Ocehan-ocehan saya :)

Monday, November 25, 2013

Asuransi Part 3: Why I Choose Unitlink

Hmm… unitlink… mulai dari mana yah?
Selama sekitar 2 minggu belakangan ini, gw intens banget ketemu agen-agen asuransi. Total ada 3 agen dari 3 perusahaan asuransi yang berbeda, yaitu Prudential, AIA, sama Allianz. Tiga-tiganya nawarin asuransi unitlink. Sebenernya mereka bertiga kurang lebih lah, tapi gw langsung coret Allianz. Bukan karena produknya gak bagus, tapi karena agennya masih ijo banget dan kayaknya kurang mengerti produknya.
Lalu gw harus memilih antara Pru atau AIA. Dua-duanya ada unsur “gak enak”nya, karena agen Pru adalah mamanya murid gw, dan agen AIA adalah temen main dari zaman SMA. Keduanya adalah orang yang gw temui rata-rata seminggu sekali, sedangkan agen Allianz itu temennya temen, itupun bukan temen deketnya temen gw.
Tapi, akhirnya pilihan gw jatuh pada AIA. Why? Because they have something sooo good yang Prudential belum punya, yaitu produk asuransi kesehatan yang bisa claim as charged. Yaudah deh, gak bisa dikalahin, makanya pilihan antara Pru sama AIA gak pake lama.

Okay, now why unitlink?
1.      Karena asuransi murni harus bayar either sampe tua banget atau bayar sekian tahun tapi hanya dicover sekian tahun juga. Beda dengan unitlink yang bayar 10-15 tahun tapi bisa dicover sampe tua (in my case, I pay 12 years and kesehatan dicover sampe umur 80). CMIIW here. I know, setelah 12 tahun gw bukannya gak usah bayar lagi, tapi more like unitlinknya udah cuan sehingga dia bisa pay for itself. Again, CMIIW.
2.      Para financial planner bilang, unitlink gak oke karena investasi dan asuransi harus dipisah. I get it. Tapi gw gak nganggep unitlink ini sebagai investasi gw. Gw akan men-treat dia sebagai expense gw. Pada akhirnya, meskipun cuan yang gw dapet gak akan segede kalau gw taruh duit gw di reksadana/instrumen investasi lainnya, gw tetep gak akan rugi, karena pada saat gw meninggal nanti, ahli waris gw akan dapet duit lebih besar dari seluruh uang yang pernah gw bayarkan + sisa nilai tunainya. Meskipun lagi, kalau gw berumur panjang, let’s say gw meninggal umur 80, duit segitu 55 tahun lagi gak akan bernilai apa-apa, at least gw balik modal meski gw gak bisa nikmatin duitnya (duh banyak banget pake kata “meski”). Pemikiran yang sederhana banget sih, tapi setidaknya gw dapet peace of mind. Lagi-lagi, bukankah beli asuransi itu untuk bisa dapet peace of mind?

3.      Asuransi murni sudah sangat jarang dijual. Ini bukan faktor pilihan kita sih, tapi pada kenyataan di lapangan. Sang agen AIA itu, setelah gw tandatangan SPAJ dan semua dokumen, cerita bahwa AIA memang punya produk murni tanpa unitlink namun produk tersebut sudah dilarang untuk dijual oleh AIA. Why? I don’t know. Mungkin gak menguntungkan bagi perusahaan asuransi atau sistem asuransi tradisional yang udah gak cocok sama zaman sekarang. Mungkin ada yang bisa jelasin ke gw kenapa? Emang sih gw masih banyak perusahaan asuransi yang belum gw temuin, jadi ini bukan fakta umum yah.

That's all. Ini bukan blog berbayar (I wish!). Tapi cuma sekedar sharing aja. Kalau emang lagi ada yang baca dan emang lagi butuh asuransi, silakan tentukan produk asuransi dan perusahaan asuransi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. :) 

Friday, November 22, 2013

Asuransi Part 2: Pilih-pilih...

Gw gak suka beli sesuatu yang “gak kelihatan barangnya”, apalagi kalau barang yang tidak kelihatan itu nilainya akan menurun atau hilang sama sekali. Yap, asuransi kesehatan itu kalau gak dipake, bakalan cuma berasa berat bayarnya doang. Lah, tapi masa asuransi ngarep dipake? Justru jangan sampe sakit dong… Maka dari itulah, gw bingung sebingung-bingungnya waktu milih asuransi kesehatan. Apalagi gw termasuk orang yang jarang sakit. Seumur hidup gw 25 tahun ini, belum pernah sekalipun gw dirawat di RS (amit-amit).
       Despite all the confusion, gw tetep merasa harus beli. Ada 1 hal lagi yang mentrigger keputusan ini, yaitu dirawatnya my sister di rumah sakit. Dia bisa dirawat di kamar VIP dan dicover hampir semua biayanya, karena sistemnya as charged. Gw pengen cari tau produk tersebut, tapi sayangnya produk itu gak available di Indonesia. Maka, dimulailah riset mendalam gw mengenai dunia asuransi dan meeting intensif bersama para agen asuransi dari perusahaan berbeda.
       Pertama, para perencana keuangan cenderung anti sama yang namanya unitlink, karena prinsipnya asuransi dan investasi harus dipisah. I guess para agen udah sadar sama prinsip ini, terutama bagi yang melek internet, dan mulai men-twist istilah ini. Ada yang pake kata “nabung”, atau bahkan ada yang ga nyebut sama sekali kalau ini unitlink. Gw mikir, kenapa sih koq anti banget? Kalau produk itu sama sekali ga ada manfaatnya, ga mungkin sekarang mayoritas perusahaan asuransi menawarkan produk itu.
       Gw pun mempelajari polis nyokap gw yang udah berjalan 8 tahun dari perusahaan asuransi yang inisialnya P. Saat itu, dia beli tanpa mengenal produknya. Dia gak tahu dia bakal dicover apa aja, harus bayar sampe kapan, dicover sampe kapan, dll dll… Yang gw tau, dia sering ngeluh kalau dia udah bayar sekian, tapi tiap bulan dikirimin statementnya, nilainya cuma separuh dari apa yang udah dia setorkan (dan dia gak ngerti duitnya kemana, angka segitu dari mana dll). Temennya yang ikut bareng dia pernah kena kecelakaan kecil dan masuk RS, tapi dicovernya cuma kecil banget. That’s why dia agak nyesel.
       Trus gw dengan pengetahuan terbatas, korek-korek polisnya nyokap dan ilustrasi yang dibikinin agennya sebelom dia join. Ya ampun, ternyata coveragenya nyokap gw nggak banget. Gw cocokin sama statement-nya yang terakhir dan akhirnya gw tahu nilai itu dari mana.
       Jadi gini nih, kalau kita lagi dipresentasiin sama agen, kita dikasih ilustrasi berlembar-lembar, trus ada 1 tabel yang isinya angka semua, dan ada kolom yang tulisannya “rendah, sedang, tinggi”. Si agen pasti akan nunjuk ke kolom “tinggi”. Itu adalah nilai yang akan kita dapat KALAU return investasi unitlinknya tinggi, which is 15-17% (padahal nilai ini gak tinggi-tinggi amat loh)
       Okelah, investasi mau unitlink atau reksadana ga bisa dilihat dalam 1-2 tahun saja. Tapi, nyokap gw udah setor selama 8 tahun, dan ternyata performanya selama 8 tahun ini cuma di angka sedang (sekitar 10%). Which means, kalau kinerjanya ini unitlink gak meningkat, asuransi nyokap gw akan lapse (berhenti) dan asuransinya akan tutup. Wek wew… Padahal, kalau reksadana yang bagus dalam 8 tahun harusnya udah kasih return di atas 300%.
       INILAH YANG MENYEBABKAN BANYAK ORANG ANTI SAMA UNITLINK.

       Tapi setelah ngomong sama beberapa agen (yang super pro unitlink dan hampir ga pernah jualan asuransi murni tanpa embel-embel investasi), gw memutuskan untuk tetap ambil unitlink. Bukan karena gw kemakan bujuk rayu sang agen, tapi karena gw dengan penuh kesadaran mengerti manfaat dan resikonya unitlink.

(...bersambung) 

Wednesday, November 20, 2013

Perjalanan mencari asuransi jiwa dan kesehatan - Part 1: my financial condition


Puji Tuhan. Tuhan atur rezeki gw sedemikian rupa sehingga gw bisa memenuhi semua target finansial gw di tahun 2013. Bukan dengan cara Tuhan selalu lancarkan pemasukan gw setiap bulan kayak keran bocor, melainkan dikasih naik turun dan maju mundur sampai akhirnya gw “pinter” ngaturnya, dan puji Tuhan lagi gw akan menutup tahun 2013 ini dengan rasa puas diri.
Flashback ke awal tahun 2013, di mana gw barusan keluar dari kerja kantoran dan mulai kerja di preschool yang gajinya lebih kecil dari kerja kantoran yang udah lumayan kecil. Pekerjaan itu cuma bertahan tiga bulan. Saat itu, duit menguap aja. Gw gak bisa nabung (tahun lalunya juga gak nabung sih), dan terancam kayaknya ga bisa nyicil mobil lagi.
Di tengah kegalauan finansial itu, gw jalan-jalan ke Bangkok (pinter banget ya?). Gw lupa pake duit dari mana, kayaknya sih itu ngorek tabungan lama. Trus sepulangnya dari Bangkok, gw yang ga tau mau ngapain dapet my first book translation job dari penerbit dan actually bakalan diterbitin. Gw juga dapet job jadi guru Bahasa Indonesia buat Chinese expats di Jakarta. Gw tetep bisa bayar cicilan mobil tapi tetep aja abis itu duitnya abis entah ke mana.
Di titik ini, gw mengaku kalau gw itu freelancer. Gw udah melabeli diri gw dengan kata kunci yang cukup ngehits itu. Tapi itu semua bukannya karena ada 1 titik gw dapet wahyu dan gw langsung sadar, tapi itu adalah pernyataan yang keluar dari kondisi yang mulai menunjukkan polanya (yaitu pola gak beraturan!). Di titik ini, gw tau gw gak bisa balik kerja kantoran lagi dan gw juga gak bisa kerja di preschool/sekolah. Kebetulan juga job lagi lancar, why not?
Then, gw mulai mengalami ups and downsnya. Summer gw ke Beijing dan Lebaran gw ke Malang (thanks to my flexible schedule!), during which gw gak kerja dan berarti gw gak dibayar! Waktu Summer gw juga pake pecahin celengan segala, tapi gw gak anxious karena gw gak catet berapa yang gw punya dan yang gw habiskan. Di saat orang lain dapet THR Lebaran, gw malah manyun karena lagi “kering”. Dan saat lagi gersang, tiba-tiba gw jalan-jalan ke Makassar dan beli tiket Jay Chou yang ajubile harganya. What was I thinking? (tapi gw gak nyesel sih keduanya itu).
And in September, gw ngobrol sama my best friends yang udah sadar finansial duluan. Dalam bulan itu, gw melahap sebanyak-banyaknya informasi dan ilmu mengenai personal finance dari buku dan browsing sampai akhirnya gw sadar, kalau keuangan gw sangat berantakan banget dan gw ada dalam posisi bahaya! (before that I was ready to spend all my emergency $$$ to pay my car loan, OMG! Sekarang rasanya pengen toyor diri sendiri), Gw bahkan ga tau kalau “celengan” itu harus dilabeli “emergency fund”. Saat itu gw cuma taunya itu uang sisa (di mana gw sangat beruntung untuk memilikinya).
Back to financial literacy. Temen gw itu ngajarin kalau kita harus punya tabungan dan investasi, dan gw ga ngerti blas sama yang namanya invest. Temen gw itu dan ada 1 temen lagi (mereka berdua dari lingkaran yang berbeda) dengan antusias memberi pengarahan pada gw, sampai akhirnya gw membeli reksadana pertama gw di September 2013.
Dengan penghasilan freelancing gw yang mulai menunjukkan sebuah pola yang beraturan, gw komit kalau gw harus mengalokasikan sekian persen ke tabungan dan sekian persen ke investasi (dan X ke cicilan mobil sampai lunas). Tapi ternyata itu semua belom cukup, karena gw yang gak kerja kantoran ini GAK PUNYA ASURANSI KESEHATAN. Jreng…


(bersambung)

Sunday, November 10, 2013

Di saat kita gak punya pilihan lain selain... berbisnis

Banyak buku tentang investasi/kewirausahaan/financial freedom beredar belakangan ini, dan gw baca beberapa darinya. Penulis-penulisnya punya latar belakang yang berbeda-beda satu sama lain, tapi pasti ada benang merah yang bisa ditarik dari semua itu, sampai-sampai kesannya "koq buku beginian isinya sama semua yah?" 

But I keep reading. Selain karena gw lagi punya banyak waktu, gw pengen membuat seolah-olah ada orang yang terus ngoceh-ngocehin gw sampe gw gak tahan dan akhirnya harus melakukan itu. Haha... Sekarang sih, belum sampe pada tahap itu, tapi doain segera yah ^^

Ceritanya hari Jumat lalu gw ketemuan sama 2 temen Beijing gw. Yang 1, namanya M, hampir lulus S2, dan seperti kebanyakan orang Indo yang tinggal di Beijing, dia bingung harus for good atau stay di Beijing setelah lulus. Pertanyaan berikutnya, kalau for good, mau ngapain? Kerja di perusahaan atau nerusin usaha bokap yang udah established?

Yang kedua, namanya B. Dia lulus tahun 2011, dan selama 2 tahun ini, dia kerja di 2 perusahaan China yang berbeda, tapi 2-2nya udah berskala internasional. Tahun ini dia quit dari keduanya dan bantuin usaha bokapnya. 

Yang ketiga, namanya C (okay that's me). Gw lulus tahun 2010, kerja di Beijing 1 tahun, trus kerja di Indonesia sekitar 1 tahun, dan sekarang gw take off dan "kerja sendiri" (freelancing is the right word, though some people flatter me by calling me an "entrepreneur" or "businesswoman". I'm not (yet)). 

Gw dan B serupa tapi tak sama. Kerja dulu buat orang lain selama 2 tahun dan akhirnya jalan sendiri. Kita berdua punya kesimpulan kalau "eventually lo akan bisnis sendiri/lanjutin usaha bokap." Nah sekarang pertanyaannya M, "kalau eventually akan begitu, mending mulai sekarang atau kayak kalian dulu, 2 tahun buang waktu kerja sama orang baru bantuin bokap?" 

Pertanyaan itu langsung di-counter sama B, "Siapa bilang gw buang waktu? Gw gak nyesel kerja 2 tahun dulu. Meskipun sengsara, tapi itu bener-bener pengalaman berharga." Klise yah? Menurut gw sih gak klise sama sekali, karena cerita B 2 tahun pertama itu bener-bener seru. Di China, dia masuk salah satu perusahaan elektronik terbesar di sana. Anak-anak baru di sana "diplonco" secara fisik dan mental. Dia ngerasain yang namanya tinggal di asrama bobrok, ikut latihan militer, jualan mesin susu kacang di Suning (toko semacam Best Denki kalau di sini). Padahal di sini, dia tinggal di perumahan elit, bokapnya pengusaha, mobil bagus berjejer di rumahnya. Trus gw tanya sama dia, "Nyesel gak?" Dan dia jawab, "Saat itu sih bener-bener ngerasa menyedihkan, tapi sekarang gw ngerasa itu pengalaman berharga."

Well, sama! Gw suka banget first job gw. Bahkan si M bilang, "Iya Cin, lo oke banget di sana." 

Nah sekarang fast forward ke 2 tahun setelah kita bilang "I do" ke first job kita, kita (gw dan B) tinggalin kerjaan kantoran kita dan milih jalan yang kayaknya akan kita tempuh for the rest of our lives. Kalau B bilangnya, bantuin bokapnya bukan masalah bersedia atau nggak, tapi itu emang sesuatu he can't say no to. "Masak usaha bokap gw yang udah dirintis bertahun-tahun dari 0 mau dibiarin tutup karena gw gak mau lanjutin?" Si M ngangguk-ngangguk. Gw juga aminin si B. 

Si M juga minta pencerahan dari gw, tapi gw bilang, "Sebenernya kondisi gw gak sama dengan B. Gw bukan bisnis sekarang, bokap gw juga gak punya bisnis yang akan diwarisin ke gw, tapi... gw sekarang (atau setidaknya dalam waktu dekat), harus buka bisnis sendiri, atau nggak gw akan stuck begini-begini terus." 

Yup, gw gak mau selamanya keliling Sunter-Kelapa Gading ngelesin anak-anak SD terus. Gw gak mau diem terus nunggu ada temen ngenalin job. Gw mau orang-orang bisa akses sama service yang gw kasih dan mereka bisa menggapai gw. Gw mau mewujudkan salah satu impian gw: hire an assistant, or maybe hire a team. 

Tapi yaaa... gak semudah itu. Sebenernya 2 tahun itu nggak cukup, jadi gw masih harus banyak baca buku, banyak eksperimen, banyak tanya-tanya orang... I guess, ini bisa jadi target gw tahun 2014? Doakan saja...

C

Wednesday, November 6, 2013

The only person I need to prove myself to, is myself

Tanpa gw sadari, gw suka over-promise. Why? Karena gw suka denger orang-orang over-promise, because I'm like Marshall Eriksen, I believe in people. Gw ga suka kalau gw minta sesuatu yang wajar (I never demand impossible things), orang yang gw anggap mampu cuma bisa kasih gw jawaban, "I can't promise, we'll see." Gw prefer orang jawab gw, "I will try my best to make it happen". Meskipun pesan yang tersirat dari dua jawaban itu mirip, gw gak suka yang pertama karena gw dijawab dengan kalimat negatif. Dan "we'll see" mengandung unsur kepasrahan kepada alam semesta instead of memadukan usaha sendiri + kemurahan alam semesta. Sedangkan yang kedua, ada pake kata "best", itu kata superlative. Tidak ada yang lebih baik dari "best" (bestest is not a word). Dan dia lakukan yang terbaik hanya untuk "make it happen". Dia tidak janji bisa sukses, tapi dia berusaha sekuat tenaga untuk bisa terjadi.

Contoh, mobil tua lo mogok dan lo ke bengkel, lo ga berharap mobil itu bisa ngebut lagi, lo cuma berharap mobil itu bisa jalan lagi sewajarnya. Ada 2 kemungkinan jawaban dari montirnya:
1. "I can't promise, we'll see"
lalu mobil lo beneran gak bisa jalan lagi. Apa yang akan dikatakan si montir? "As I told you before, I can't promise anything." Ato dalam arti lain: itu derita lo.
2. "I will try my best to make it happen."
lalu mobil lo beneran gak bisa jalan lagi. Apa yang akan dikatakan si montir? "I already tried my best but it just didn't work out".

Sebagai pemilik mobil, bagaimana perasaan lo? Udah sedih mobil rusak, jawaban apa yang lo harapkan? Jawaban itu gak harus benar, tapi harus tepat.

Nah, karena gw gak suka digituin orang, makanya gw gak mau gituin orang. Tapi hal ini emang juga butuh kelihaian. I don't want to make the 2nd answer as my "template" answer because sometimes I don't try my best. 

Gw juga terinspirasi sama Jim Carrey di film Yes Man, di mana kalau kita katakan "yes" pada banyak hal, kita akan menemui banyak hal-hal tak terduga. Tapi sayangnya, hal-hal tak terduga itu bisa baik bisa buruk, dan most of the time, buruk.

So what do I do? Instead of milih-milih siapa yang gw harus kasih jawaban pertama dan kedua, gw lebih pilih menjawab dengan nomer 2 terus dan try my best in every single thing I do.

Caranya melakukan itu, pertama-tama, adalah tidak bersikap perhitungan dan mempunyai pemikiran "the only person I need to prove myself to, is myself". I did that yesterday, and I'm proud.

Ini masih ada hubungannya dengan tulisan gw sebelumnya tentang manajemen sekolah yang kacau.

Gw sadar kalau peraturan sekolah gak bisa diubah dan alih-alih curhat mulu sama murid (jadi terkesan ga profesional), mending bikin mereka tambah sayang sama gw. Gw pun tanya ke diri sendiri, sampe gw ikut kelas orang lain biar gw bisa examine gurunya, "kalau gw itu seorang murid, gw pengen guru gw kayak gimana?"

Gw bukan orang yang suka dandan, tapi gw berpakaian sesuai dengan peran gw. Kalau gw ngajar, biasanya gw pake celana jins panjang dan polo shirt tanpa make up. Nah kemarin, karena gw banyak waktu + gw jarang ketemu murid-murid gw + gw mo terlihat bagus dan segar, gw blow rambut, make up, pake heels, pake kemeja. Gw juga dateng pagian biar gak grabak grubuk.

Efek pertama yang dirasakan, gw jadi lebih percaya diri dan santai. Murid-murid ngeliat gw juga jadi senyum sambil ngeledek, "Laoshi potong rambut ya? Laoshi koq hari ini make up?" Laoshi koq hari ini pake heels?"

Cara kedua mengambil hati mereka adalah, prepare the lesson! Seperti yang gw pernah ceritain sebelumnya, di sini susah kalo mau prepare, karena level murid-murid beda. Gw juga menyadari kalau kemarin-kemarin gw terlalu cepet ngajarinnya jadi gak ada yang nyantol di otak mereka. So, instead of jebretin 1 bacaan panjang, mending 1 bagian aja dan diulang-ulang terus dan paksa mereka untuk latihan.

Efek keduanya, mereka jadi "terpaksa" ngomong. Mungkin ada dari mereka yang belum terbiasa pake cara ini, jadi kagok banget. Tapi mulai dari sekarang, itu akan jadi style gw. Hasilnya? Pelajaran gw molor... Dulu gw susah banget untuk mimpin kelas 50 menit. Di menit ke 45, gw bubarin tuh kelas, istirahat harusnya 15 menit bisa molor sampe 20 menit. Tapi skrg, gw malah 60 menit ga bubar-bubar, dan break 10 menit aja untuk minum dan ke toilet, lalu lanjut lagi.

Efek keseluruhannya? Murid gw setia ngikutin dan gw yakin mereka lebih banyak yang nyantol. Kelas yang biasanya 2-3 orang, kemarin bisa ada 8 orang.

Efek keduanya, ngajar model gini 5 jam jebret, cape. Hehe...

But I don't mind cape, selama itu cape fisik, bukan cape ati. Masa-masa cape ati gw udah lewat, dan gw sekarang ada pada tahap "menyenangkan diri sendiri". Beneran loh, melakukan sesuatu dengan penuh passion dan penuh kasih itu ngasih efek yang luar biasa. I'm not trying to prove to the school that I'm worth it because they're going to kick me out anyway, and I'm not trying to deliver the message "you're going to miss me when I'm gone", but I'm trying to prove to myself that, "Hey, this is your passion", "this is what you're going to get if you do things with love and passion". I prove myself right. I used to be my own worst enemy, tapi sekarang kita lagi temenan dan kompak... Hehe...

We are the champion!

C

Sunday, November 3, 2013

Some people just love to see other people miserable

Waktu mulai berjalan lambat lagi, karena di awal November ini, lagi-lagi ada perubahan yang cukup besar dalam hidup yang bagi gw kurang menyenangkan.

Berawal dari awal bulan September di mana gw bekerja paruh waktu di sebuah lembaga bahasa yang baru berdiri. 2 bulan ngajar di sana dengan jadwal yang cukup padat dan aneh bikin gw cukup betah meskipun sesekali cape dan ngerasa "aneh". Selama 2 bulan, jadwal gw kerja di sana Senin-Jumat dan sehari minimal 5 jam. Ada yang 6, ada yang 7 jam. Udah gitu, kebanyakan mulainya sore dan selesai bisa jam 8 sampe 10 malem.

Selama 2 bulan ini, gw ketemu banyak macam murid. Ada yang masih sekolah SD, ada yang seumuran gw, ada juga yang udah punya cucu. Puji Tuhan mereka puas dengan cara mengajar gw dan selalu masuk pas shift gw. I guess ada juga sih beberapa yang gak cocok dengan gaya ngajar gw dan ga pernah balik lagi. Di sini gw belajar milih bahan yang cocok untuk murid yang berbeda-beda, dan gw belajar gimana caranya supaya mereka enjoy sama bahan yang gw sampaikan. Gw berusaha konsisten pake textbook, gw usahain dari awal sampe akhir runtut dan ngerjain semua latihannya. Meskipun kadang keadaan gak memungkinkan untuk itu, gw berprinsip bahwa setiap murid harus mendapatkan sesuatu setelah keluar dari kelas yang gw pimpin.

Gw terharu sama murid-murid yang udah jadi kayak temen gw. Di luar jam kerja, mereka suka whatsapp/line gw dengan nanya ini itu, atau sekedar tanya jadwal. Bahkan ada beberapa yang jadi ngobrol dan curhat. Haha...

Lalu di akhir bulan Oktober, saat di mana kita harus atur jadwal untuk November (jadwal kita ganti tiap bulannya), gw punya koordinator baru. Orang ini agak susah untuk dinego soal jadwal, dan saat itu mengakibatkan gw rada-rada bete dibuatnya. Dia kurang efisien dan kurang tangkas dalam mengatur jadwal yang terbaik buat semuanya (guru, murid, manajemen). Tapi akhirnya, gw (terpaksa) sepakat dengan jadwal baru yang dia buat.

Setelah jadwal itu berjalan seminggu, tiba-tiba ada peraturan baru dari si pemilik kalau guru part time ga boleh lebih dari 10 jam per minggu. Which means, jam gw yang tadinya ada 22 jam seminggu bakal dicut jadi 10 jam. Hal ini secara finansial tentu berpengaruh besar buat gw, my main source of income berkurang lebih dari setengahnya. Tapi ini gw cukup santai... Yang bikin gw mangkel banget adalah, ada jadwal baru gw yang diatur jadi 3 jam ngajar, 2 jam break, 2 jam lagi ngajar. Which means gw harus stay 7 jam di sana tapi gw cuma dibayar 5 jam. Gw udah bilang ga mau digituin, dan students juga menyatakan keberatan. So I said, give me 5 hours straight or nothing at all. Trus sang supervisor (bukan koordinator) bilang, "They do this to make it difficult for part time teachers." Ckckck... Gw ga habis pikir sama orang-orang yang sengaja bikin hidup orang merana padahal itu juga ga membawa kebaikan apapun buat dirinya sendiri.

Gw bisa aja resign detik itu juga. Tapi, kebiasaan gw (entah ini baik atau buruk), gw merasa itu terlalu mudah untuk mereka jadi gw harus kasih mereka pelajaran dulu sebelum gw cabut selama-lamanya dari situ. Kayak gimana? Jujur aja belom tau.

Koq ada aja contoh buruk di sekeliling gw ini yah. Earning money itu gampang, cari guru itu gampang, tapi pertahaninnya yang susah banget. Bikin semua orang happy itu yang ga gampang, padahal kalau mau, bisa aja loh. Segitu pentingnyakah membuktikan diri sendiri hebat dengan cara "I can make your life miserable?"

This is something not worth fighting for, so I better leave.