Ocehan-ocehan saya :)

Thursday, July 2, 2015

Tinder: Just for Fun


Beberapa hari yang lalu di Tinder gue ngeliat seseorang yang pasang bio kayak gini:

I’m willing to lie about how we met.

Kalimat itu terselip di antara kata-kata manis lainnya. Dan tanpa pikir panjang, gue langsung swipe layar HP gue ke kiri, pertanda gue nggak minat sama dia, padahal orangnya tampangnya cukup ganteng.

Gue nggak malu bilang ke orang kalo gue mainan Tinder. Gue sendiri mantap mulai main ini karena dua sahabat gue yang dua-duanya cowok (dan setau gue mereka cowok baik-baik), juga pake dan kelihatannya cukup decent. Jadilah gue download apps ini ketika lagi jalan bareng mereka berdua, dan ujung-ujungnya malah jadi ngadu siapa yang dapet match paling banyak (and of course I won). :D

Gue bahkan merekomendasikan apps ini ke teman-teman cewek gue yang masih single dan memberi mereka tutorial gimana cara pakenya. Dan bahkan lagi, gue kasih tips ke mereka bagaimana bermain Tinder yang aman dan nyaman versi gue. The ultimate rule is, kalo ketemu yang profile picnya celana doang dengan titit nyembul, swipe left aja, udah jelas apa motivasinya, kecuali motivasi elu itu juga.

Suatu saat ketika gue menemani teman cewek gue yang baru patah hati hebat dan segala wejangan dan hiburan nggak mempan di dia, gue suruh dia main Tinder sebagai pelipur lara. Dia pun melakukannya dan sepertinya cukup berdampak positif sama dia. Sampai suatu hari, dia panik whatsapp gue, katanya, “Duh gue ketemu mantan gue di Tinder, gimana sih cara sign out dari apps ini? Duh dia liat gue gak ya? Mati gue kalo dia sampe ngeliat.” Dalem ati gue mikir sih, “Kalo dia sendiri mainan Tinder dan dia ngejudge lo desperate ato apa karena mainan Tinder juga, then bersyukurlah elu udah putus sama dia”. Tapi orang yang lagi rapuh abis putus cinta (dan masih ngarep balikan sama mantannya) kan gak boleh digituin. Ujung-ujungnya gue ajarin gimana cara sign out-nya dan berharap dia dapet ketenangan batin setelah menguninstall itu.

Sama kayak cowok di atas yang nulis tentang bersedia boong tentang bagaimana dia ketemu match-nya. Pertanyaan gue, kenapa harus boong ya? If you need to lie about it, then don’t do it at all lah. Emangnya Tinder narkoba? “Wah, gandengan baru nih, Bro? Kenal di mana?” / “Errr… Dari gereja…” / “Oh jadi lo ke gereja buat nyari cewe? Nice”. Ya kalo orang mau judgmental ya judgmental aja. Gue malah akan lebih nilai elu buruk kalo elu boong, alih-alih mainan Tinder. Seolah pas lagi ditangkep polisi, “Dek, kamu melanggar karena nerobos lampu merah” / “ENGGAK PAK! SAYA NGGAK NEROBOS LAMPU MERAH! SAYA ABIS NABRAK ORANG SAMPE BERDARAH-DARAH TRUS KABUR”.

Di zaman sekarang, sepertinya selalu harus ada penjelasan untuk segala sesuatu, dan kita ngerasa “harus” untuk jelasin, padahal sebenernya nggak. Gue sering terjebak di situasi kayak begini, ditanya dalam keadaan gak siap tapi ngerasa “harus” jawab, jadi gue jawabnya agak ngaco dan kadang gak merepresentasikan jawaban gue yang sebenarnya dan gue berjam-jam kemudian gue ngebatin, “Lah napa gue nggak jawab gini ya, tadi?”. Nah gue udah siapin jawaban kalo ada yang nanya FAQ ini ke gue, “Ngapain sih elu main Tinder?” Gue akan jawab, “Just for fun”. Jadi ketika Tinder udah nggak fun lagi, ya akan gue tinggalkan. Gak pernah sekalipun gue ngerasa risau karena apa yang terjadi di dalam Tinder ataupun di luar Tinder. For me, Tinder is harmless, nothing to lose.

Tinder is fun and FUNNY. Seriously. Gue sering banget pengen screenshot ngetwit tentang hal-hal lucu yang terjadi di Tinder tapi gue nggak tega karena itu privacy orang dan mungkin ada orang yang ketakutan banget kalo ketauan dia mainan Tinder. Kadang ada yang namanya lucu lah, fotonya ancur lah, sampe orang yang kita nggak sangka-sangka kita temui di sana. Ujung-ujungnya, hal ini cuma beredar di diskusi offline dan grup Whatsapp.

Sayangnya, banyak orang yang anggep Tinder terlalu serius, ato kalo istilah anak sekarang: baper. Tapi sebagai orang yang baper-an juga (di luar Tinder, tentunya), gue ngeladenin orang baper ini seperlunya biar dia nggak jadi gila sendiri. Baru aja kemaren kejadian. Kejadian yang lucu banget yang bahkan nggak gue twit, tapi tulis di blog sekalian.

Jadi gue sempet bales chat dia intens, lalu gue sibuk, trus dia chat lagi, “Kenapa sih elu gak bales chat gue lagi? Elu lagi mood swing ya?” Nah karena lagi ga sempet bales saat itu (dan gue buka Tinder ga tentu, bisa 3-4 hari sekali, bisa berminggu-minggu sekali, bisa juga setiap hari buka), ya gue diemin aja itu chat. It’s super normal. Gue sendiri juga ada chatnya yang ga dibales sama cowo. Dan biasanya, it ends there. Ga pernah ada chat yang udah dianggurin lama banget trus dipanggil lagi.

Kecuali cowo ini. Ketika dipanggil lagi, gue bales. Dan gue “dituntut” sesuatu, padahal dia nggak berhak nuntut, kecuali ada terselip di Terms and Condition Tinder yang gak gue baca dan main langsung gue accept aja. Gue berhak gak jawab juga sih, tapi solidaritas sesama baper membuat gue menjawab “monggo” ketika dia bertanya, “Cin, gue mau nanya tapi elu jawab jujur ya. OK?”

Jeng jeng. Apa ini? Koq belum apa-apa udah dituntut harus jawab dan harus jujur?

Dan dia pun bertanya, “Kenapa sih dulu lo gak bales chat gue lagi?”

Gue speechless. Ini dua minggu lebih setelah gue antepin message dia.

Dan kalo jujur ada tingkatannya, gue jawab pake jujur tingkat dua, yaitu, “Soalnya gue lagi sibuk”. Which is true. Tapi kalo mau jujur tingkat satu, jawaban gue adalah, “Gak kenapa-kenapa… Gue cuma lagi nggak pengen aja chatting sama lo. Kalo gue mau, sesibuk apa pun pasti gue jabanin. Dan ini Tinder gitu, tolong jangan baper-baper amat”. Tapi kan gimana gitu ya kalo kita udah worry gimana banget sampe dua minggu kemudian masih ditanyain dan jawabannya ternyata “gak kenapa-kenapa”, nanti bisa-bisa gue malah disangka boong, sama seperti orang judgmental, orang mau suudzon mah suudzon aja.

Dan sampai sekarang dia nggak bales lagi. Mungkin emang dia hanya ingin tahu jawaban yang telah menghantui dia selama dua minggu lebih. Entah jawaban apa yang dia harapkan dari gue sih, yang jelas semoga dia puas sama jawaban gue dan nggak penasaran lagi. Buat yang begini, gue saranin sih uninstall aja Tinder lo biar hidup lo lebih damai, trus pesen Gojek ke Ragunan karena sepertinya kamu butuh piknik.


Sunday, June 21, 2015

Selai


Aku mengabadikanmu dalam tulisan.
Kamu pun mengawetkanku dalam goresan.
Supaya suatu hari nanti,
ketika kita tinggal nama, tidak lebih,
kita masih punya satu sama lain
di catatan yang sejauh ketukan jari.

Aku bukan lili yang elok,
yang hari ini mekar
dan layu di pekan depan.
Aku rasberi yang asam, sedikit manis,
dan tidak bisa dibilang cantik.

Aku buah ungu yang kamu tumbuk
sampai hancur tidak berbentuk.
Yang kamu sirami gula
dan endap di dalam botol kaca.
Yang bisa kamu simpan berminggu-minggu,
bahkan bertahun-tahun dan masih tetap ungu.

Dan kapan pun kamu mau,
kamu oleskan aku di rotimu yang tawar,
untuk memberimu sedikit semangat,
pengalihan rasa penat,
dan pengingat akan nikmat.

Thank you for preserving me in your words, the best present I could ever think of.

Cindy
21.06.2015

Tuesday, June 16, 2015

[Short Story] Musim yang Baik - Part 2

Baca part 1-nya di sini

Sudah enam hari ini Adele menyetel CD pemberian Hans di mana pun dia berada. Ketika Nicholas sang barista Flinders sudah mulai mengoceh karena terlalu bosan mendengar CD itu diulang-ulang, Adele mendengar lewat ponselnya. Dengan intensitas seperti itu, dia tidak perlu waktu lama untuk dapat menghafalkan semua lagu yang ada di album itu. Dan setiap kali cakram itu memutar lagu kesepuluh di album itu yang berjudul Sampai Jumpa, dia teringat akan seseorang. Sayangnya bukan teringat akan orang yang memberikan CD ini, melainkan masih saja Andra. Tapi kalaupun Hans tahu Adele mengingat sang mantan yang tidak perlu diingat, Hans tidak perlu marah, karena lirik lagunya berbunyi...

Hari ini satu temanku pergi
Pergi jauh tak kan pernah kembali
Sekeras apapun menangis
Tak kan merubah yang t'lah terjadi
Harus ku lepas

Hari ini kan kuingat kembali
Semua tempat jalan waktu bersamanya
Setiap kata yang t'lah diucap
Bagai warisan yang t'lah disiapkan
Harus ku jaga

Selamat jalan
Selamat jalan teman
Selamat jalan
Sampai jumpa

Tuhan yang aku cinta
Mudahkan jalan dia
Tuhan yang aku cinta
Sambut kehadirannya


Mulai hari ini akan terulang lagi
Senyum canda marah atau kecewanya
Badai rindu yang kini kurasa
Badai rindu tak kan pernah reda
Sampai jumpa


Di hari yang sudah mereka tunggu-tunggu, Hans tidak mengucapkan selamat pagi lewat whatsapp seperti biasanya. Selama 19 hari sejak mereka berkenalan, Hans punya 19 ucapan selamat pagi yang berbeda. Di hari pertama Adele menerimanya, dia tertawa dengan nada mengejek kegombalannya. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak tertawa mengejek ketika disapa "Good morning, Adele. Gue sangka ketemu lo kemarin itu mimpi, eh taunya pagi ini gue bangun juga. Have a nice day! :)".

Di hari ke-6, tawa Adele berubah dari nada mengejek ke nada senang. Meski Adele menganggap dirinya sudah terlalu tua untuk menye-menye seperti itu, tapi dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau dia senang diberi perhatian seperti itu. "Selamat pagi, Adele. Jangan lupa minum susu kedele. Kalo udah minum, jangan lupa bayar abangnya. Kalo udah bayar abangnya, jangan lupa senyumin aku. Uwuwuwu :3" Rupanya Hans ini tipe orang yang asyik mengobrol di dunia maya, tapi jadi super canggung ketika bertatap muka. Seandainya Hans selucu ini saat mereka mengobrol langsung, sudah pasti pintu hati Adele dibuka semakin lebar untuknya.

Tapi anehnya, sapaan gombal nan manis itu absen pagi ini. Padahal semalam Adele yang biasanya masih menjaga jarak dan jual mahal kepada Hans mulai luluh dan menutup pembicaraan dengan, "Finally, kita ketemu besok. It's just a sleep away. Good night, Hans."

Adele makan siang di Flinders sambil bertanya-tanya kenapa Hans belum juga menghubunginya. Adele tetap berusaha tenang. Acara dijadwalkan mulai pukul 5 dan itu baru pukul 1. Sesuai perkiraan, seharusnya Hans menjemput pukul 3.

Adele sudah menguncir rambutnya tinggi-tinggi, mengenakan t-shirt kuning stabilo, celana jins, dan sepatu converse andalannya. Ini jelas bukan kostum andalan Adele untuk berkencan, karena tidak mungkin dia mengeblow rambutnya, memakai make up tebal dan stiletto yang fierce ke pensi anak SMA. Bisa-bisa dia disangka petugas tata usaha sekolah yang nyasar ke pensi. Adele membatin, akan ada banyak kesempatan di mana dia berdandan feminim di depan Hans dan membuatnya terbius.

Saat jarum  pendek tepat ada di angka 2 dan jarum panjang ada di angka 12, Adele mulai gelisah. Adele meraih ponselnya dan membuka aplikasi Whatsapp. Dia melihat "last seen at 13:47" di bawah nama Hans, yang berarti dia sudah bangun dan membuka Whatsapp-nya. Adele tidak suka digantung begini, lalu berusaha se-cool mungkin mengirim pesan, "Hei Hans, nanti ke sini jam berapa?"

Lima menit berlalu, tidak ada balasan.

Dua belas menit berlalu, dua centang di samping pesan Adele berubah biru.

Lima belas menit berlalu, masih belum ada balasan. Gelisah Adele mulai berubah menjadi marah.

"Hans, kita jadi nonton nggak? Kalo ga jadi juga gapapa loh."

Kekesalan Adele berubah dari tersirat menjadi tersurat.

Dan tepat tiga puluh menit dari pesan yang pertama, (percayalah, 30 menit menunggu dalam gelap itu rasanya lama sekali), Hans membalas.

"Adele, sori gue nggak bisa nonton So7 sama lo. Maafin gue."

Adele tidak memercayai ini. Yang ngajak siapa, yang ngebatalin siapa. Last minute dan harus ditanya duluan pula. Tapi, kurang bijaksana kalau Adele langsung mengamuk dan mengutus preman ke kediaman Hans untuk membakar rumahnya, maka Adele bertanya, "Kenapa? Something bad happened?"

Dua centang langsung berubah biru 2 detik sesudah pesan itu terkirim. Adele mengernyitkan dahinya, menyiapkan diri untuk jawaban terburuk.

"Nggak koq. Gue cuma mendadak gak kepengen nonton aja. Sori ya."

Kini muka Adele yang berubah biru. Lah? Apa ini?

Entah kenapa, alih-alih marah, Adele membalas, "Kenapa sih? Ngomong aja." Adele lebih suka tahu kenyataan pahit daripada terjebak dalam ketidaktahuan.

Dua menit berlalu.

Dua jam berlalu.

Tidak ada balasan.

Adele menundukkan kepala dan terus me-refresh twitter dan instagramnya. Foto dan video Sheila on 7 di acara tersebut sudah mulai membanjiri timeline media sosialnya. Benar saja, Duta cs membawakan lagu kesukaan Adele, "Melompat Lebih Tinggi" dan "Selamat Datang" dari Musim Yang Baik. Adele tidak mengerti. Apakah dia magnet bagi cowok-cowok jahat? Atau memang dia tidak sebegitunya sampai tidak pantas diajak bersenang-senang bersama? Salahnya di mana?

=================================================================

Keesokan harinya, Adele berangkat ke Flinders pukul sebelas siang dengan hati yang hampa. Anehnya, dia tidak marah. Dia merasa dia tidak berhak marah pada seseorang yang masih belum berstatus apa-apa dengannya. Dia malah terus mencari-cari apa kesalahannya yang membuat Hans melakukan itu. Adele pun memikirkan strategi, bagaimana caranya supaya dia tidak lagi lagi lagi lagi jatuh pada cowok yang hanya akan memberikannya pengalaman buruk. Di tape mobilnya, masih saja Adele memutar CD yang sama, seolah Adele menunggu jawabannya di sana.

Sesampainya di parkiran Flinders, Hans-lah orang pertama yang dilihat Adele. Dia sedang merokok, kelihatannya begitu gelisah. Adele memarkir CRV hitamnya dan buru-buru turun dari mobil. Adele melempar pandangan ke Hans yang melihatnya dengan tatapan takut, lalu mengisyaratkan Hans untuk masuk. Adele mempersilakannya duduk di tempat duduk favoritnya sementara Dewi berbisik kepada Nicholas "Another dramaaaa..."

Hans menyatukan kedua telapak tangannya seolah ingin berdoa. Kepalanya menunduk. Setelah mengumpulkan keberanian selama 20 detik, Hans berkata, "Sorry, Adele".

Adele mulai muak dengan kata "sorry". Semua laki-laki boleh menyakitinya dan tinggal bilang "sorry" untuk menihilkan kebrengsekan mereka.

"Kenapa, Hans? Kalo lo berubah pikiran sama gue atau tiba-tiba males, ngomong aja. Jangan ngebatalin last minute tanpa ada berita gitu."

"Gue gak maksud begitu, Dele."

"Trus?"

"Gue... Gue terlalu suka sama lo."

Adele bungkam. Sebenarnya hatinya melompat kegirangan, tapi otaknya menyuruh hatinya diam karena otaknya belum menerima penjelasan yang logis atas perbuatan Hans kemarin.

"Gue juga terlalu suka sama Sheila on 7. Gue denger lagu mereka setiap hari. Dan sejak gue kenal lo dan gue tahu kalo lo juga suka, gue seneng banget. Gue udah bikin list lagu apa aja yang pengen gue nyanyiin ke lo. 'Buat Aku Tersenyum', 'Temani Aku', bahkan 'J.A.P'. Setiap malem sesudah say goodnight sama lo dan sebelum tidur, gue denger Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki sambil merem. Gebukan drum di intronya bikin hati gue deg-degan ngebayang-bayangin wajah lo, dan gesekan biola di akhirnya bikin gue ngebayangin hal yang seharusnya nggak gue bayangin."

Nicholas terkekeh di belakang bar dan Dewi menyikutnya. Adele pura-pura tidak memerhatikan mereka. Lihat saja bagaimana Adele akan menghabisi mereka sesudah ini.

Adele mendadak teringat adegan semacam ini di Mekdi Puri beberapa bulan lalu, di mana Adele melakukan "closure" kepada Andra. Gaduh di sekeliling mereka tidak terdengar, tenggelam oleh kata-kata hati yang lantang.

Anjir. Kayaknya ni orang mau nembak.

Adele menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdebar. Sepertinya terakhir Adele ditembak itu 15 tahun lalu ketika dia masih pakai kawat gigi dan rok biru tua selutut.

"Tapi sori, Adele. Gue memilih untuk mundur."

"Apa?" Adele melotot.

"Gue terlalu suka sama Sheila on 7. Gue juga terlalu suka sama lo, makanya kalo lo sampe nyakitin gue, gue pasti sakit banget-banget. Gue gak bisa kalau kelak gue denger lagu mereka gue malah sakit ati dan sedih. Gue gak pengen setiap kali denger Anugerah Terindah, gue malah menangis alih-alih tersenyum"

Adele bergidik, "Tau dari mana gue bakal nyakitin lo?" Naluri defensif Adele tidak terbendung.

"Kita ini beda, Dele. Dunia kita beda. Masa lo nggak ngerasa dari obrolan-obrolan kita tiap hari? Kita berdua cuma kesepian, butuh teman ngobrol gak jelas. Setiap kali kita mulai ngomong sesuatu yang serius, kita mulai garing karena nggak ada kesamaan. Latar belakang gue dan lo beda. Pekerjaan gue dan lo beda. Temen-temen kita beda juga."


"So? Emangnya kenapa? Emangnya kita nggak bisa seneng-seneng aja? Siapa tahu suatu hari kita bisa ketemu titik temunya."

"I don't think so, Dele. Sorry. Tolong hargai keputusan gue. Gue pernah ngerasain jatuh cinta sebuta-butanya yang bikin gue terbang setinggi-tingginya. Ketika gue jatuh, sakitnya minta ampun. Gue sangka, cinta adalah alasan utama dan itu sudah cukup. Tapi di luar itu, sebuah hubungan butuh komunikasi dan saling pengertian. Cinta butuh logika. Cinta nggak boleh buta. And that's why, gue milih untuk realistis dan mundur aja"

Adele belum minum kopi hari itu. Otak dan hatinya belum bisa mencerna kata-kata Hans barusan.

Hans berdiri dari tempat duduknya. Tanpa disadari, Adele juga berdiri. Mereka saling bertatapan selama 2 detik dan kedua tangan Hans mencengkeram kedua bahu Adele. "Sorry yah".

Hans pun pergi. Pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Adele. Adele menoleh perlahan ke Dewi dan Nicholas yang menganga dan saling berangkulan. Dewi pun berhambur menghampirinya.

Ketika Dewi ingin memeluknya, Adele menepisnya dengan penuh kemarahan. Adele pun bergegas ke Indomaret terdekat dan membeli sebungkus Marlboro merah dengan gambar yang paling seram.

Apa yang salah dengan lagu ini
Kenapa kembali ku mengingatmu 
Seperti aku bisa merasakan 
Getaran jantung dan langkah kakimu 
Ke mana ini akan membawaku

Kau harus bisa 
Bisa berlapang dada 
Kau harus bisa 
Bisa ambil hikmahnya 
Karena semua 
Semua tak lagi sama
Walau kau tahu dia pun merasakannya

Di jalan yang setapak kecil ini 

Seperti ku mendengar kau bernyanyi 
Kau tahu 
Kau tahu 
Rasaku juga rasamu

Kau harus bisa 
Bisa berlapang dada 
Kau harus bisa 
Bisa ambil hikmahnya 
Karena semua 
Semua tak lagi sama
Walau kau tahu dia pun merasakannya

Ke mana ini akan membawaku 
Aku takkan pernah tahu


End.

Monday, June 15, 2015

Happy Birthday, Pandji!



Bandara Soekarno-Hatta, November 2014, sesaat sebelum tim #MBWT berangkat ke Beijing


Waktu Pandji pertama kali ngumumin tur dunianya, Beijing belum ada di line-upnya. Saya yang belum kenal Pandji saat itu langsung menghubunginya dan menawarkan bantuan untuk mewujudkan #MBWT Beijing. Saya yang sudah nggak tinggal di Beijing saat itu meyakinkan junior-junior saya di Beijing (yang tidak punya akses ke Twitter/Youtube dan kebanyakan tidak tahu Pandji) untuk mau menjadi panitia #MBWT. Di tengah persiapan #MBWT Beijing, saya terpilih untuk ikut Pandji ke Melbourne dan Adelaide, dan itu adalah pengalaman yang terlalu amat sangat berkesan. Sementara itu, panitia di Beijing terus intens berkomunikasi dengan saya, mereka selalu meminta pendapat (bahkan kadang approval) dari saya untuk hal-hal penting mulai dari penginapan, venue, itinerary hingga makanan. Bayangkan betapa attached dan involved dan terlarutnya saya dalam proyek #MBWT Beijing ini.

I was thiiiis close to going to Beijing with them. I had so many reasons to go with them. I know Beijing, I love Beijing, it is my home. Sebelum Beijing ada di daftar destinasi #MBWT, mungkin saya adalah orang yang paling ingin ada #MBWT di Beijing, dan heck, mungkin sampai hari foto ini diambil pun masih. But I didn't go. Saya cuma nganter sampe ke bandara aja. Saat lagi kongkow-kongkow sebelum berangkat, para tim menggoda-goda saya untuk ikut, ada yang nanya "mana kopernya?" Saya cuma tersenyum tapi dalam hati sedih banget karena kepengen banget ikutan.

Tapi saya bangga. Bangga pada diri saya sendiri, pada panitia di Beijing, dan tentu pada Pandji dan tim MBWT. Setelah show di Beijing selesai, Pandji mention saya di twitter dan berkata "terima kasih atas bantuannya selama ini, Cin". :')  Rasanya seneng, sedih, terharu, bangga. Saya membalas "It's the least I can do". Kalau kita bisa dikasih kesempatan buat bantu idola, kitalah yang seneng dan berterima kasih atas kesempatan itu. Dan kelak saya berharap saya masih punya kesempatan membantu di project-project Pandji lainnya. ^__^



Selamat ulang tahun, Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo. Idola dan inspirasi selamanya.


With love and respect,



Cindy Kusuma
#wongsoyudan
Juni 2015



Extras:

Di Hard Rock Cafe, show pertama sesudah #MBWT Australia. Saya minta foto karena selama di Australia gak ada foto berdua sama sekali :)) BTW, saya suka banget show-show di Hard Rock Cafe. Adain lagi plis :')










Di #TutWuriHangapusi, sesudah #MBWT London. Tadinya Pandji yang mau selfie sama saya, tapi saya malu, jadinya foto bareng-bareng sama The Queen. Saya starstruck banget sama Queen Mila waktu itu :')


Sunday, June 7, 2015

Happinest itu Sederhana (Review #HAPPINEST_JKT by Ernest Prakasa)

25 Januari 2014 adalah kali pertama gue nonton stand-up show secara live. I lost my “virginity” di #ILLUCINATI. Gue mulai ngikutin stand-up bukan dari nonton open mic, Stand-Up Night (SUN), atau taping TV, tapi langsung special show-nya Ernest Prakasa, salah satu founder Stand-Up Indo dan salah satu komika terbaik di Indonesia. #ILLUCINATI sendiri itu bagus banget, dan gue rasa inilah hal yang menyebabkan gue punya standar tinggi untuk show-show stand-up lainnya. (read my review here: http://cindykusuma.blogspot.com/2014/01/review-illucinati-gkj25jan-by-ernest.html)

Lalu sejak bulan Agustus 2014, gue jadi ngikutin banget dunia persilatan stand-up di Indonesia. Dalam sebulan gue bisa 2-3 kali nonton show, baik itu SUN, show rame-rame, taping TV, atau special show.


Melalui pengalaman itu, gue jadi tahu kalau nonton stand-up show secara live itu gak bisa buat relaksasi seperti kita nonton bioskop, live music, atau ngerendem kaki sambil digigit-gigitin ikan (iuhhhh jijik gue), karena most of the time, abis nonton show itu gue kelelahan ketawa dan mikir. Ditambah laper, jadinya sakit kepala dan lemes.

Tapi Sabtu 6 Juni 2015 kemarin, gue pulang dari #HAPPINEST_JKT di Balai Sarbini dengan hati dan otak yang ringan. Bukannya materinya gak bagus, melainkan ringan, santai, dan sederhana banget. Jauh dibandingkan waktu nonton #ILLUCINATI di mana pas sepanjang show kita deg-degan Ernest ditembak kepalanya pake sniper. More on this later.




Pengurus Illucinati ranting Sunter-Gading. Topinya bagus dan kepake banget. Makasih Opini.id!
Pertama-tama, bahas venuenya dulu. Ini pertama kalinya Balai Sarbini dengan panggung melingkarnya dipakai untuk stand-up show. Gue suka venuenya. Lokasinya strategis, bergengsi, dan mewah. Gue beli tiket gold yang harganya 250ribu dan awal-awalnya ngerasa agak sebel karena panggungnya gak se-eye level sama gue. Jadi gue harus ngedongak ngeliat Ernestnya, belom lagi silau kena sorot lampu. Gue sempet naik ke silver untuk foto-foto sama temen-temen gue dan sepertinya lebih nyaman di sana. Tapi pas shownya udah mulai, gue udah lupa koq sama ketidaknyamanan itu.

Venuenya yang melingkar bikin ngerasa lebih dekat dan intimate sama performernya. Entah perasaan gue doang atau bukan, tapi para performer banyak ngadep ke arah gue. Gak tau deh orang seberang gue ngerasa hal yang sama atau nggak. Kalo iya, berarti blockingnya para performernya bagus. Soal light dan audio ga perlu dibahas detil lah ya, pasti bagus punya.

Kalau di SUN atau show yang diadakan komunitas, keliatan penontonnya itu-itu aja: comic-comic dan pecinta stand-up seperti gue. Tapi di #HAPPINEST_JKT, beda banget crowdnya. I wonder why?

Soleh Solihun dari Majelis Tidak Alim adalah ice-breaker yang paling sempurna untuk acara ini. Sesuai kearifan Indonesia, kami memulai acara dengan doa bersama. Bagian ini lucu banget. Suasana jadi hangat karena interaktif dengan para penonton yang sedang menunggu. Kami diminta untuk menjawab “amin” atas doa-doanya. Setelah doa bersama selesai, acara dimulai dengan dipandu oleh Ge Pamungkas dan Arie Kriting yang hanya terdengar suaranya tapi gak keliatan wajahnya.

Berikutnya, bahas performernya. Gue seneng Ernest mengekspos 3 comic perempuan (yang 2 di antaranya tidak dikenal sebagai comic), dan ketiganya bagus semua. Yay, girl power! Gue sering denger soal Sakdiyah dan dia memang bagus. She’s the comic’s comic. Dia idola para komika senior dan memang pantas demikian. Materinya ga jauh-jauh soal Islam, meski ada dikit nyerempet-nyerempet ke kelamin juga. Walau begitu, dia nggak nyebut titit atau tete, cuma sekali doang ngomong penis. Sayaaang banget kayaknya di ending rada-rada dingin dikit waktu callback soal pemutih di Eropa.

Lalu, Chevrina Anayang. Wow. Gue zero expectation sama dia, dan ternyata dia bener bener bener bagus. Debut dia sebagai comic (biarin gue sebut comic biar lain kali dia stand-up lagi) langsung di panggung sebergengsi itu. Sungguh gak mudah. Debut-nya ini langsung ngebentuk persona dia sebagai comic. Image apa yang dia mau tampilkan saat stand-up, dan ini akan jadi “pakem” dia di kemudian hari. Persona Sakdiyah adalah perempuan muslim yang juga manusia biasa (yay, free sex!), persona Sacha adalah bule Kanada yang cinta Indonesia, dan persona Chevrina adalah penyanyi kurang terkenal yang mungkin sekarang lebih dikenal sebagai comic yang memperkenalkan konsep “es teh dan embun-embun di gelasnya”. Bit itu emas berlian banget :’). Chevrin, plis sering-sering stand-up.

Sacha Stevenson. Eksekusi komedi di Youtube dan di panggung stand-up (apalagi langsung jebret seribu orang) pastilah berbeda. Keresahan yang dia bawain kemarin 11-12 sama apa yang sudah pernah dia tampilkan di Youtube, jadinya gak surprise-surprise amat. Tapi dia tetep lucu. Ada satu video dia yang ngebahas soal “Insya Allah”, dan kemarin diungkapkan dengan cara lain. Lucu banget. Cara dia closing mirip sama cara gue kalo mengakhiri tulisan. Dia angkat tangan, senyum, dan bilang, “Here’s to the best 14 years of my life”.

Next, Ardit Erwandha. Sama seperti Chevrina, gue belom pernah liat dia stand-up dan gak tau gimana performa dia. Sekitar seminggu sebelum show ini, gue berkenalan secara personal sama dia dan orangnya ramah, gak pecicilan, gak berasa kegantengan. Sama seperti banyak orang lain, gue juga bertanya-tanya apakah si Ardit ini modal tampang doang atau emang bagus. There’s only one way to find out, right? Dan setelah gue liat, gue berkesimpulan kalau dia gak cuma modal tampang doang. Act out-nya dia di akhir total banget dan bagus banget. Kalau dibina dengan baik, ini aset berharga. Pesen gue sih, kalau Ardit baca, jangan sampai lo mabuk dan lupa daratan sama kesuksesan ini. Lo masih muda, ganteng, dan lagi jadi perhatian banyak orang. Stay humble yah. Insya Allah karir lo gemilang. Jangan kasih orang kesempatan buat ngomong, “Halah si Ardit modal tampang aja ganteng tapi attitude jelek dan materi sampah”.

Foto bareng dulu sebelum Ardit jadi idola Indonesia, sibuk main film main sinetron main iklan blablabla. :')

Terakhir, Ernest Prakasa. Awal-awal aja udah ngebahas soal vagina sama tete. Mending punya orang lain, ini punya istrinya sendiri -_-||. Makin ke belakang dia ceritain soal keluarganya: papa mamanya, istri dan anak-anaknya, dan juga pengalaman dia jalan-jalan ke Jepang dan mandi onsen. Tentu gak ketinggalan cerita soal Beijing, dan I swear to God, sebelum Ernest masuk ke bit itu, matanya ngeliat ke arah gue dan gue (tanpa sengaja) ngeliatin dia dengan muka jutek. Hahaha...

Begitu terus selama 1 jam 15 menit. Gak ada bagian yang bikin gue ngerasa “anjirrrr jeniusss banget, berani banget, mind-blowing banget...”. Orang lain bilang rahang pegel, perut sakit karena ketawa, tapi gue enggak. Tapi gue bukannya gak menikmati, justru asik dan santai dengernya. Ngeliat keluarga kecil Ernest dan keluarga satu manajemennya di akhir bikin hati terasa hangat. Kalo abis nonton #ILLUCINATI feeling gue bisa diibaratkan kayak abis nonton film The Interview, maka feeling gue abis nonton #HAPPINEST_JKT itu kayak abis nonton film chick-flick. Gak berat, gak banyak mikir, gak bikin resah. Dan Ernest-nya pun mengungkapkan hal yang sama. Dia bilang dia enjoy banget karena kali ini bener-bener ngungkapin apa yang mau dia omongin tanpa harus ribet-ribet mikirin “pesan”.

Jujur aja, gue lebih menikmati materi-materi dari openernya. Ketika ada temen yang nggak nonton tanya ke gue, “Gimana shownya kemarin?” Gue menjawab, “Venuenya bagus. Soleh Solihun lucu. Sakdiyah dan Sacha keren banget. Chevrina dan Ardit, tanpa disangka, sangat mengagumkan. Dan Ernest-nya, ya seperti biasa.” Gue berasa kayak abis nonton show keroyokan yang comic-comicnya sama hebatnya, hanya kebetulan durasinya Ernest lebih panjang aja. But overall, semua baik, semua baik.

Congratulations Ko Ernest, all the best for your next projects!

Viva La Komtung



Cindy Kusuma
8 Juni 2015