Ocehan-ocehan saya :)

Sunday, March 8, 2009

Mengapa Saya Kuliah di Luar Negeri?

Banyak komentar yang muncul menanggapi kematian misterius seorang mahasiswa NTU, David Hartanto. Banyak yang sedih dan menuntut kebenaran dibeberkan, tetapi tidak sedikit juga yang tidak bersimpati. Satu hal yang sering diusik oleh orang-orang ignorant ini adalah ‘buat apa sich kuliah di luar negeri kayak di Indonesia ga ada universitas aja?’, ‘makanya jangan Singapore-minded’, ‘kuliah di luar negeri hanya untuk gengsi saja’. Sangat disayangkan sekali bahwa di era globalisasi seperti ini masih banyak yang berkomentar demikian.

Saya sebagai mahasiswa yang menetap di luar negeri SANGAT KEBERATAN atas komen-komen negatif di atas. Saya punya alasan-alasan yang kuat mengapa saya kuliah di luar negeri.

Pertama, bukan karena orang tua saya kaya-raya dan hanya mau gengsi. Asal tahu saja, kuliah di luar negeri belum tentu lebih mahal dari di Indonesia. Di tempat saya kuliah, sistem pembayaran uang kuliah adalah per semester. Di luar itu palingan hanya ada uang tambahan untuk membeli buku pelajaran. Tidak ada yang namanya uang pangkal, uang gedung, uang daftar ulang, beli TV untuk menyogok dosen supaya sidang tesisnya lancar, dsb dsb dsb… Pernah saya dengar kalau uang pangkal masuk fakultas kedokteran di universitas swasta ternama di Jakarta sebesar 100 juta rupiah. Justru menurut saya, kalau anak orang kaya lebih baik jangan kuliah di luar negeri. Karena di luar negeri tidak ada supir dan pembantu. Baju cuci sendiri, piring kotor cuci sendiri, tidak ada cerita seminggu sekali ke salon untuk facial, creambath, kalau mau ke mall harus jalan kaki dulu dan naik kendaraan umum, dll. (Kecuali kamu anak konglomerat yang kuliah di California, punya garasi penuh mobil mewah dan ke kampus naik helikopter pribadi). Saya paling benci sama mahasiswa-mahasiswa yang tidak bisa bertingkah seperti ‘masyarakat pada umumnya’: desak-desakan di bus, mencari barang paling murah di supermarket hanya demi menghemat beberapa sen saja. Udah gitu ga mau bersosialisasi sama orang pula! Duh jadi marah-marah nich. Tapi yang jelas udah dapet poin gue kan? Lanjut deh…

Kedua, saya percaya kuliah di luar negeri kualitasnya lebih baik. Guru BP saya waktu SMA dan guru les mat-fis saya waktu SMP menyesalkan bahwa saya kuliah di China. Memang China belum menjadi tujuan kuliah yang paling top. Tetapi, di sini saya belajar disiplin. Bel jam 8, guru sudah ada di kelas paling tidak 10 menit sebelum pelajaran dimulai. Pas bunyi kriiing, laptop dan alat-alat untuk mengajar udah siap semua dan pelajaran dimulai. Kata teman saya yang kuliah di universitas T di Jakarta, tidak ada dosen Indonesia yang tepat waktu, mereka bisa terlambat sampai 1 jam (Kalau ini ga bener, jangan salahkan saya, salahkan saja teman saya, namanya Gesyu. Oops…. Huehue). Di sini saja yang namanya orang Indonesia kadang-kadang suka sengaja datang terlambat. Padahal bukan ga bisa loh, dia datang tepat waktu. Mungkin mau ‘make an entrance’ kali yah. Untung dosen saya ga ada yang jahat. Kalau yang jahat sich, udah dikunci di luar, ga dikasih absen pula. (Sebenernya itu bukan jahat, tapi disiplin, ya kan?)

Ketiga, saya berterimakasih sama Tuhan karena di China tidak ada yang namanya OSPEK. Bagi mahasiswa lokal, mereka ada latihan militer. Tapi itu denger-denger sich latihan yang formal. Baris-berbaris, dll. Maklum namanya juga negara komunis. Ga ada tuch yang namanya disuruh pake kaos kaki sebelah merah sebelah kuning, bawa beras 1000 butir, nyalin siaran berita RRI, dll.

Maksud dari semua ini, saya bukannya mau menghina orang-orang yang kuliah di Indonesia. Saya percaya banyak banget universitas bagus di Indonesia yang sayapun mau masuk ke sana. Orang Indonesia kan memang sudah terkenal pinternya kemana-mana (ini serius bukan sarcasm, buktinya di NTU saja banyak yang dapet beasiswa, di olimpiade fisika matematika sering yang dapet medali). Cuma tolong, tolong dimengerti bahwa orang yang kuliah di luar negeri itu ga semuanya orang yang orang tuanya kebanyakan duit, ga level kuliah di Indo, trus di luar negeri kerjaannya shopping dan clubbing melulu. Yang namanya mahasiswa juga sama semua, kerjaannya belajar, kerjain tugas, dan sebagainya.

Yang terakhir tetapi bukan yang paling tidak penting (last but not least), may you rest in peace, David. I believe you didn’t commit suicide.

0 comments: