Ocehan-ocehan saya :)

Showing posts with label Review. Show all posts
Showing posts with label Review. Show all posts

Sunday, March 6, 2016

Review: Margaret Cho’s psyCHO Tour Live in Singapore

5 Maret 2016 adalah hari yang membahagiakan karena gue berkesempatan nonton special-nya Margaret Cho, di Singapura, yang berjudul “There’s no I in team but there’s Cho in psycho” atau disingkat psyCHO. Margaret Cho itu comic perempuan keturunan Korea asal Amerika, isu yang dibawa tentang diskriminasi ras, seks, LGBT, dan soal pemerkosaan. Buat gue, ini kedua kalinya gue nonton special show comic luar setelah Russell Peters.

Dalam satu hari itu, dia show dua kali, pukul 3 sore dan 8 malam. Gue nonton yang pukul 8 malam dan beli tiket yang termurah, SGD88 (belum termasuk booking fee 4 dolar dan convenience fee 1,5 dolar), venuenya di Kallang Theatre, modelnya kalo di Jakarta mirip Gedung Pertunjukan Bulungan tapi lebih tinggi lagi. Jadi gue yang duduk 4-5 baris dari belakang gak keliatan mukanya Margaret. Venuenya yang berkapasitas 1,744 orang malam itu penuh.

Show yang ditulis mulai pukul 8 ternyata baru dimulai pukul 8.20. Dan yang bikin gue lumayan kaget adalah show ini tidak ada openernya. Langsung Unni (Kakak) Margaret pakai kemeja putih dan celana panjang hitam. Gue sangka dia sombong arogan gitu, taunya enggak, biasa aja.

Gue kirain gue gak akan ada masalah dengan bahasa, mengingat gue hampir tidak ada masalah ini sewaktu nonton Russell Peters. Tapi, gue salah. Gue gak begitu nangkep bit-bit pertama Margaret karena beberapa hal. Pertama karena istilah yang dipakai agak asing sama gue (jangan tanya apa, wong nggak ngerti). Yang kedua adalah soal teknis, gue yang duduk nun jauh di sana nggak begitu kedengeran, dan ketika punchline dan orang ketawa, suara ketawanya ngalahin suara utamanya. Kayaknya bukan gue doang yang ngerasa begini, soalnya suaranya langsung dinaikin volumenya. Yang ketiga adalah bit pembukanya yang ngebahas local content. Satu venue pecah banget ketika Margaret nyanyi-nyanyi “China Wine, China Wine” sambil joget-joget, gue bingung apaan. Dan ternyata oh ternyata, dia lagi ngehajar masalah Pdt Lawrence Khong dan istrinya, Sun Ho yang udah bertahun-tahun ini heboh di Singapura. Gue cuma tau-tau dikit, sih. Pokoknya si Lawrence ini pendeta di salah satu gereja Kristen di Singapura, dan beberapa tahun lalu dia kena skandal menggelapkan uang jemaat. Buat apa uangnya? Buat mendanai karir musik istrinya, jadi penyanyi hip-hop di Amerika, dan lagunya judulnya China Wine ini. Skandal ini bikin heboh, karena si Sun Ho ini gak mencitrakan seorang istri pendeta banget. Di video klipnya ini, si Ibu Pendeta pake baju minim dan joget-joget erotis sambil digrepe-grepe gitu. Ada koq di Youtube. Nah balik lagi ke Margaret. Dia protes karena si Lawrence in benci kaum LGBT, dan dia bilang “gue bingung ya, Singapura ini negara yang sangat liberal, tapi sangat kolot dan religius pada saat yang sama” (gue terjemahkan dengan gaya comic Indo gapapa yah).

Referensinya ke budaya lokal sangat keren sih, dan lucu banget. Dia bilang, “Singapur itu bersih banget, di mana-mana bersihhh banget. Tapi di restorannya ga sediain tissue, seolah semua jadi bersih secara ajaib”. Lalu dia lanjut soal marijuana. Dia bilang di Colorado, marijuana itu legal dan bisa ditemukan di mana-mana, kayak Chicken Rice.

Trus dia membahas isu-isu terkini seperti Donald Trump, keterlibatan dia di serial TV Fresh Off The Boat (my favorite!) yang adalah serial TV Amerika pertama yang membahas keluarga Asian-American, trus “orang tua” dia di komedi Robin Williams and Joan Rivers. Ada dua bit spesifik yang sangat berkesan yang pengen gue bahas, yang pertama, dia membahas soal kepemilikan senjata di Amerika yang mengakibatkan terjadinya pembantaian di Virginia. Gue langsung deg-degan, “anjir, topik kayak gini gimana dibikin lucunya?” Pembantaian ini dilakukan oleh orang Korea dan mengakibatkan 32 orang tewas. Setelah kejadian itu, Margaret langsung nelpon papanya. “My father was very upset,” katanya. Lalu dia mulai niruin papanya dengan logat Korea yang kental, “thirty two people is too many…” *pause* “one or two is okay”. DARRR.

Lalu yang berkesan kedua adalah ketika dia membahas soal kekristenan, dia bilang Jesus would approve LGBT since he was so gay. HAHAHA. Dia bilang, “Bayangin Yesus jalan-jalan ke mana-mana sama 12 of his boyfriends, and he said, “oh you’re drinking water? Here, have some wine. You’re hungry? Here’s some fishes and bread.” HAHAHAHAHAHA. I’m not offended at all. Trus dia lanjut dengan, “Bisa bayangin gak, gue dulu itu guru sekolah minggu. Yes, me, teaching bible to little kids. Makanya gue tau ada bible verse yang berbunyi, ‘It’s not what goes into your mouth that makes you unclean, but what comes out of it’ *pause* so, swallow.” DAAAAARRR.

I just love it when people quote bible verse correctly and they’re able to make a very relevant joke out of it. BTW, versi Indonesianya dari verse itu (Mat 15:11) berbunyi, “Bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”

Lalu masih berhubungan dengan kekristenan, dia cerita bagaimana “orang tua”-nya dalam komedi meninggal dalam waktu dekat. Joan Rivers dan Robin Williams. Satu hal yang berkesan banget adalah, dia cerita bahwa Robin adalah orang yang banyak nyumbang ke orang miskin. Ketika dia meninggal, Margaret dan teman-teman galang dana untuk cause yang sama, jadi banyak orang yang ngasih duit ke dia. Suatu hari, ketika dia lagi pegang cash, dia keluar dari supermarket dan ada seorang gelandangan yang maki-maki dia, maksa dia untuk ngasih koin 25 sen-an. Alih-alih ngasih 25 sen, dia ngasih selembar 100 dolar ke orang itu. Orang itu yang tadinya galak langsung berubah, jadi nangis tersedu-sedu sambil bilang terima kasih. Orang itu bilang, “nanti kalau lo mati dan diadili di akherat, gue akan berada di sisi lo dan bersaksi kalau elo udah bantuin gue waktu gue hidup, dan gue minta Tuhan untuk masukin lo ke surga.” Lalu Margaret bilang: Who’s the Christian now?

Lalu dia menutup set malam itu dengan satu pesan tentang pemerkosaan. Dia cerita kalau dia korban pelecehan seksual oleh pamannya sendiri waktu dia umur 5-12 tahun. Gue mikir lagi, anjir, ini gimana dibikin lucunya. Tapi gue akhirnya tahu gimana caranya bikin sesuatu yang lucu dari isu yang sangat sensitif, yaitu: ceritain pengalaman pribadi aja, jangan mewakili orang lain. Kalo yang tadi soal pembantaian di Virginia dia ngebahas papanya, soal pemerkosaan ini, dia ngebahas bagaimana dia jadi nara sumber di acara para rape survivors dan dia malah diomelin pesertanya. Ga terlalu lucu sih, tapi setidaknya aman.

Setelah ngebahas soal itu, dia ngundang satu pemain gitar dan bilang, “sebelum udahan, gue mau tutup dengan dua lagu, lagu yang pertama adalah buat Ke$ha (fyi: Ke$ha lagi kena kasus soal pemerkosaan),” trus yang kedua dia ngajak orang ikut nyanyi bareng, chorusnya berbunyi, “I want to kill my rapist”. Gue sedih dengernya dan gue gak ikutan nyanyi.

Total set kira-kira 1 jam 50 menit, lebih 35 menit dari waktu yang dijanjikan (75 menit), dan gue cukup puas. Gue senang bisa menyaksikan comic internasional yang sangat professional. Kalo gue boleh menyimpulkan pengalaman gue nonton Margaret Cho dan Russell Peters, yang gue tangkep adalah:
1.       Tiketnya sangat mahal, timnya sangat professional, venuenya bagus.
2.       Mereka pinter masukin local content
3.       Mereka gak pake contekan (or at least ga ketauan sama gue)
4.       Dan karena itu membuat gue merasa… mereka seperti ngobrol biasa dengan spontan. Ini yang menurut gue beda banget sama comic Indo di mana rata-rata masih keliatan banget ngafalnya. Ini bukan issue sih, tapi gue jadi menyadari aja kalau gaya yang ngalir gitu lebih enak ditonton. Menurut gue comic Indo yang deliverynya enak ngalir gitu adalah: Soleh Solihun.

Overall, pengalaman yang menyenangkan. Nonton performance comic-comic luar bikin lumayan seger karena gue lagi jenuh sama comic-comic local Indonesia. Semoga cepet kangen lagi.

Cindy
Singapore, 6 March 2016


Friday, February 19, 2016

Russell Peters “Almost Famous” in Jakarta - Review

Spoiler alert. Beware of punchlines. 

17 February 2016 was the day I first watched a stand-up comedy show by a foreign comic, and I’m glad it was Russell Peters. Although I watch quite a lot of comedy shows in these past two years (all locals), Russell’s show gave me a whole new experience of a stand-up comedy show. Actually, local shows (and probably anywhere else in this world) use the same format, except Russell does it more professionally, bigger and better. And that’s what makes it so memorable.

Let me go through it one by one.

First of all, the venue. The venue was amazing. The audio, light, seating, location were great. (FYI, on Sundays, it is the venue for one of the most “prestigious” church in Jakarta. Imagining praising and worshiping Jesus with those equipment give me goosebumps). The stage is huge with two enormous screens on both sides and there’s a live camera, shooting people’s face when Russell did his infamous riffing. This is great because their we could see the expression and reaction from the victim.

Next, the audience. The cheapest price for Russell’s show is 10-20 times more expensive than a local comedy show. Local organizers sometimes complain they find it hard to sell tickets that cost 50-100k. I wondered, who would want to pay 1-3 million to watch a comedy show? I wouldn’t. I wouldn’t have watched it if someone had not given the ticket for free. I thought, must be expats and diplomats. Somehow it never occurred to me that the main portion of audience was from the Indian community in Jakarta. I think it’s very interesting.

Now let’s talk about the show. The opener, Chris (I don’t know his full name, I even forgot his twitter account that’s displayed throughout his performance). I love him! He walked to the stage with a guitar, his performance was very interactive with the audience. He taught us to sing “I don’t fucking care, no one fucking cares” and he said we’re going to sing it in our hearts forever every time someone tells something boring about their kids, pets, or whatever. He’s right. He also pointed to one audience several times and asked him/her to choose what kind of jokes he preferred: smart, dirty, inappropriate, etc and told the jokes according to what the audience chose. I also love it how he asked us to sing along to Cyndi Lauper’s Time After Time. If I’m not mistaken, his set was around 30 minutes. After he finished, he asked those who sat at the back to move to the front, that means: sucks if you paid so much since those who bought the cheapest tickets could sit next to, or even in front of you. Ha.

The moment I saw Russell Peters, I could immediately feel that he was a superstar. He looked confident and professional. We could tell that he had done this hundreds of time. Half of his performance was riffing his audience. It’s funny to see him riff Soleh Solihun, Indonesian comic who’s best at riffing. I guess karma really does exist! Haha! But he got riffed the least, compared to other audiences who sat at the front (the ones who paid the most and invitations). Russell always asked the name of the target, and when Soleh answered with his name, Russell said, “Indonesian names are funny, at the hotel I was greeted by a girl named Kanti, our driver is Budi, and the waiter at the restaurant is Dicky. Maybe next you’re gonna have Titty.” Bam, bam, bam. Then he asked a famous Indonesian musician, Pongki Barata, and he misheard his name as “Bongkey”. He could make a joke out of it right away. Brilliant.

I guess the venue that hosts a church service never heard so much profanity before.

His knowledge about Indonesia is impressive. The more relevant it is, the funnier it gets. He simply said “hati-hati busway” and the ballroom exploded with laughter. He also mentioned “Dolly” and made fun of Jakarta’s traffic.

The way he bridged his jokes with riffing was brilliant. It’s as though all of it was spontaneous. He started with asking the audience whether they have kids or not, and then talking about his daughter and her love for Frozen.

As usual, his jokes were offensive and inappropriate, but still funny as hell. He spotted an 11 year old boy sitting between his parents and he asked him to call his father a “motherfucker”, not in an angry tone but casually, like at a dinner, “Hey motherfucker, could you pass me the salt?” The camera zoomed in the father and the son for quite long time and we could see both of them so uncomfortable on the screen and we couldn’t stop laughing. That’s what you got when you take an underage child to a stand-up comedy show: public humiliation.

Russell didn’t apologize for that, or any other offense he made except for this one.

“Hey there big guy” (camera shot to a big guy, a 20-something Indonesian Chinese)

“What do you do for a living?”

*inaudible*

“What? Training? What are you training for? Definitely not marathon. Haha!”

*room burst into laughter*

“I’m sorry, what an asshole thing to say, I apologize”.

He didn’t apologize making fun of someone’s race, outfit, or name, but he apologized for making rude comments about someone’s weight. And by the way, that guy was actually saying “trading”, not training.

The laughter was so tense at the beginning (or people say “LPM”), and it gradually loosen as he did more story telling with long setups. And just when I felt more comfortable with the pace, he closed with “Thank you, Jakarta”, and finished the show at around 10.20 PM.

Overall, it was a great experience. Normally when I write reviews, I mention things that need to be improved. But I couldn’t find any flaws except that the ticket was too expensive. Apart from that, it was very enjoyable. Thank you, Russell Peters!

Cindy Kusuma
Jakarta, 19 February 2016

Sunday, October 11, 2015

Review #TETANUS by Arya Novrianus



“Arya, lo bawa buku lo kan? Nanti gue beli yaaa…,” kata gue ketika menyapa Arya Novrianus di sebuah acara stand-up yang diadakan pada suatu malam minggu, di mana Arya jadi salah satu penampilnya.

“Iya bawa. Siiip deh, entar yaaa,” kurang lebih begitu jawaban Arya.

Dan ketika acara selesai, gue langsung menghampiri Arya dan memberikan sejumlah uang untuk ditukar dengan buku keduanya yang berjudul TETANUS. Arya pun langsung ngasih gue buku bercover merah marun itu yang masih rapi diplastik, tapi gue menolaknya.

“Eh, gak mau, maunya ditandatanganin dulu…,” tuntut gue.

Arya pun tersenyum, melucuti bukunya sendiri dan membuka halaman pertamanya. Ternyata di pojok kanan bawah sudah ada tanda tangan dia, tapi dia tetap menambahkan kata-kata yang… hmmm… cukup menyentuh dan menyenangkan buat gue. Memang dasar penulis ya, bisa aja gitu tulisannya… Malemnya, Arya mention gue di Twitter dan minta di-review dengan jujur. So, here it goes.

Sebagai buku yang bergenre komedi, buku ini sangat emosional. Jujur aja gue banyakan tersentuh dan nyeseknya daripada ketawanya. Gue suka bagaimana Arya menceritakan kisah bersama mantannya. Ngomong-ngomong, gue penasaran, lo minta izin sama dia gak sih nulis panjang lebar tentang dia sampe lo umbar akun twitternya gitu? Hehehe… Tapi gue yakin dia pasti spesial banget sampe lo mendedikasikan dua bab yang cukup panjang untuk dia. Deskripsi fisiknya trus situasi waktu kenalan itu jelas banget sampe gue bisa ngebayangin detil-detilnya. Kisahnya sendiri sebenernya cukup biasa yah, kayaknya rata-rata pasangan akan mengalami momen-momen itu. Bales Whatsapp lama, rasa yang mulai memudar, dll… Tapi tetep menarik untuk disimak, sih. Mungkin karena relevan dan bisa relate banget.

Trus bagian kedua yang gue suka dari buku ini adalah tentang ibunya yang udah pulang ke surga. Emosional banget sih bacanya, berasa ikutan sedih. Dan lagi-lagi, setiap adegan di 2 bab terakhir itu ditulis dengan cukup detil jadi bisa ngebayangin keadaan benerannya. Udah gitu, Arya pernah beberapa kali ngetwitpic foto mamanya, jadi bisa ngebayangin wajah orangnya juga. Ditambah lagi, kejadian ibunya meninggal itu masih baru banget, baru 1 tahun berlalu. Gue aja masih inget hari di mana ibunya Arya meninggal, meski saat itu belom kenal Arya secara langsung. Gue inget kayaknya hari itu juga atau besokannya gue langsung beli Keluarga Cemarya, buku pertamanya Arya.

Kalo dibandingin sama Keluarga Cemarya, gue jauh lebih suka Tetanus. Gue inget di Keluarga Cemarya itu banyak banget bagian HAHAHAHA ketawa-ketawanya dan menurut gue agak ganggu. Di Tetanus, hal yang menggangu itu udah nggak ada. Cerita yang detil didukung dengan layout yang bagus. Punchline-nya hurufnya digedein dan dibold jadi rasanya makin lucu. Bagian sedihnya juga nulisnya pake capslock semua jadinya hmph berasa gimanaaa gitu, ikutan sedih deh.

Overall, gue sangat menikmati buku ini, jauh dibanding bukunya yang pertama, yang berarti ini kemajuan yang sangat baik.

Terakhir, gue mau ngedoain Arya:

Semoga karir stand-up lo semakin gemilang [amin], semoga hidup lo senantiasa seru dan menarik [amin] biar banyak cerita dan bisa bikin buku ketiga [amin] yang isinya cerita yang indah-indah dan seneng-seneng [amiiiin].

Thank you and congrats, Arya Novrianus! Gue yakin, nyokap lo pasti bangga super bangga di surga sana trus bilang ke malaikat-malaikat, “Eeehhh… buku kedua anak gue udah terbit lohhh… Buku anak gueee!!!”

Cindy Kusuma
11.10.2015

Sunday, June 7, 2015

Happinest itu Sederhana (Review #HAPPINEST_JKT by Ernest Prakasa)

25 Januari 2014 adalah kali pertama gue nonton stand-up show secara live. I lost my “virginity” di #ILLUCINATI. Gue mulai ngikutin stand-up bukan dari nonton open mic, Stand-Up Night (SUN), atau taping TV, tapi langsung special show-nya Ernest Prakasa, salah satu founder Stand-Up Indo dan salah satu komika terbaik di Indonesia. #ILLUCINATI sendiri itu bagus banget, dan gue rasa inilah hal yang menyebabkan gue punya standar tinggi untuk show-show stand-up lainnya. (read my review here: http://cindykusuma.blogspot.com/2014/01/review-illucinati-gkj25jan-by-ernest.html)

Lalu sejak bulan Agustus 2014, gue jadi ngikutin banget dunia persilatan stand-up di Indonesia. Dalam sebulan gue bisa 2-3 kali nonton show, baik itu SUN, show rame-rame, taping TV, atau special show.


Melalui pengalaman itu, gue jadi tahu kalau nonton stand-up show secara live itu gak bisa buat relaksasi seperti kita nonton bioskop, live music, atau ngerendem kaki sambil digigit-gigitin ikan (iuhhhh jijik gue), karena most of the time, abis nonton show itu gue kelelahan ketawa dan mikir. Ditambah laper, jadinya sakit kepala dan lemes.

Tapi Sabtu 6 Juni 2015 kemarin, gue pulang dari #HAPPINEST_JKT di Balai Sarbini dengan hati dan otak yang ringan. Bukannya materinya gak bagus, melainkan ringan, santai, dan sederhana banget. Jauh dibandingkan waktu nonton #ILLUCINATI di mana pas sepanjang show kita deg-degan Ernest ditembak kepalanya pake sniper. More on this later.




Pengurus Illucinati ranting Sunter-Gading. Topinya bagus dan kepake banget. Makasih Opini.id!
Pertama-tama, bahas venuenya dulu. Ini pertama kalinya Balai Sarbini dengan panggung melingkarnya dipakai untuk stand-up show. Gue suka venuenya. Lokasinya strategis, bergengsi, dan mewah. Gue beli tiket gold yang harganya 250ribu dan awal-awalnya ngerasa agak sebel karena panggungnya gak se-eye level sama gue. Jadi gue harus ngedongak ngeliat Ernestnya, belom lagi silau kena sorot lampu. Gue sempet naik ke silver untuk foto-foto sama temen-temen gue dan sepertinya lebih nyaman di sana. Tapi pas shownya udah mulai, gue udah lupa koq sama ketidaknyamanan itu.

Venuenya yang melingkar bikin ngerasa lebih dekat dan intimate sama performernya. Entah perasaan gue doang atau bukan, tapi para performer banyak ngadep ke arah gue. Gak tau deh orang seberang gue ngerasa hal yang sama atau nggak. Kalo iya, berarti blockingnya para performernya bagus. Soal light dan audio ga perlu dibahas detil lah ya, pasti bagus punya.

Kalau di SUN atau show yang diadakan komunitas, keliatan penontonnya itu-itu aja: comic-comic dan pecinta stand-up seperti gue. Tapi di #HAPPINEST_JKT, beda banget crowdnya. I wonder why?

Soleh Solihun dari Majelis Tidak Alim adalah ice-breaker yang paling sempurna untuk acara ini. Sesuai kearifan Indonesia, kami memulai acara dengan doa bersama. Bagian ini lucu banget. Suasana jadi hangat karena interaktif dengan para penonton yang sedang menunggu. Kami diminta untuk menjawab “amin” atas doa-doanya. Setelah doa bersama selesai, acara dimulai dengan dipandu oleh Ge Pamungkas dan Arie Kriting yang hanya terdengar suaranya tapi gak keliatan wajahnya.

Berikutnya, bahas performernya. Gue seneng Ernest mengekspos 3 comic perempuan (yang 2 di antaranya tidak dikenal sebagai comic), dan ketiganya bagus semua. Yay, girl power! Gue sering denger soal Sakdiyah dan dia memang bagus. She’s the comic’s comic. Dia idola para komika senior dan memang pantas demikian. Materinya ga jauh-jauh soal Islam, meski ada dikit nyerempet-nyerempet ke kelamin juga. Walau begitu, dia nggak nyebut titit atau tete, cuma sekali doang ngomong penis. Sayaaang banget kayaknya di ending rada-rada dingin dikit waktu callback soal pemutih di Eropa.

Lalu, Chevrina Anayang. Wow. Gue zero expectation sama dia, dan ternyata dia bener bener bener bagus. Debut dia sebagai comic (biarin gue sebut comic biar lain kali dia stand-up lagi) langsung di panggung sebergengsi itu. Sungguh gak mudah. Debut-nya ini langsung ngebentuk persona dia sebagai comic. Image apa yang dia mau tampilkan saat stand-up, dan ini akan jadi “pakem” dia di kemudian hari. Persona Sakdiyah adalah perempuan muslim yang juga manusia biasa (yay, free sex!), persona Sacha adalah bule Kanada yang cinta Indonesia, dan persona Chevrina adalah penyanyi kurang terkenal yang mungkin sekarang lebih dikenal sebagai comic yang memperkenalkan konsep “es teh dan embun-embun di gelasnya”. Bit itu emas berlian banget :’). Chevrin, plis sering-sering stand-up.

Sacha Stevenson. Eksekusi komedi di Youtube dan di panggung stand-up (apalagi langsung jebret seribu orang) pastilah berbeda. Keresahan yang dia bawain kemarin 11-12 sama apa yang sudah pernah dia tampilkan di Youtube, jadinya gak surprise-surprise amat. Tapi dia tetep lucu. Ada satu video dia yang ngebahas soal “Insya Allah”, dan kemarin diungkapkan dengan cara lain. Lucu banget. Cara dia closing mirip sama cara gue kalo mengakhiri tulisan. Dia angkat tangan, senyum, dan bilang, “Here’s to the best 14 years of my life”.

Next, Ardit Erwandha. Sama seperti Chevrina, gue belom pernah liat dia stand-up dan gak tau gimana performa dia. Sekitar seminggu sebelum show ini, gue berkenalan secara personal sama dia dan orangnya ramah, gak pecicilan, gak berasa kegantengan. Sama seperti banyak orang lain, gue juga bertanya-tanya apakah si Ardit ini modal tampang doang atau emang bagus. There’s only one way to find out, right? Dan setelah gue liat, gue berkesimpulan kalau dia gak cuma modal tampang doang. Act out-nya dia di akhir total banget dan bagus banget. Kalau dibina dengan baik, ini aset berharga. Pesen gue sih, kalau Ardit baca, jangan sampai lo mabuk dan lupa daratan sama kesuksesan ini. Lo masih muda, ganteng, dan lagi jadi perhatian banyak orang. Stay humble yah. Insya Allah karir lo gemilang. Jangan kasih orang kesempatan buat ngomong, “Halah si Ardit modal tampang aja ganteng tapi attitude jelek dan materi sampah”.

Foto bareng dulu sebelum Ardit jadi idola Indonesia, sibuk main film main sinetron main iklan blablabla. :')

Terakhir, Ernest Prakasa. Awal-awal aja udah ngebahas soal vagina sama tete. Mending punya orang lain, ini punya istrinya sendiri -_-||. Makin ke belakang dia ceritain soal keluarganya: papa mamanya, istri dan anak-anaknya, dan juga pengalaman dia jalan-jalan ke Jepang dan mandi onsen. Tentu gak ketinggalan cerita soal Beijing, dan I swear to God, sebelum Ernest masuk ke bit itu, matanya ngeliat ke arah gue dan gue (tanpa sengaja) ngeliatin dia dengan muka jutek. Hahaha...

Begitu terus selama 1 jam 15 menit. Gak ada bagian yang bikin gue ngerasa “anjirrrr jeniusss banget, berani banget, mind-blowing banget...”. Orang lain bilang rahang pegel, perut sakit karena ketawa, tapi gue enggak. Tapi gue bukannya gak menikmati, justru asik dan santai dengernya. Ngeliat keluarga kecil Ernest dan keluarga satu manajemennya di akhir bikin hati terasa hangat. Kalo abis nonton #ILLUCINATI feeling gue bisa diibaratkan kayak abis nonton film The Interview, maka feeling gue abis nonton #HAPPINEST_JKT itu kayak abis nonton film chick-flick. Gak berat, gak banyak mikir, gak bikin resah. Dan Ernest-nya pun mengungkapkan hal yang sama. Dia bilang dia enjoy banget karena kali ini bener-bener ngungkapin apa yang mau dia omongin tanpa harus ribet-ribet mikirin “pesan”.

Jujur aja, gue lebih menikmati materi-materi dari openernya. Ketika ada temen yang nggak nonton tanya ke gue, “Gimana shownya kemarin?” Gue menjawab, “Venuenya bagus. Soleh Solihun lucu. Sakdiyah dan Sacha keren banget. Chevrina dan Ardit, tanpa disangka, sangat mengagumkan. Dan Ernest-nya, ya seperti biasa.” Gue berasa kayak abis nonton show keroyokan yang comic-comicnya sama hebatnya, hanya kebetulan durasinya Ernest lebih panjang aja. But overall, semua baik, semua baik.

Congratulations Ko Ernest, all the best for your next projects!

Viva La Komtung



Cindy Kusuma
8 Juni 2015

Monday, November 17, 2014

Satu Malam di Bekasi



Bekasi.

Apa yang pertama kali terlintas di kepala ketika mendengar kata “Bekasi”?

Jauh? Panas? Macet?

Meski gue ikut-ikutan ngetawain dan nimpalin meme yang mengolok-olok Bekasi, gue gak bisa memverifikasi tuduhan-tuduhan di atas karena gue belum pernah mengunjungi Bekasi. Nah, hari Sabtu tanggal 15 November 2014, gue berkesempatan untuk mengunjungi #SUN3BKS, hajatannya anak @StandUpIndo_BKS. Kesempatan bagus untuk ketawa-ketawa di malam Minggu, sekaligus mencari tahu apakah Bekasi “segitunya” yang dikatakan orang-orang.

Perjalanan ke Bekasi cukup lancar, ternyata nggak sejauh dan semacet yang orang-orang bilang. Gue sampai di Gedung Pertemuan Prasetya pukul 18.30, satu jam sebelum acara dimulai, dan saat itu seat sudah terisi sekitar 70%. Semua orang yang sudah menunggu saat itu pastilah sudah membeli tiket jauh-jauh hari karena tiket sudah sold-out sejak beberapa hari sebelum acara. Di tengah-tengah penonton yang sudah duduk manis, terlihat beberapa grup penonton yang memakai kaos komunitas masing-masing. Tapi yang paling menonjol tetaplah para panitia yang dengan bangga memakai kaos merah menyala bertuliskan PRIDE OF BEKASI.

Stand Up Night yang diselenggarakan untuk memperingati ulang tahun komunitas Stand Up Indo Bekasi yang ketiga ini diberi nama “Benteng Bekasi”, pelesetan dari “Benteng Takeshi”, game show asal Jepang yang terkenal di tahun 2000-an. Perhelatan akbar anak Bekasi ini dihadiri oleh lebih dari 600 orang dan menampilkan komika-komika Bekasi plus 2 bintang tamu, @Uus__ dan @kemalpalevi. Konsep acara dibuat mirip dengan Benteng Takeshi, lengkap dengan sang Kaisar yang suka ngangkang (@awwe_), pengawalnya yang tukang komentar (@AryaNovrianus), dan dua pembawa acara yang tukang rusuh (@adjisdoaibu dan @hernawanyoga). Konon Sang Kaisar sudah bosan dengan hiburan yang itu-itu saja, sehingga Sang Pengawal menyiapkan hiburan yang baru, yaitu stand-up comedy.

Setelah penonton merasa hangat karena tektokan antara Sang Kaisar dan pengawalnya serta dua pembawa acara rusuh, satu per satu komika Bekasi naik. Secara berurutan, ada @indraturner, @oomjenggot (Riko), @whisnuSS, @aldes_w, @Jekibarr, dan @sigit_exit. Ada yang anak motor, ada yang anak yatim, ada yang anaknya penjudi, ada yang wota. Tapi yang jelas, semuanya anak Bekasi yang gak akan keberatan kalau punya pacar anak Bekasi karena mereka gak akan mengeluh ngapelnya kejauhan. Lucu sih udah pasti karena katanya stand-up comedian yang gak lucu itu dosanya besar. Mereka lebih takut gak lucu daripada masuk neraka karena bercandain Tuhan. Tapi mereka nggak sekadar lucu, mereka lucu yang berkesan. Ada untungnya juga nama mereka belum tenar dan (masih) relatif jarang muncul di TV atau layar lebar, jadinya menonton mereka ngelawak bagaikan menyodorkan kanvas putih ke pelukis random dan hasilnya adalah sesuatu yang ingin gue pamerkan di dinding ruang tamu gue.


Setelah line-up Bekasi, naiklah dua bintang tamu malam itu. Uus, as usual, melemparkan bit-bit pelesetan yang bikin geregetan. Dia kelihatan sekali sangat menikmati panggung dan crowd Bekasi, sampai harus minta perpanjangan waktu sama panitia. Kemal, yang baru-baru ini ngeluarin film yang ada namanya sendiri (prestasi besar, selamat ya!), nampaknya menikmati panggung itu sebagai ajang di mana dia bisa sepuasnya ngomong kata-kata yang gak akan masuk ke filmnya. Karena kalau masuk, pasti filmnya akan terlalu banyak bunyi “tiiit”-nya. Hal ini, disambut begitu hangat oleh crowd Bekasi.

Kalau biasanya acara ditutup oleh bintang tamu yang istimewa, anak-anak Bekasi yang unik dan tiada duanya ini menutupnya dengan sang bintang Bekasi yang literally bintang bener-bener bintang, yaitu @bintangbete. Malam itu, dia didaulat menjadi panglima para penantang Benteng Bekasi. Setnya yang paling pendek di antara penampil lainnya menutup pesta ulang tahun Stand Up Indo Bekasi dengan meninggalkan perasaan puas. Puas bagi penampil, penonton, panitia, dan mudah-mudahan para sponsor.

Pukul 11 malam, gue meluncur kembali ke Jakarta. Beberapa jam lalu di perjalanan menuju Bekasi, pengetahuan gue akan Bekasi masih berupa prasangka, tapi sekarang gue udah boleh mengambil kesimpulan. Kesimpulan yang gue buktikan sendiri kalau Bekasi itu seru, lucu, dan boleh dibilang underrated. Kalau ada yang nanya sama gue, “Hah? Lo nonton stand-up jauh banget sampai ke Bekasi?” Gue akan jawab dengan mantap, “Gak jauh-jauh amat koq. Tapi kalau emang jauh pun, worth it banget bela-belain ke sana untuk nonton #SUN3BKS.”

Selamat @StandUpIndo_BKS!

Viva La Komtung.

Friday, October 24, 2014

Review "Ngeri-ngeri Sedap" by Bene Rajagukguk (+ sedikit kritik sosial)



Bene Dion.
Pertama gw liat Bene stand-up itu di Salihara, tepatnya di acara “7 Hari untuk Rakyat”, di mana ada penampilan 7 stand-up comedian. Namanya “Bene Dion Rajagukguk” itu menarik perhatian gw banget. Bene, yang gw assume diambil dari nama Benedictus, berarti “yang terberkati”, sama seperti nama Bapa Paus yang sebelum ini, Benedictus ke-XVI. Sedangkan Dion mengingatkan gw pada seorang mantan murid gw yang paling ganteng, baik dan pinter. Dan Rajagukguk mengingatkan gw pada seorang Ibu Batak yang baik hati dan lucu yang gw kenal, ber-boru Rajagukguk. 


Salah satu show stand-up terbaik yang pernah gw tonton


Dari penampilan dia di hari itu pula, gw tahu kalau dia seiman dan segereja sama gw (fakta ini agak istimewa buat gw, karena yang gw tahu, biasanya yang Batak itu di gereja sebelah). Bit dia yang soal “sebelum makan bikin tanda salib doang itu sama kayak miscall-in Tuhan” itu berkesan banget, sekarang tiap kali gw melakukan itu (yang mana kalau gw lakukan berarti gw sedang pencitraan), gw inget Bene. Kedua kalinya gw nonton dia stand-up itu di Hard Rock CafĂ©, di mana dia jadi opener-nya Pandji. Dua-duanya berkesan. Paling berkesan sama suaranya yang lantang dan tegas, gak klemer-klemer.
       23 Oktober 2014, begitu gw tahu bukunya udah keluar di Gramedia deket rumah, gw langsung beli. Dalam waktu sebulan ini, gw baca 2 buku lain yang ditulis sama comic juga dan dua-duanya gak sreg banget di hati gw. Nah, buku Bene ini sebenernya cover-nya yang paling nggak banget dibanding dua buku itu, tapi isinya, jauh lebih bagus dari ekspektasi gw (yang udah keburu ancur).
       Gw gak bermaksud ngejelekin 2 comic lain itu, tapi gw berharap stand-up comedy itu tetap jadi sebuah kesenian yang berkualitas dan berbobot, bukan ocehan para alay yang ngerasa dunia kiamat kalau gak punya pacar. Mau harga sembako naik kek, ada anak kelaparan dan miskin kek, bodo amat yang penting gua punya pacar. Gw gak mau ada pengkotak-kotakan di stand-up, di mana ada comic alay dan comic keren. Maunya semuanya keren.
Comic/penulis yang pertama, sebenarnya ceritanya bagus-bagus aja, cuma kayaknya dia nulisnya masih belum mahir. Banyak banget yang cuma HAHAHA HAHAHA HAHAHA ga jelas sampe akhir zaman. Kalau dia nulis buku lagi, gw mungkin masih kasih kesempatan kedua. Tapi tidak untuk si comic/penulis kedua ini. Yang ini, gw sampe rada kesel bacanya. Terlalu alay buat gw. Menurut gw, dia sebagai public figure yang punya banyak followers alay remaja, dia harusnya ngasih teladan yang baik. Yah, kalau emang ga punya prestasi atau cerita yang pantas untuk dibagikan, setidaknya gak usah lah cerita bagaimana dia pacaran waktu remaja (ya hak dia sih, cuma ada gitu manfaatnya?), cabut dari sekolah, dan lain-lain seolah-olah itu hal yang keren. Gw yakin koq si dia punya prestasi yang bisa dibanggakan (jadi juara). Kalau cuma modal followers banyak aja, mending gak usah nulis buku sekalian. Sayang-sayang kertas dan pohon. Akhirnya, gw yang mengkoleksi buku dan happy kalau liat lemari buku gw penuh sama buku, ngasih buku itu ke temen dengan pesan “ini buat lu, gak usah dibalikin lagi, gw udah baca (dan gw gak suka)”. 
Koleksi karya-karyanya stand-up comedian. Masih dikit, tapi dari sini mestinya kebaca gw suka yang model gimana.
       Oke. Back to Bene and his book, “Ngeri-ngeri Sedap”.
       Benang merah dari buku ini adalah “Batak”. Gw punya beberapa teman Batak dan mereka semua istimewa, pasti menonjol dibanding yang lain. Bene ini interesting karena dia “Batak banget”, as in bener-bener masih lahir di Sumatera Utara, gak kayak temen-temen gw yang lahirnya di Jakarta.
Cerita dikit. Waktu gw kuliah di Beijing, gw pernah ikut aubade (paduan suara) yang nyanyi lagu-lagu daerah, salah satunya medley lagu-lagu Batak: Tilo-tilo dan Sik-sik Sibatumanikam yang liriknya susah banget. Sebelum kami latihan, kami dikasih tahu apa artinya lagu-lagu itu dari Ibu Tambunan (yang boru Rajagukguk itu). Kami perform lagu itu di upacara 17 Agustus di KBRI Beijing di hadapan Dubes RI. Beliau berkesan sekali dan kemudian mengundang kami untuk perform di resepsi diplomatik HUT RI di Beijing, di mana kami nyanyi lagu ini di hadapan pada diplomat dari seluruh dunia yang sedang bertugas di Beijing. Bangganya minta ampun.
Cover dan judul buku yang alay, namun sangat menjual
       Bene ini nulis bagaimana asal-usul marga orang Batak, lalu dijelasin pula soal yang namanya “marpadan”, bikin gw tahu kalau orang Batak itu gak mungkin cinta pada pandangan pertama, yang mungkin adalah “cinta abis nanya marga”. Ternyata, selain nikah dengan yang marganya sama itu dilarang, nikah sama yang “marpadan” juga a big no-no.
       Melalui buku itu, gw juga jadi tahu bagaimana kondisi di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara saat itu yang begitu mencekam sampai satu keluarga harus jual semua yang mereka punya dan pindah kota.
       Gw sedih membaca bagaimana seorang anak SD yang dihajar bapaknya karena menolak untuk berjualan es lilin di SMP dekat rumahnya. Gw ngerti rasa malunya anak itu, tapi gw ngebayangin, pasti Si Bapak juga gak berdaya dan stress, makanya si anak jadi korban. Si Ibu yang terjepit di tengah-tengah (tapi juga pasti stress dan gak berdaya) harus bijaksana dan menjadi pendamai antara dua pihak yang sedang berseteru ini.
       Gw bahagia membaca bagaimana Bene masuk UGM, dapet beasiswa bergengsi, masuk SUCI, lulus cumlaude, dan ngebiayain orang tuanya ke Jogja (keren pula, ada deg-degannya karena Kelud meletus). Tapi yang bikin gw senyum lebar banget adalah bagaimana kedua orang tua Bene enjoy banget ngeliat openmic di Jogja, yang gw terjemahkan sebagai “Bapak dan Mamak bangga sama Bene dan merestui karier Bene sebagai komik”.
       Inilah. INILAH. Pinter akademis dan bertanggungjawab. Gw masih gak sreg sama yang diomongin di buku ini halaman 101-103. You know, kesannya keren gitu kalo kuliah gak lulus-lulus. Kesannya badass, rebel, ngelawan sistem, tapi sebenernya kurang bertanggungjawab aja, gak mau (atau gak mampu) selesaiin apa yang udah dimulai. Mereka memperdaya orang dengan kata-kata “Ah buat apa cepet-cepet lulus demi ijazah selembar doang”, “Ah pendidikan di Indonesia sampah,” “Pendidikan yang penting itu di masyarakat, bukan di kampus.” Poin terakhir ini bener juga sih, lah kalau emang ngerasa begitu, ya gak usah kuliah aja dari awal. Lulus SMA langsung aja terjun ke masyarakat. I mean, kuliah itu kan gak belajar ilmu doang, tapi juga membentuk manusia jadi seseorang yang bertanggungjawab, mempersiapkan diri dari masa remaja menuju kedewasaan. Yang nyinyir akan mengatakan “ya elu enak, punya duit kuliah, di luar negeri lagi”. Kalau sampai ada yang mikir begitu, then you don’t get my point.
Koq gw ngerasa lebih keren kalau bisa berkarya (jadi stand-up comedian, jadi penulis, apa pun), tapi pada saat yang sama, yang utama tetap tidak diabaikan? Jujur gw prihatin banget liat kelakuan anak remaja zaman sekarang dengan media dan orang-orang di dalamnya yang mengamplifikasikan. Mimin-mimin dan para influencer di twitter, anak presiden, tuhannya para alay dengan followers 8 juta orang itu (salah satunya gw) seolah mendoktrin para remaja kalau jomblo itu kiamat. Harus banget ngebedain yang namanya “malam minggu” dan “sabtu malam”? Ya gw tau itu semua untuk lucu-lucuan, tapi kayaknya udah kebanyakan jadi gak lucu lagi, dan efeknya sepertinya udah jadi lebih gede daripada cuma buat bahan becandaan aja. Yang nyinyir akan ngomong lagi, “Elu pasti jomblo, makanya gampang tersinggung.” Jawaban gw: emang gw gak punya pacar, trus kenapa? Kalau ada yang becanda soal jomblo gitu-gitu, kadang gw ketawa juga koq. Tapi dalam hati gw mikir, manfaatnya apa?
Kenapa sih gak lebih banyak orang kayak Bene? Meski dia datang dari keluarga yang (sepertinya) menengah ke bawah, dari tempat terpencil di ujung Sumatera sana, tapi tetap bisa berprestasi secara akademis, membuat tenang hati orang tua sekaligus membanggakan mereka, dan bisa berkarya juga lewat stand-up? Inilah kenapa gw seneng baca kisah-kisah Bene, yang bermakna. Mungkin Bene sendiri gak ngerasa, tapi dia menyertakan nilai dan pesan mengenai tanggung jawab dan berbakti pada orang tua dalam bukunya.
Berkarya terus ya, Bene! Habis ini aku mau cari-cari video stand-up kau. Kalau kau bikin special show, aku pasti nonton kau! Salam buat Mamak ya!

24.10.2014
CK