemu saya. Caranya? Luqman ngasih tahu di akhir acara, kalau guru harus senantiasa membuat anak penasaran. Hehehe… 

Terakhir, saat acara sudah selesai, seperti biasa ada sesi foto-foto dan salam-salaman. Waktu Luqman turun dari panggung, dia langsung disambut dengan bear-hug dari Pandji yang duduk di baris pertama. Pandji terlihat terharu dan bangga, Luqman terlihat sangat lega, dan para penonton terlihat sangat bahagia. Sesi kongkow di depan panggung terasa intimate dan hangat. Banyak wajah-wajah (dan suara -_-“) komika-komika yang biasanya hanya saya kenal dari timeline dan TV, hadir berbaur di sana, like a big family. (Itulah kenapa, rugi banget deh kalau penikmat stand-up kemarin gak hadir).

Reuni para komika

Terima kasih Luqman Baehaqi! Semoga seruan dan keresahanmu bergema dan membawa perubahan pendidikan ke arah yang lebih baik. Kalau ada show lagi, saya mau nonton karena pasti masih ada keresahan yang belum sempat disampaikan. Ditunggu ya!

#FotoBarengKomikIdola Luqman Baehaqi :)

Cindy Kusuma
12 Oktober 2014