Ocehan-ocehan saya :)

Wednesday, November 20, 2013

Perjalanan mencari asuransi jiwa dan kesehatan - Part 1: my financial condition


Puji Tuhan. Tuhan atur rezeki gw sedemikian rupa sehingga gw bisa memenuhi semua target finansial gw di tahun 2013. Bukan dengan cara Tuhan selalu lancarkan pemasukan gw setiap bulan kayak keran bocor, melainkan dikasih naik turun dan maju mundur sampai akhirnya gw “pinter” ngaturnya, dan puji Tuhan lagi gw akan menutup tahun 2013 ini dengan rasa puas diri.
Flashback ke awal tahun 2013, di mana gw barusan keluar dari kerja kantoran dan mulai kerja di preschool yang gajinya lebih kecil dari kerja kantoran yang udah lumayan kecil. Pekerjaan itu cuma bertahan tiga bulan. Saat itu, duit menguap aja. Gw gak bisa nabung (tahun lalunya juga gak nabung sih), dan terancam kayaknya ga bisa nyicil mobil lagi.
Di tengah kegalauan finansial itu, gw jalan-jalan ke Bangkok (pinter banget ya?). Gw lupa pake duit dari mana, kayaknya sih itu ngorek tabungan lama. Trus sepulangnya dari Bangkok, gw yang ga tau mau ngapain dapet my first book translation job dari penerbit dan actually bakalan diterbitin. Gw juga dapet job jadi guru Bahasa Indonesia buat Chinese expats di Jakarta. Gw tetep bisa bayar cicilan mobil tapi tetep aja abis itu duitnya abis entah ke mana.
Di titik ini, gw mengaku kalau gw itu freelancer. Gw udah melabeli diri gw dengan kata kunci yang cukup ngehits itu. Tapi itu semua bukannya karena ada 1 titik gw dapet wahyu dan gw langsung sadar, tapi itu adalah pernyataan yang keluar dari kondisi yang mulai menunjukkan polanya (yaitu pola gak beraturan!). Di titik ini, gw tau gw gak bisa balik kerja kantoran lagi dan gw juga gak bisa kerja di preschool/sekolah. Kebetulan juga job lagi lancar, why not?
Then, gw mulai mengalami ups and downsnya. Summer gw ke Beijing dan Lebaran gw ke Malang (thanks to my flexible schedule!), during which gw gak kerja dan berarti gw gak dibayar! Waktu Summer gw juga pake pecahin celengan segala, tapi gw gak anxious karena gw gak catet berapa yang gw punya dan yang gw habiskan. Di saat orang lain dapet THR Lebaran, gw malah manyun karena lagi “kering”. Dan saat lagi gersang, tiba-tiba gw jalan-jalan ke Makassar dan beli tiket Jay Chou yang ajubile harganya. What was I thinking? (tapi gw gak nyesel sih keduanya itu).
And in September, gw ngobrol sama my best friends yang udah sadar finansial duluan. Dalam bulan itu, gw melahap sebanyak-banyaknya informasi dan ilmu mengenai personal finance dari buku dan browsing sampai akhirnya gw sadar, kalau keuangan gw sangat berantakan banget dan gw ada dalam posisi bahaya! (before that I was ready to spend all my emergency $$$ to pay my car loan, OMG! Sekarang rasanya pengen toyor diri sendiri), Gw bahkan ga tau kalau “celengan” itu harus dilabeli “emergency fund”. Saat itu gw cuma taunya itu uang sisa (di mana gw sangat beruntung untuk memilikinya).
Back to financial literacy. Temen gw itu ngajarin kalau kita harus punya tabungan dan investasi, dan gw ga ngerti blas sama yang namanya invest. Temen gw itu dan ada 1 temen lagi (mereka berdua dari lingkaran yang berbeda) dengan antusias memberi pengarahan pada gw, sampai akhirnya gw membeli reksadana pertama gw di September 2013.
Dengan penghasilan freelancing gw yang mulai menunjukkan sebuah pola yang beraturan, gw komit kalau gw harus mengalokasikan sekian persen ke tabungan dan sekian persen ke investasi (dan X ke cicilan mobil sampai lunas). Tapi ternyata itu semua belom cukup, karena gw yang gak kerja kantoran ini GAK PUNYA ASURANSI KESEHATAN. Jreng…


(bersambung)

Sunday, November 10, 2013

Di saat kita gak punya pilihan lain selain... berbisnis

Banyak buku tentang investasi/kewirausahaan/financial freedom beredar belakangan ini, dan gw baca beberapa darinya. Penulis-penulisnya punya latar belakang yang berbeda-beda satu sama lain, tapi pasti ada benang merah yang bisa ditarik dari semua itu, sampai-sampai kesannya "koq buku beginian isinya sama semua yah?" 

But I keep reading. Selain karena gw lagi punya banyak waktu, gw pengen membuat seolah-olah ada orang yang terus ngoceh-ngocehin gw sampe gw gak tahan dan akhirnya harus melakukan itu. Haha... Sekarang sih, belum sampe pada tahap itu, tapi doain segera yah ^^

Ceritanya hari Jumat lalu gw ketemuan sama 2 temen Beijing gw. Yang 1, namanya M, hampir lulus S2, dan seperti kebanyakan orang Indo yang tinggal di Beijing, dia bingung harus for good atau stay di Beijing setelah lulus. Pertanyaan berikutnya, kalau for good, mau ngapain? Kerja di perusahaan atau nerusin usaha bokap yang udah established?

Yang kedua, namanya B. Dia lulus tahun 2011, dan selama 2 tahun ini, dia kerja di 2 perusahaan China yang berbeda, tapi 2-2nya udah berskala internasional. Tahun ini dia quit dari keduanya dan bantuin usaha bokapnya. 

Yang ketiga, namanya C (okay that's me). Gw lulus tahun 2010, kerja di Beijing 1 tahun, trus kerja di Indonesia sekitar 1 tahun, dan sekarang gw take off dan "kerja sendiri" (freelancing is the right word, though some people flatter me by calling me an "entrepreneur" or "businesswoman". I'm not (yet)). 

Gw dan B serupa tapi tak sama. Kerja dulu buat orang lain selama 2 tahun dan akhirnya jalan sendiri. Kita berdua punya kesimpulan kalau "eventually lo akan bisnis sendiri/lanjutin usaha bokap." Nah sekarang pertanyaannya M, "kalau eventually akan begitu, mending mulai sekarang atau kayak kalian dulu, 2 tahun buang waktu kerja sama orang baru bantuin bokap?" 

Pertanyaan itu langsung di-counter sama B, "Siapa bilang gw buang waktu? Gw gak nyesel kerja 2 tahun dulu. Meskipun sengsara, tapi itu bener-bener pengalaman berharga." Klise yah? Menurut gw sih gak klise sama sekali, karena cerita B 2 tahun pertama itu bener-bener seru. Di China, dia masuk salah satu perusahaan elektronik terbesar di sana. Anak-anak baru di sana "diplonco" secara fisik dan mental. Dia ngerasain yang namanya tinggal di asrama bobrok, ikut latihan militer, jualan mesin susu kacang di Suning (toko semacam Best Denki kalau di sini). Padahal di sini, dia tinggal di perumahan elit, bokapnya pengusaha, mobil bagus berjejer di rumahnya. Trus gw tanya sama dia, "Nyesel gak?" Dan dia jawab, "Saat itu sih bener-bener ngerasa menyedihkan, tapi sekarang gw ngerasa itu pengalaman berharga."

Well, sama! Gw suka banget first job gw. Bahkan si M bilang, "Iya Cin, lo oke banget di sana." 

Nah sekarang fast forward ke 2 tahun setelah kita bilang "I do" ke first job kita, kita (gw dan B) tinggalin kerjaan kantoran kita dan milih jalan yang kayaknya akan kita tempuh for the rest of our lives. Kalau B bilangnya, bantuin bokapnya bukan masalah bersedia atau nggak, tapi itu emang sesuatu he can't say no to. "Masak usaha bokap gw yang udah dirintis bertahun-tahun dari 0 mau dibiarin tutup karena gw gak mau lanjutin?" Si M ngangguk-ngangguk. Gw juga aminin si B. 

Si M juga minta pencerahan dari gw, tapi gw bilang, "Sebenernya kondisi gw gak sama dengan B. Gw bukan bisnis sekarang, bokap gw juga gak punya bisnis yang akan diwarisin ke gw, tapi... gw sekarang (atau setidaknya dalam waktu dekat), harus buka bisnis sendiri, atau nggak gw akan stuck begini-begini terus." 

Yup, gw gak mau selamanya keliling Sunter-Kelapa Gading ngelesin anak-anak SD terus. Gw gak mau diem terus nunggu ada temen ngenalin job. Gw mau orang-orang bisa akses sama service yang gw kasih dan mereka bisa menggapai gw. Gw mau mewujudkan salah satu impian gw: hire an assistant, or maybe hire a team. 

Tapi yaaa... gak semudah itu. Sebenernya 2 tahun itu nggak cukup, jadi gw masih harus banyak baca buku, banyak eksperimen, banyak tanya-tanya orang... I guess, ini bisa jadi target gw tahun 2014? Doakan saja...

C

Wednesday, November 6, 2013

The only person I need to prove myself to, is myself

Tanpa gw sadari, gw suka over-promise. Why? Karena gw suka denger orang-orang over-promise, because I'm like Marshall Eriksen, I believe in people. Gw ga suka kalau gw minta sesuatu yang wajar (I never demand impossible things), orang yang gw anggap mampu cuma bisa kasih gw jawaban, "I can't promise, we'll see." Gw prefer orang jawab gw, "I will try my best to make it happen". Meskipun pesan yang tersirat dari dua jawaban itu mirip, gw gak suka yang pertama karena gw dijawab dengan kalimat negatif. Dan "we'll see" mengandung unsur kepasrahan kepada alam semesta instead of memadukan usaha sendiri + kemurahan alam semesta. Sedangkan yang kedua, ada pake kata "best", itu kata superlative. Tidak ada yang lebih baik dari "best" (bestest is not a word). Dan dia lakukan yang terbaik hanya untuk "make it happen". Dia tidak janji bisa sukses, tapi dia berusaha sekuat tenaga untuk bisa terjadi.

Contoh, mobil tua lo mogok dan lo ke bengkel, lo ga berharap mobil itu bisa ngebut lagi, lo cuma berharap mobil itu bisa jalan lagi sewajarnya. Ada 2 kemungkinan jawaban dari montirnya:
1. "I can't promise, we'll see"
lalu mobil lo beneran gak bisa jalan lagi. Apa yang akan dikatakan si montir? "As I told you before, I can't promise anything." Ato dalam arti lain: itu derita lo.
2. "I will try my best to make it happen."
lalu mobil lo beneran gak bisa jalan lagi. Apa yang akan dikatakan si montir? "I already tried my best but it just didn't work out".

Sebagai pemilik mobil, bagaimana perasaan lo? Udah sedih mobil rusak, jawaban apa yang lo harapkan? Jawaban itu gak harus benar, tapi harus tepat.

Nah, karena gw gak suka digituin orang, makanya gw gak mau gituin orang. Tapi hal ini emang juga butuh kelihaian. I don't want to make the 2nd answer as my "template" answer because sometimes I don't try my best. 

Gw juga terinspirasi sama Jim Carrey di film Yes Man, di mana kalau kita katakan "yes" pada banyak hal, kita akan menemui banyak hal-hal tak terduga. Tapi sayangnya, hal-hal tak terduga itu bisa baik bisa buruk, dan most of the time, buruk.

So what do I do? Instead of milih-milih siapa yang gw harus kasih jawaban pertama dan kedua, gw lebih pilih menjawab dengan nomer 2 terus dan try my best in every single thing I do.

Caranya melakukan itu, pertama-tama, adalah tidak bersikap perhitungan dan mempunyai pemikiran "the only person I need to prove myself to, is myself". I did that yesterday, and I'm proud.

Ini masih ada hubungannya dengan tulisan gw sebelumnya tentang manajemen sekolah yang kacau.

Gw sadar kalau peraturan sekolah gak bisa diubah dan alih-alih curhat mulu sama murid (jadi terkesan ga profesional), mending bikin mereka tambah sayang sama gw. Gw pun tanya ke diri sendiri, sampe gw ikut kelas orang lain biar gw bisa examine gurunya, "kalau gw itu seorang murid, gw pengen guru gw kayak gimana?"

Gw bukan orang yang suka dandan, tapi gw berpakaian sesuai dengan peran gw. Kalau gw ngajar, biasanya gw pake celana jins panjang dan polo shirt tanpa make up. Nah kemarin, karena gw banyak waktu + gw jarang ketemu murid-murid gw + gw mo terlihat bagus dan segar, gw blow rambut, make up, pake heels, pake kemeja. Gw juga dateng pagian biar gak grabak grubuk.

Efek pertama yang dirasakan, gw jadi lebih percaya diri dan santai. Murid-murid ngeliat gw juga jadi senyum sambil ngeledek, "Laoshi potong rambut ya? Laoshi koq hari ini make up?" Laoshi koq hari ini pake heels?"

Cara kedua mengambil hati mereka adalah, prepare the lesson! Seperti yang gw pernah ceritain sebelumnya, di sini susah kalo mau prepare, karena level murid-murid beda. Gw juga menyadari kalau kemarin-kemarin gw terlalu cepet ngajarinnya jadi gak ada yang nyantol di otak mereka. So, instead of jebretin 1 bacaan panjang, mending 1 bagian aja dan diulang-ulang terus dan paksa mereka untuk latihan.

Efek keduanya, mereka jadi "terpaksa" ngomong. Mungkin ada dari mereka yang belum terbiasa pake cara ini, jadi kagok banget. Tapi mulai dari sekarang, itu akan jadi style gw. Hasilnya? Pelajaran gw molor... Dulu gw susah banget untuk mimpin kelas 50 menit. Di menit ke 45, gw bubarin tuh kelas, istirahat harusnya 15 menit bisa molor sampe 20 menit. Tapi skrg, gw malah 60 menit ga bubar-bubar, dan break 10 menit aja untuk minum dan ke toilet, lalu lanjut lagi.

Efek keseluruhannya? Murid gw setia ngikutin dan gw yakin mereka lebih banyak yang nyantol. Kelas yang biasanya 2-3 orang, kemarin bisa ada 8 orang.

Efek keduanya, ngajar model gini 5 jam jebret, cape. Hehe...

But I don't mind cape, selama itu cape fisik, bukan cape ati. Masa-masa cape ati gw udah lewat, dan gw sekarang ada pada tahap "menyenangkan diri sendiri". Beneran loh, melakukan sesuatu dengan penuh passion dan penuh kasih itu ngasih efek yang luar biasa. I'm not trying to prove to the school that I'm worth it because they're going to kick me out anyway, and I'm not trying to deliver the message "you're going to miss me when I'm gone", but I'm trying to prove to myself that, "Hey, this is your passion", "this is what you're going to get if you do things with love and passion". I prove myself right. I used to be my own worst enemy, tapi sekarang kita lagi temenan dan kompak... Hehe...

We are the champion!

C

Sunday, November 3, 2013

Some people just love to see other people miserable

Waktu mulai berjalan lambat lagi, karena di awal November ini, lagi-lagi ada perubahan yang cukup besar dalam hidup yang bagi gw kurang menyenangkan.

Berawal dari awal bulan September di mana gw bekerja paruh waktu di sebuah lembaga bahasa yang baru berdiri. 2 bulan ngajar di sana dengan jadwal yang cukup padat dan aneh bikin gw cukup betah meskipun sesekali cape dan ngerasa "aneh". Selama 2 bulan, jadwal gw kerja di sana Senin-Jumat dan sehari minimal 5 jam. Ada yang 6, ada yang 7 jam. Udah gitu, kebanyakan mulainya sore dan selesai bisa jam 8 sampe 10 malem.

Selama 2 bulan ini, gw ketemu banyak macam murid. Ada yang masih sekolah SD, ada yang seumuran gw, ada juga yang udah punya cucu. Puji Tuhan mereka puas dengan cara mengajar gw dan selalu masuk pas shift gw. I guess ada juga sih beberapa yang gak cocok dengan gaya ngajar gw dan ga pernah balik lagi. Di sini gw belajar milih bahan yang cocok untuk murid yang berbeda-beda, dan gw belajar gimana caranya supaya mereka enjoy sama bahan yang gw sampaikan. Gw berusaha konsisten pake textbook, gw usahain dari awal sampe akhir runtut dan ngerjain semua latihannya. Meskipun kadang keadaan gak memungkinkan untuk itu, gw berprinsip bahwa setiap murid harus mendapatkan sesuatu setelah keluar dari kelas yang gw pimpin.

Gw terharu sama murid-murid yang udah jadi kayak temen gw. Di luar jam kerja, mereka suka whatsapp/line gw dengan nanya ini itu, atau sekedar tanya jadwal. Bahkan ada beberapa yang jadi ngobrol dan curhat. Haha...

Lalu di akhir bulan Oktober, saat di mana kita harus atur jadwal untuk November (jadwal kita ganti tiap bulannya), gw punya koordinator baru. Orang ini agak susah untuk dinego soal jadwal, dan saat itu mengakibatkan gw rada-rada bete dibuatnya. Dia kurang efisien dan kurang tangkas dalam mengatur jadwal yang terbaik buat semuanya (guru, murid, manajemen). Tapi akhirnya, gw (terpaksa) sepakat dengan jadwal baru yang dia buat.

Setelah jadwal itu berjalan seminggu, tiba-tiba ada peraturan baru dari si pemilik kalau guru part time ga boleh lebih dari 10 jam per minggu. Which means, jam gw yang tadinya ada 22 jam seminggu bakal dicut jadi 10 jam. Hal ini secara finansial tentu berpengaruh besar buat gw, my main source of income berkurang lebih dari setengahnya. Tapi ini gw cukup santai... Yang bikin gw mangkel banget adalah, ada jadwal baru gw yang diatur jadi 3 jam ngajar, 2 jam break, 2 jam lagi ngajar. Which means gw harus stay 7 jam di sana tapi gw cuma dibayar 5 jam. Gw udah bilang ga mau digituin, dan students juga menyatakan keberatan. So I said, give me 5 hours straight or nothing at all. Trus sang supervisor (bukan koordinator) bilang, "They do this to make it difficult for part time teachers." Ckckck... Gw ga habis pikir sama orang-orang yang sengaja bikin hidup orang merana padahal itu juga ga membawa kebaikan apapun buat dirinya sendiri.

Gw bisa aja resign detik itu juga. Tapi, kebiasaan gw (entah ini baik atau buruk), gw merasa itu terlalu mudah untuk mereka jadi gw harus kasih mereka pelajaran dulu sebelum gw cabut selama-lamanya dari situ. Kayak gimana? Jujur aja belom tau.

Koq ada aja contoh buruk di sekeliling gw ini yah. Earning money itu gampang, cari guru itu gampang, tapi pertahaninnya yang susah banget. Bikin semua orang happy itu yang ga gampang, padahal kalau mau, bisa aja loh. Segitu pentingnyakah membuktikan diri sendiri hebat dengan cara "I can make your life miserable?"

This is something not worth fighting for, so I better leave.

Tuesday, October 22, 2013

My Money

To be honest, selama kurang lebih setengah tahun belakangan ini, gw sedikit obsessed sama yang namanya uang, tapi semoga masih dalam tahap kewajaran.

Kalau denger yang namanya "terobsesi sama uang", mungkin kesannya gw itu orang yang gila banget cari duitnya, kerja siang malam, dan cenderung menghalalkan segala cara buat dapetin uang sebanyak-banyaknya. Tapi kalo gw, lebih kayak "terobsesi mengatur uang (yang ga seberapa)". Ini adalah buah penyesalan karena ketika penghasilan gw dari 1st job gw di Beijing itu lumayan, I didn't manage it well, jadi uang itu gak dialokasikan dengan baik.

Kedua, gw terpengaruh sama PF (personal finance) bloggers, terutama PF bloggers luar. Gw jadi tau apa yang namanya itu frugal, budget, thrifty, dll... Yang semua intinya kurang lebih cerdik dalam memakai uang dan membebaskan diri dari jeratan hutang, baik itu hutang kartu kredit maupun student loan.

Yang ketiga, gw terpengaruh sama para penggila dunia finance. Saat gw masih kuliah, gw bingung kenapa orang bisa ngerti (let alone tertarik) sama yang namanya dunia finance maupun saham. Sekarang gw sih juga gak gila-gila amat, tapi gw mulai tertarik dan mulai belajar, hence mulai ngerti. Gw sendiri pun mulai menginvestasikan seiprit dari seiprit duit gw dan berharap memetik hasilnya dalam waktu dekat atau kelak nanti.

Selain mencemplungkan diri jadi investor (ceile), gw juga jadi punya cashflow yang sederhana namun rapi (dan bisa dipahami oleh diri gw sendiri). Ini semua karena selama gw kerja di Indonesia, gw ga pernah yang namanya bisa nabung. Gw menyangka karena lifestyle yang kurang sesuai sama pemasukan gw saat itu. Sekarang, puji Tuhan gw udah bisa menyetel lifestyle gw dan menaikkan pemasukan gw sekarang. Apalagi sekarang pemasukan gw gak tentu. Di bulan-bulan baik (meski belum pernah mencapai target gw), pemasukan gw bisa 2x lipat dibanding bulan-bulan jelek (biasanya bulan yang banyak liburnya). Kata perencana keuangan, seorang freelancer harus punya dana darurat sebesar 6 kali expense bulanannya. Heg... Ini semua untuk mengantisipasi bulan-bulan jelek itu.

Investasi udah, punya cashflow udah, menyetel lifestyle udah, menaikkan pemasukan juga udah.... Tapi, gw masih punya banyak PR. Gw belum punya asuransi kesehatan, gw belom bisa disiplin ngikutin budget dan nyatetin pemasukan dan pengeluaran sehari-hari, gw belom punya rumah (hehehe)...

Sekarang yang bisa gw lakukan adalah lebih menyeimbangkan spending, mana yang perlu dan mana yang butuh. 2 minggu lalu gw nonton Jay Chou dengan membayar tiket yang sangat mahal, tapi gw punya sepatu udah jelek banget gak beli-beli yang baru! Gw juga suka tiba-tiba "kalap" ngeluarin duit... Kayak gw yang biasanya isi bensin premium, bisa tiba-tiba melipir ke Shell dan beli V Power, tapi ada saatnya juga gw gak rela bayar parkir lebih mahal dikit... Ini dia PR gw satu lagi, yaitu menyeimbangkan hal-hal semacam ini. Karena yang terpenting itu bukan uang di dompet atau tabungan, melainkan peace of mind. Gw ga mau juga gara-gara bayar parkir kemahalan 4.000 trus ngegerundel berjam-jam. Ga mau juga kaki sakit karena pakai sepatu yang udah bapuk. Justru di sinilah uang gw harus dipakai dengan bijak.

Kalo rezeki (pemasukan) Tuhan yang atur, pengeluaran tetep manusia yang atur. Jangan Tuhan kasih 100, kita maunya spend 500. Salah sendiri itu.

Stay rich at your heart and always be grateful

C

Friday, October 18, 2013

Berdamai dengan musuh terbesar

Bagi yang ngikutin blog ini dan kenal gw secara personal, mungkin tahu kalau 2013 itu bukanlah tahun yang mudah buat gw. Keterpa badai dan angin di hidup ini itu biasa, tapi di awal tahun 2013, gw kena tsunami besar-besaran dan gw hancur berantakan. Orang yang kena tsunami secara harafiah itu ada 2 kemungkinan: die or survive. I didn't die, and people say: what doesn't kill you, only makes you stronger. Dan setelah berbulan-bulan hancur, marah, putus asa, akhirnya gw mulai melihat titik terangnya, yang bisa bikin gw semakin kuat. 

Ini bukan mau ngasih motivasi atau inspirasi ke siapapun, gw cuma simply ceritain pengalaman pribadi gw aja. 

They say, only time can heal you. Itu benar. Kita gak bisa "maksain" apapun. Saat kita lagi down, orang suruh kita "cari" distraction, baik itu kerja, jalan-jalan, atau pacar baru. I tried to do that, kerja gila HANYA UNTUK distract myself, jalan-jalan HANYA UNTUK distract myself. Hasilnya? Kerjaan ga beres, jalan-jalan ga enjoy. Malah gw dicomplain sama client/temen jalan-jalan kita. 

Saran gw adalah: terima saja. Admit that you made a mistake. Larutlah di dalam penyesalan dan kesedihan kalau memang perlu. Di saat seperti ini, biasanya orang yang paling dibenci dan disalahkan bukannya orang yang telah menyakiti hati gw, bukan juga Tuhan, bukan juga teman-teman yang menghibur gw baik itu tulus maupun pura-pura. Orang yang paling gw benci adalah: diri gw sendiri. Dan ketika gw berdamai sama diri gw sendiri, gw baru bisa berdamai sama segala sesuatu yang ada di sekeliling gw. 

Meski ini adalah "between me and myself",gw bisa minta bantuan orang-orang sekitar. Gw bisa minta bantuan Tuhan secara langsung, minta bantuan "pembimbing rohani" untuk didoain dan diberi wejangan, atau minta temen-temen gw yang konyol untuk bikin gw ketawa. 

Dan ketika gw gak lagi ngerasa tertohok di hati ketika mengingat/mendengar penyebab luka hati itu, ketika gw bisa menerima kekalahan, memaafkan diri sendiri, hal-hal baik barulah bisa terjadi. Hal-hal baik itu bukannya baru terjadi, tapi sebenarnya udah ada dari sananya, tapi gwnyalah yang bisa menerima mereka kembali. Matahari masih terbit tepat waktu setiap harinya, kok. 

Saat tahun 2013 ini belum berakhir aja, gw langsung ngecap kalau tahun ini bisa jadi salah satu tahun terburuk di kehidupan gw. Tapi  hey, mungkin ini juga salah satu tahun terbaik di hidup gw. Tahun ini, gw ambill loncatan besar di karir gw. I will highlight 2013 and write down "THE YEAR I LEFT MY JOB AND BECOME FULL-TIME FREELANCER". Tahun ini pertama kalinya gw trip ke luar kota sama sahabat-sahabat gw. Tahun ini, pertama kalinya gw ngeliat Jay Chou konser di Jakarta. Tahun ini pertama kalinya gw menerjemahkan buku, dan lain-lain yang mungkin sudah terlupakan tapi meninggalkan bekas manis di hati dan benak gw. 

Apakah gw bersyukur gw kena tsunami? Jujur aja, belum bisa. Apa gw berharap tsunami itu tidak pernah terjadi sama sekali? Nggak juga. Tapi, apakah semua itu penting? Itu semua udah terjadi dan sudah berlalu, meskipun terdengar sangat klise, lebih baik gw fokus sama saat ini dan masa mendatang. Satu hal yang pasti, karena gw udah pernah kena tsunami, maka badai-badai kecil mungkin bisa dihadapi dengan lebih siap dan kuat.

Rumah gw yang hancur kena tsunami udah dibangun kembali 70%. Kalo proses renovasinya udah selesai, mungkin rumah itu bisa 2 kali lebih besar dan lebih indah daripada sebelum kena tsunami. Amin.... 

Bless you

Cindy

Wednesday, October 9, 2013

Tourists vs Travelers

"Tourists don't know where they've been, travelers don't know where they're going." ~ Paul Theroux

Keluarga gw ga bisa dibilang kaya raya, tapi Puji Tuhan, bokap gw tahu cara enjoy life dengan uang yang dia punya. Dari sejak gw umur 3 tahun sampai menjelang krismon tahun 1998, hampir tiap tahun gw pergi ke luar kota maupun negeri, termasuk ke Eropa dan Amerika! Gw masih amazed kalau ternyata gw pernah pergi ke 2 tempat itu, yang sekarang kalau dibayangkan harganya, hiiy... rasanya fantastis banget.

Rumah kami biasa-biasa aja, mobil di rumah termasuk mobil "sejuta umat", bonyok hidup sederhana, tapi kami udah pernah ke banyak tempat, dan itu sebuah kebanggaan sendiri buat gw.

Sehabis krismon, kami ga pernah pergi jauh-jauh, yang terjauh mungkin Melbourne dan Beijing, itu pun karena kedua anak kuliah di sana. Sisanya, traveling cuma sebatas Singapura, Malaysia, dan dalam negeri. Tapi itu pun menyenangkan koq! :)

Sekarang banyak orang yang jadi "full time traveler" atau "travel writer", seru yah! Gw juga pengen banget, tapi belum bisa sampai ke sana karena gw masih banyak "alergi", dan masih kebiasaan malas-malasan dan bangun siang, apalagi kalau hotelnya enak! Yang jelas, gw bukan tergolong pelancong yang "turis banget" karena:
1. Gw ga begitu suka beli souvenir macam kaos, magnet, dan gantungan kunci.
2. Gw peduli akan budaya dan kebiasaan lokal, bukan cuma menelan apa yang tersedia dalam itinerary mentah-mentah (dan lupa blas setelah beberapa hari).
3. Gw foto-foto seperlunya aja, dan kalau udah gw rasa cukup, gw simpen kamera HP gw dan enjoy pemandangan/keadaan. (although gw mengakui, sejak punya gadget baru, gw jadi lebih terobsesi dengan foto-foto).
4. Gw don't mind kalo ga pergi ke tempat "must see"-nya (kalo gw emang ga minat-minat amat), gw lebih suka ngelakuin sesuatu yang "local". Waktu gw ke Batu, gw lebih prefer bantuin di pasar daripada masuk ke tempat wisata.
5. Gw HARUS cobain semua makanan wajib, terutama yang ga bisa gw temukan di tempat lain. Gw berusaha keras untuk ga pilih-pilih makanan. Waktu di Dalian, China, gw makan cumi terus, padahal biasanya gw ga doyan. Hehe...
6. Gw harus ngobrol sama orang local, atau sesama turis dan share apa kesan gw terhadap tempat itu.
7. Di China, gw harus cobain setiap bir lokal. Di Indonesia, gw cobain kopi/soto/bakmi lokal.

etc etc...

Entry ini untuk mengakhiri "traveling season 2013" gw. Sepanjang tahun ini, gw 2x trip besar ke luar negeri (Thailand and China), dan 2x trip kecil (Malang and Makassar). Gw pergi dengan orang yang berbeda-beda dengan pengalaman yang berbeda-beda pula. Sampe sekarang sih, belum ada rencana traveling lagi sampai akhir tahun ini, but we'll see... Sometimes opportunity comes unexpectedly.

Abis ini, mau tulis tentang Makassar! It was a fun trip. :)

CK