Ocehan-ocehan saya :)

Sunday, March 6, 2016

Review: Margaret Cho’s psyCHO Tour Live in Singapore

5 Maret 2016 adalah hari yang membahagiakan karena gue berkesempatan nonton special-nya Margaret Cho, di Singapura, yang berjudul “There’s no I in team but there’s Cho in psycho” atau disingkat psyCHO. Margaret Cho itu comic perempuan keturunan Korea asal Amerika, isu yang dibawa tentang diskriminasi ras, seks, LGBT, dan soal pemerkosaan. Buat gue, ini kedua kalinya gue nonton special show comic luar setelah Russell Peters.

Dalam satu hari itu, dia show dua kali, pukul 3 sore dan 8 malam. Gue nonton yang pukul 8 malam dan beli tiket yang termurah, SGD88 (belum termasuk booking fee 4 dolar dan convenience fee 1,5 dolar), venuenya di Kallang Theatre, modelnya kalo di Jakarta mirip Gedung Pertunjukan Bulungan tapi lebih tinggi lagi. Jadi gue yang duduk 4-5 baris dari belakang gak keliatan mukanya Margaret. Venuenya yang berkapasitas 1,744 orang malam itu penuh.

Show yang ditulis mulai pukul 8 ternyata baru dimulai pukul 8.20. Dan yang bikin gue lumayan kaget adalah show ini tidak ada openernya. Langsung Unni (Kakak) Margaret pakai kemeja putih dan celana panjang hitam. Gue sangka dia sombong arogan gitu, taunya enggak, biasa aja.

Gue kirain gue gak akan ada masalah dengan bahasa, mengingat gue hampir tidak ada masalah ini sewaktu nonton Russell Peters. Tapi, gue salah. Gue gak begitu nangkep bit-bit pertama Margaret karena beberapa hal. Pertama karena istilah yang dipakai agak asing sama gue (jangan tanya apa, wong nggak ngerti). Yang kedua adalah soal teknis, gue yang duduk nun jauh di sana nggak begitu kedengeran, dan ketika punchline dan orang ketawa, suara ketawanya ngalahin suara utamanya. Kayaknya bukan gue doang yang ngerasa begini, soalnya suaranya langsung dinaikin volumenya. Yang ketiga adalah bit pembukanya yang ngebahas local content. Satu venue pecah banget ketika Margaret nyanyi-nyanyi “China Wine, China Wine” sambil joget-joget, gue bingung apaan. Dan ternyata oh ternyata, dia lagi ngehajar masalah Pdt Lawrence Khong dan istrinya, Sun Ho yang udah bertahun-tahun ini heboh di Singapura. Gue cuma tau-tau dikit, sih. Pokoknya si Lawrence ini pendeta di salah satu gereja Kristen di Singapura, dan beberapa tahun lalu dia kena skandal menggelapkan uang jemaat. Buat apa uangnya? Buat mendanai karir musik istrinya, jadi penyanyi hip-hop di Amerika, dan lagunya judulnya China Wine ini. Skandal ini bikin heboh, karena si Sun Ho ini gak mencitrakan seorang istri pendeta banget. Di video klipnya ini, si Ibu Pendeta pake baju minim dan joget-joget erotis sambil digrepe-grepe gitu. Ada koq di Youtube. Nah balik lagi ke Margaret. Dia protes karena si Lawrence in benci kaum LGBT, dan dia bilang “gue bingung ya, Singapura ini negara yang sangat liberal, tapi sangat kolot dan religius pada saat yang sama” (gue terjemahkan dengan gaya comic Indo gapapa yah).

Referensinya ke budaya lokal sangat keren sih, dan lucu banget. Dia bilang, “Singapur itu bersih banget, di mana-mana bersihhh banget. Tapi di restorannya ga sediain tissue, seolah semua jadi bersih secara ajaib”. Lalu dia lanjut soal marijuana. Dia bilang di Colorado, marijuana itu legal dan bisa ditemukan di mana-mana, kayak Chicken Rice.

Trus dia membahas isu-isu terkini seperti Donald Trump, keterlibatan dia di serial TV Fresh Off The Boat (my favorite!) yang adalah serial TV Amerika pertama yang membahas keluarga Asian-American, trus “orang tua” dia di komedi Robin Williams and Joan Rivers. Ada dua bit spesifik yang sangat berkesan yang pengen gue bahas, yang pertama, dia membahas soal kepemilikan senjata di Amerika yang mengakibatkan terjadinya pembantaian di Virginia. Gue langsung deg-degan, “anjir, topik kayak gini gimana dibikin lucunya?” Pembantaian ini dilakukan oleh orang Korea dan mengakibatkan 32 orang tewas. Setelah kejadian itu, Margaret langsung nelpon papanya. “My father was very upset,” katanya. Lalu dia mulai niruin papanya dengan logat Korea yang kental, “thirty two people is too many…” *pause* “one or two is okay”. DARRR.

Lalu yang berkesan kedua adalah ketika dia membahas soal kekristenan, dia bilang Jesus would approve LGBT since he was so gay. HAHAHA. Dia bilang, “Bayangin Yesus jalan-jalan ke mana-mana sama 12 of his boyfriends, and he said, “oh you’re drinking water? Here, have some wine. You’re hungry? Here’s some fishes and bread.” HAHAHAHAHAHA. I’m not offended at all. Trus dia lanjut dengan, “Bisa bayangin gak, gue dulu itu guru sekolah minggu. Yes, me, teaching bible to little kids. Makanya gue tau ada bible verse yang berbunyi, ‘It’s not what goes into your mouth that makes you unclean, but what comes out of it’ *pause* so, swallow.” DAAAAARRR.

I just love it when people quote bible verse correctly and they’re able to make a very relevant joke out of it. BTW, versi Indonesianya dari verse itu (Mat 15:11) berbunyi, “Bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”

Lalu masih berhubungan dengan kekristenan, dia cerita bagaimana “orang tua”-nya dalam komedi meninggal dalam waktu dekat. Joan Rivers dan Robin Williams. Satu hal yang berkesan banget adalah, dia cerita bahwa Robin adalah orang yang banyak nyumbang ke orang miskin. Ketika dia meninggal, Margaret dan teman-teman galang dana untuk cause yang sama, jadi banyak orang yang ngasih duit ke dia. Suatu hari, ketika dia lagi pegang cash, dia keluar dari supermarket dan ada seorang gelandangan yang maki-maki dia, maksa dia untuk ngasih koin 25 sen-an. Alih-alih ngasih 25 sen, dia ngasih selembar 100 dolar ke orang itu. Orang itu yang tadinya galak langsung berubah, jadi nangis tersedu-sedu sambil bilang terima kasih. Orang itu bilang, “nanti kalau lo mati dan diadili di akherat, gue akan berada di sisi lo dan bersaksi kalau elo udah bantuin gue waktu gue hidup, dan gue minta Tuhan untuk masukin lo ke surga.” Lalu Margaret bilang: Who’s the Christian now?

Lalu dia menutup set malam itu dengan satu pesan tentang pemerkosaan. Dia cerita kalau dia korban pelecehan seksual oleh pamannya sendiri waktu dia umur 5-12 tahun. Gue mikir lagi, anjir, ini gimana dibikin lucunya. Tapi gue akhirnya tahu gimana caranya bikin sesuatu yang lucu dari isu yang sangat sensitif, yaitu: ceritain pengalaman pribadi aja, jangan mewakili orang lain. Kalo yang tadi soal pembantaian di Virginia dia ngebahas papanya, soal pemerkosaan ini, dia ngebahas bagaimana dia jadi nara sumber di acara para rape survivors dan dia malah diomelin pesertanya. Ga terlalu lucu sih, tapi setidaknya aman.

Setelah ngebahas soal itu, dia ngundang satu pemain gitar dan bilang, “sebelum udahan, gue mau tutup dengan dua lagu, lagu yang pertama adalah buat Ke$ha (fyi: Ke$ha lagi kena kasus soal pemerkosaan),” trus yang kedua dia ngajak orang ikut nyanyi bareng, chorusnya berbunyi, “I want to kill my rapist”. Gue sedih dengernya dan gue gak ikutan nyanyi.

Total set kira-kira 1 jam 50 menit, lebih 35 menit dari waktu yang dijanjikan (75 menit), dan gue cukup puas. Gue senang bisa menyaksikan comic internasional yang sangat professional. Kalo gue boleh menyimpulkan pengalaman gue nonton Margaret Cho dan Russell Peters, yang gue tangkep adalah:
1.       Tiketnya sangat mahal, timnya sangat professional, venuenya bagus.
2.       Mereka pinter masukin local content
3.       Mereka gak pake contekan (or at least ga ketauan sama gue)
4.       Dan karena itu membuat gue merasa… mereka seperti ngobrol biasa dengan spontan. Ini yang menurut gue beda banget sama comic Indo di mana rata-rata masih keliatan banget ngafalnya. Ini bukan issue sih, tapi gue jadi menyadari aja kalau gaya yang ngalir gitu lebih enak ditonton. Menurut gue comic Indo yang deliverynya enak ngalir gitu adalah: Soleh Solihun.

Overall, pengalaman yang menyenangkan. Nonton performance comic-comic luar bikin lumayan seger karena gue lagi jenuh sama comic-comic local Indonesia. Semoga cepet kangen lagi.

Cindy
Singapore, 6 March 2016


Friday, February 26, 2016

Viva La Vida

Kita banyak ketemu orang di dunia ini.

Ada yang kayaknya dia care dan ramah sama kita, tapi ketika kita say no ke dia, dia langsung pergi.

Ada yang kayaknya mau take advantage doang dari kita, tapi sebenarnya orangnya baik.

Ada yang kesannya apa yang dia lakukan buruk banget, tapi kita bisa maklum karena kita semua pendosa.

Ada orang yang gak perlu minta maaf, tapi bela-belain minta maaf.

Ada orang yang udah ngancur-ngancurin hati kita, tapi gak ngerasa salah sedikit pun.

Orang suci bilang, berbuat baiklah pada semua orang, meski pada mereka yang jahat padamu.

Sekarang kalo aku sih, pilih-pilih aja mau baik sama siapa.

Ada orang yang dibaikin malah ngelunjak.

Ada orang yang dijahatin malah ketagihan.

Ada orang yang makin dikasih makin nyakitin.

Ada orang yang makin gak dikasih makin penasaran.

Manusia emang begitu. Semua orang bingung.

Katanya, kalau bingung ya pegangan.

Oke. Aku pegangan yang kuat.

Pegangan sama prinsip.

Prinsip kebahagiaan.

Yang cukup egois untuk membuatku selalu bahagia.

Yang tidak cukup egois sampai menyakiti orang lain.




Jakarta | 27.02.2016 | 02.50pm | Cloudy

Friday, February 19, 2016

Russell Peters “Almost Famous” in Jakarta - Review

Spoiler alert. Beware of punchlines. 

17 February 2016 was the day I first watched a stand-up comedy show by a foreign comic, and I’m glad it was Russell Peters. Although I watch quite a lot of comedy shows in these past two years (all locals), Russell’s show gave me a whole new experience of a stand-up comedy show. Actually, local shows (and probably anywhere else in this world) use the same format, except Russell does it more professionally, bigger and better. And that’s what makes it so memorable.

Let me go through it one by one.

First of all, the venue. The venue was amazing. The audio, light, seating, location were great. (FYI, on Sundays, it is the venue for one of the most “prestigious” church in Jakarta. Imagining praising and worshiping Jesus with those equipment give me goosebumps). The stage is huge with two enormous screens on both sides and there’s a live camera, shooting people’s face when Russell did his infamous riffing. This is great because their we could see the expression and reaction from the victim.

Next, the audience. The cheapest price for Russell’s show is 10-20 times more expensive than a local comedy show. Local organizers sometimes complain they find it hard to sell tickets that cost 50-100k. I wondered, who would want to pay 1-3 million to watch a comedy show? I wouldn’t. I wouldn’t have watched it if someone had not given the ticket for free. I thought, must be expats and diplomats. Somehow it never occurred to me that the main portion of audience was from the Indian community in Jakarta. I think it’s very interesting.

Now let’s talk about the show. The opener, Chris (I don’t know his full name, I even forgot his twitter account that’s displayed throughout his performance). I love him! He walked to the stage with a guitar, his performance was very interactive with the audience. He taught us to sing “I don’t fucking care, no one fucking cares” and he said we’re going to sing it in our hearts forever every time someone tells something boring about their kids, pets, or whatever. He’s right. He also pointed to one audience several times and asked him/her to choose what kind of jokes he preferred: smart, dirty, inappropriate, etc and told the jokes according to what the audience chose. I also love it how he asked us to sing along to Cyndi Lauper’s Time After Time. If I’m not mistaken, his set was around 30 minutes. After he finished, he asked those who sat at the back to move to the front, that means: sucks if you paid so much since those who bought the cheapest tickets could sit next to, or even in front of you. Ha.

The moment I saw Russell Peters, I could immediately feel that he was a superstar. He looked confident and professional. We could tell that he had done this hundreds of time. Half of his performance was riffing his audience. It’s funny to see him riff Soleh Solihun, Indonesian comic who’s best at riffing. I guess karma really does exist! Haha! But he got riffed the least, compared to other audiences who sat at the front (the ones who paid the most and invitations). Russell always asked the name of the target, and when Soleh answered with his name, Russell said, “Indonesian names are funny, at the hotel I was greeted by a girl named Kanti, our driver is Budi, and the waiter at the restaurant is Dicky. Maybe next you’re gonna have Titty.” Bam, bam, bam. Then he asked a famous Indonesian musician, Pongki Barata, and he misheard his name as “Bongkey”. He could make a joke out of it right away. Brilliant.

I guess the venue that hosts a church service never heard so much profanity before.

His knowledge about Indonesia is impressive. The more relevant it is, the funnier it gets. He simply said “hati-hati busway” and the ballroom exploded with laughter. He also mentioned “Dolly” and made fun of Jakarta’s traffic.

The way he bridged his jokes with riffing was brilliant. It’s as though all of it was spontaneous. He started with asking the audience whether they have kids or not, and then talking about his daughter and her love for Frozen.

As usual, his jokes were offensive and inappropriate, but still funny as hell. He spotted an 11 year old boy sitting between his parents and he asked him to call his father a “motherfucker”, not in an angry tone but casually, like at a dinner, “Hey motherfucker, could you pass me the salt?” The camera zoomed in the father and the son for quite long time and we could see both of them so uncomfortable on the screen and we couldn’t stop laughing. That’s what you got when you take an underage child to a stand-up comedy show: public humiliation.

Russell didn’t apologize for that, or any other offense he made except for this one.

“Hey there big guy” (camera shot to a big guy, a 20-something Indonesian Chinese)

“What do you do for a living?”

*inaudible*

“What? Training? What are you training for? Definitely not marathon. Haha!”

*room burst into laughter*

“I’m sorry, what an asshole thing to say, I apologize”.

He didn’t apologize making fun of someone’s race, outfit, or name, but he apologized for making rude comments about someone’s weight. And by the way, that guy was actually saying “trading”, not training.

The laughter was so tense at the beginning (or people say “LPM”), and it gradually loosen as he did more story telling with long setups. And just when I felt more comfortable with the pace, he closed with “Thank you, Jakarta”, and finished the show at around 10.20 PM.

Overall, it was a great experience. Normally when I write reviews, I mention things that need to be improved. But I couldn’t find any flaws except that the ticket was too expensive. Apart from that, it was very enjoyable. Thank you, Russell Peters!

Cindy Kusuma
Jakarta, 19 February 2016

Sunday, February 14, 2016

Two Cents from a Stand-up Comedy Fan



It was just a little over two years ago, I said “I’m not a big fan of stand-up comedy”. Then suddenly you can find me at most of stand up comedy shows in Jadetabek. People outside this circle says I’m crazy about stand-up comedy because I watch so much of it, but if compared with others who might write “stand-up comedy addict” on his/her bio and @Standupindo_[his/her domicile] and comes to open mic night at least once a week, I’m no more than a shy spectator.

 

One Stand-up Night after another, several comics and “people inside the circle” start following me back on twitter, we start to talk and mention/reply/RT on twitter and in person. Suddenly I’m no longer a girl who only comes, enjoys the show, and leaves after it ends. I find myself mingling, talking to them in person without stages and chairs between us. In reality, it is no different than befriending other people, because they’re comics only when they’re on stage. Outside of it, we’re just a bunch of people around the same age, with common conversation topic.

 

I also find out that, mediocre comics sending DM to their female followers and try to sleep with them is not a myth. One thing that has not been confirmed is whether this kind of girl who says okay to whatever comics hitting on them, actually does exist. And although this kind of practice can be classified as a serious sexual harassment and can lead to a major scandal, I don’t take offense. When it comes to comics breaking their hearts, intentionally or not, is another topic for another day. It’s a challenge to be a female in this male-dominated group.

 

Then things inevitably get more complicated. Things are complicated because people are confused. The comics are confused, the fans are confused, people who are newcomers to this industry are confused, even sometimes TVs are confused. We are confused of many different things. Some comics get unprecedented amount of attention, and maybe money and other incentives. I know they love the attention and appreciation, but at the same time they start to draw lines, making boundaries between them and their fans. Consequences of this growing industry (or “art”, whatever), start to take effect for everyone in every aspect.

 

We start to hear terms like “social climber”, which according to them, means “people who think they’re friends with the comics, always around them and get the attention from other people, but have no real works/achievements”. One of the features of a social climber is always around those famous people, likes to mention them on twitter and enjoys the attention. They hate social climbers. Not to mention those who are “sok asik”, and “star syndrome”.

 

I don’t think I am one, but I don’t know if there is someone who thinks I am. I don’t need to clarify those things but sometimes I feel insecure about it. Why? Because people are mean. I care about my reputation. I don’t like being badmouthed for something I don’t do or I am not. And knowing there are many judgmental people or even haters. I can’t deny the insecurity. Every time I finish watching someone (on TV/movie/live), reading their books, funny tweets, or anything, I often feel reluctant to respond. If I tweet “hey, I really enjoyed that, good job”, will they feel motivated and appreciated, or the other way around: so annoyed?

 

Saying nice things to them already makes me nervous. Criticizing them needs extra courage and preparation, just in case it backfires.

 

“[I paid and drove 40 kms just to watch you perform], your set was disappointing.”

 

And get prepared to receive this kind of response, “Do you know how hard it is to write a set? You only sit and watch, you don’t know my effort and struggle.”

 

Clearly you don’t know my effort either. Not to mention my hopes and expectation towards you, my favorite comic.
 
 
As a fan, my homework is to be less insecure about other people's opinion and enjoy this art without worry and hesitation. And allow me to be sharp, I'm not the only one who has homework to do.
 

Comics care so much about originality and the effort to write. I totally agree. I feel angry too if a random instagram page steal their jokes and gets viral. They emphasize the importance of community, open mic, and discipline in writing. But yet, often they are already on their way to a paid gig/taping but they don’t know what to say. One day they preach about idealism and refusal to be whores for television giants, the other day you see them wearing silly costumes on TV.

 

In my opinion, things are starting to be too one-sided. Industry players don’t know, or don’t bother to find out what we want. We become selective, we label those into different categories, by TV, by age, by gender, by origins. In banking industry, there are board of commissioners, audit committee, and regulators to ensure this industry is healthy and beneficial for everybody. I think stand-up comedy needs one too, at least a focus group, consisting of people inside and outside the industry.

 

So complicated, huh? In reality, maybe it’s not that complicated. Or maybe it’s waaaay more complicated than this. I don’t know.

 

It needs big commitment to sustain something big. The bigger it gets, commitment will no longer be enough. It needs hard work to escalate or people will leave.

 

And the root of commitment? Consistency.

 

Be consistent. Once you’re consistent, be committed. Once you’re committed, escalate.

 

Thank you for entertaining us.

 

XOXO,

 

 

Jakarta, 15 February 2016

Cindy Kusuma

Sunday, October 11, 2015

Review #TETANUS by Arya Novrianus



“Arya, lo bawa buku lo kan? Nanti gue beli yaaa…,” kata gue ketika menyapa Arya Novrianus di sebuah acara stand-up yang diadakan pada suatu malam minggu, di mana Arya jadi salah satu penampilnya.

“Iya bawa. Siiip deh, entar yaaa,” kurang lebih begitu jawaban Arya.

Dan ketika acara selesai, gue langsung menghampiri Arya dan memberikan sejumlah uang untuk ditukar dengan buku keduanya yang berjudul TETANUS. Arya pun langsung ngasih gue buku bercover merah marun itu yang masih rapi diplastik, tapi gue menolaknya.

“Eh, gak mau, maunya ditandatanganin dulu…,” tuntut gue.

Arya pun tersenyum, melucuti bukunya sendiri dan membuka halaman pertamanya. Ternyata di pojok kanan bawah sudah ada tanda tangan dia, tapi dia tetap menambahkan kata-kata yang… hmmm… cukup menyentuh dan menyenangkan buat gue. Memang dasar penulis ya, bisa aja gitu tulisannya… Malemnya, Arya mention gue di Twitter dan minta di-review dengan jujur. So, here it goes.

Sebagai buku yang bergenre komedi, buku ini sangat emosional. Jujur aja gue banyakan tersentuh dan nyeseknya daripada ketawanya. Gue suka bagaimana Arya menceritakan kisah bersama mantannya. Ngomong-ngomong, gue penasaran, lo minta izin sama dia gak sih nulis panjang lebar tentang dia sampe lo umbar akun twitternya gitu? Hehehe… Tapi gue yakin dia pasti spesial banget sampe lo mendedikasikan dua bab yang cukup panjang untuk dia. Deskripsi fisiknya trus situasi waktu kenalan itu jelas banget sampe gue bisa ngebayangin detil-detilnya. Kisahnya sendiri sebenernya cukup biasa yah, kayaknya rata-rata pasangan akan mengalami momen-momen itu. Bales Whatsapp lama, rasa yang mulai memudar, dll… Tapi tetep menarik untuk disimak, sih. Mungkin karena relevan dan bisa relate banget.

Trus bagian kedua yang gue suka dari buku ini adalah tentang ibunya yang udah pulang ke surga. Emosional banget sih bacanya, berasa ikutan sedih. Dan lagi-lagi, setiap adegan di 2 bab terakhir itu ditulis dengan cukup detil jadi bisa ngebayangin keadaan benerannya. Udah gitu, Arya pernah beberapa kali ngetwitpic foto mamanya, jadi bisa ngebayangin wajah orangnya juga. Ditambah lagi, kejadian ibunya meninggal itu masih baru banget, baru 1 tahun berlalu. Gue aja masih inget hari di mana ibunya Arya meninggal, meski saat itu belom kenal Arya secara langsung. Gue inget kayaknya hari itu juga atau besokannya gue langsung beli Keluarga Cemarya, buku pertamanya Arya.

Kalo dibandingin sama Keluarga Cemarya, gue jauh lebih suka Tetanus. Gue inget di Keluarga Cemarya itu banyak banget bagian HAHAHAHA ketawa-ketawanya dan menurut gue agak ganggu. Di Tetanus, hal yang menggangu itu udah nggak ada. Cerita yang detil didukung dengan layout yang bagus. Punchline-nya hurufnya digedein dan dibold jadi rasanya makin lucu. Bagian sedihnya juga nulisnya pake capslock semua jadinya hmph berasa gimanaaa gitu, ikutan sedih deh.

Overall, gue sangat menikmati buku ini, jauh dibanding bukunya yang pertama, yang berarti ini kemajuan yang sangat baik.

Terakhir, gue mau ngedoain Arya:

Semoga karir stand-up lo semakin gemilang [amin], semoga hidup lo senantiasa seru dan menarik [amin] biar banyak cerita dan bisa bikin buku ketiga [amin] yang isinya cerita yang indah-indah dan seneng-seneng [amiiiin].

Thank you and congrats, Arya Novrianus! Gue yakin, nyokap lo pasti bangga super bangga di surga sana trus bilang ke malaikat-malaikat, “Eeehhh… buku kedua anak gue udah terbit lohhh… Buku anak gueee!!!”

Cindy Kusuma
11.10.2015

Tuesday, August 11, 2015

Part 4: Bimbang




Adele selalu suka seprai dan selimut hotel mewah: lembut, wangi dan bersih. Membuatnya tidak ingin meninggalkan kenyamanannya di pagi hari. Tapi hari ini, dia harus tega meninggalkan ini semua untuk berangkat ke satu kota yang sangat dia dambakan: Melbourne.

Adele menyingkap selimutnya, turun dari ranjang berukuran king dan berjalan cepat ke kamar mandi. Belum sampai ke ujung satunya lagi dari tempat tidur, Adele mendengar suara selimut ditarik. Ditarik oleh seseorang yang bertelanjang dada dan muka bersimbah iler.

Adele berhasil menahan pekikannya, dan memeriksa pakaian yang melekat di tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda telah terjadi sesuatu semalam, dan Adele jadi lega. Adele berpikir, Andra pasti belum puas bernostalgia bersamanya, sehingga dia memilih untuk tinggal alih-alih pulang dan menghilang lagi. Lantas, apa yang Adele inginkan sekarang? Apakah dia ingin tetap membiarkan Andra melanjutkan ceritanya, atau diam-diam meninggalkan Andra lagi?

Fakta bahwa Adele memikirkan hal ini alih-alih langsung mengusir Andra seharusnya sudah cukup menjawab pertanyaan di dalam hatinya. Kalau Adele melempar koin sekarang, dengan sisi atas sebagai “ya” dan sisi bawah untuk “tidak”, Adele tahu dia ingin koinnya mendarat di mana.

Ya, Adele tahu jelas apa yang dia inginkan. Hanya saja dia tidak yakin apakah hal itu benar atau pantas dilakukan.

“Lakuin aja apa yang kamu mau”. Kalimat itu muncul lagi di benak Adele. Kalimat yang muncul dari bibir Andra 23 tahun yang lalu ketika Adele bimbang apakah dia harus memecat barista andalannya di Flinders.

Dan sejak itu, kalimat itu selalu menjadi pedoman Adele dan Andra dalam melakukan segala sesuatu, termasuk hal-hal bodoh yang membawa dampak buruk, dan kadang sesal pada akhirnya.

Andra, kamu ini obat atau racun sih?

Dan ketika Adele sedang bimbang tidak keruan seperti ini, biasanya dia membiarkan semesta yang ambil alih untuk dirinya.

===

20 menit kemudian, Adele keluar dari kamar mandi dengan pakaian musim dingin yang lengkap. Ternyata Andra sudah bangun. Dia duduk bersandar di tempat tidur sambil memeluk bantal. “Oh, morning, Adele”.

Adele mendadak salah tingkah, “Mmm… Morning”.

“Tidurnya enak?” Tanya Andra.

“Err… Lumayan. Kamu?”

“Kayaknya ini tidur terbaik setelah bertahun-tahun deh,” kata Andra sambil memeluk bantalnya lebih erat. “Rupanya ini rasanya punya istri”.

“Hah? Gimana?” Adele makin canggung.

“Ya bangun pagi-pagi gak sendirian, ada temennya.”

“Halah, kayak ini baru pertama kali bangun sama perempuan aja,” Adele mencemooh.

“Ya memang bukan, tapi kayaknya ini pertama kali bangun tidur sama perempuan tapi semalemnya gak terjadi apa-apa”.

“Gak terjadi apa-apa?”

“Iya. Emang kamu maunya terjadi sesuatu?” Andra menggoda Adele.

Adele canggung lagi, dan seperti biasa, dia menutupi kecanggungannya dengan kejutekannya, “Enggak!”

“Hmm… Kalo emang kamu maunya terjadi sesuatu, sebenernya emang terjadi sesuatu sih.”

“Apaan?”

“Kita ngobrol sampe kamu ketiduran.”

“Ya trus?”

“Ya asik aja. Kalo bisa, aku pengen gitu setiap hari sama kamu.”

Aku juga.

Tapi, gengsi Adele masih saja belum runtuh. “Koq kamu nginep sini sih? Bukannya pulang aja kemarin…”

“Pulang?” Andra melengos. “Adele, you’re my home.”

Dua batu besar yang membebani hati Adele beradu dan menimbulkan percikan api. Sekarang pilihannya: siram bensin, atau siram air?

“Sadar gak sih yang kamu bilang barusan itu besar banget dan sulit dipercaya?” Adele berusaha membuat logikanya mengalahkan hatinya yang sudah mulai membara.

“Ya makanya, kamu baru denger cerita aku sepotong-sepotong sih. Dengerin dulu dong sampe selesai biar kamu tau kenapa aku bisa sampe ngomong gitu.”

Andra. Paling bisa bikin orang penasaran.

“Jadi itu bukan asal ngomong gombal?”

“Adele, aku yakin kamu sepakat kalau kita udah terlalu tua untuk gombal.” Andra mendadak serius. “Aku pikir aku juga udah terlalu tua untuk percaya bahwa akan ada keajaiban kalau aku akan ketemu kamu lagi. Tapi ternyata aku salah. Dan kali ini aku gak akan lepasin kamu.”

“Too bad. Mobil aku udah nungguin di bawah. Aku udah harus pergi,” kata Adele sembari mengepak kopernya.

“Aku ikut,” Andra turun dari tempat tidur dan mengambil pakaiannya di lantai lalu bergegas ke kamar mandi.

“What? Ke Melbourne?”

“Ke mana pun kamu pergi.”

“Andra! Stop!” Adele tidak mau gegabah kali ini. “Are you sure? Kamu yakin kita mau… memulai cerita baru lagi?”

Andra menghampiri Adele, menatapnya dalam-dalam, “Adele, coba kamu pikir. What are the chances kita bisa ketemu lagi, di tempat yang jauh, di umur segini, dengan keadaan kita sama-sama single? Gak mungkin ini cuma kebetulan.”

“I know, tapi…”

Andra membungkam mulut Adele, bukan dengan mendaratkan ciuman di bibirnya, melainkan di dahinya. Kemudian Andra mengukuhkannya lagi dengan memeluk Adele erat.

“Lakuin aja apa yang kita mau,” kata Andra lembut di telinga Adele. “Aku bisa rasain kalau kamu juga mau. Kamu gak bisa sangkal ini.”

Dan hanya dengan begitulah, Adele teryakinkan. “Pack your bags, Andra. You’re taking me to Melbourne today.”

(bersambung)

Wednesday, August 5, 2015

Part 3 - Catching Up


Part 1 - 2038 | Part 2 - Entahlah

Hotel Adele hanya berjarak 20 menit berjalan kaki dari Victoria Square. Sepanjang perjalanan singkat itu, Andra tiada hentinya bercerita mengenai perjalanan keliling dunianya ditemani gitar kesayangannya. Pikiran Adele terbang-terbang, dan dia tersadar akan sesuatu: kenapa setiap kali aku ke Australia, aku selalu ketemu mantan? Waktu itu ketemu Ricky sama istrinya, sekarang ketemu Andra sama gitarnya. Jangan bilang nanti di Melbourne bakal ketemu bapaknya Justin!

Sesampainya di lobby hotel, Adele menghentikan langkahnya, “Tunggu di sini dulu ya, aku mau mandi dulu. Tadi kedinginan.”

“Nunggu di sini? Kamu mau aku diusir?”

“Lah kalau nggak, nunggu di mana?”

“Ya bayangin aja kalau satpam hotel bintang 5 liat ada pengamen duduk-duduk di lobbynya, apa nggak diusir?” Sahut Andra. “Nunggu di kamar kamu lah.”

“Kamar aku? Jangan!” Adele spontan melarang.

“Aduh, tenang aja, gak bakal aku apa-apain,” kata Andra sambil berjalan ke lift dan memencet tombol naik. “Lantai berapa?”

Adele sedikit menggerutu, lalu menekan tombol 25 dengan keras.

Begitu masuk ke kamar deluxe-nya, Adele mempersilakan Andra duduk di sofa yang ada di sudut ruangan, membelakangi kaca jendela. “Silakan nonton TV, istirahat, tapi jangan sentuh yang lain dan jangan naik ke ranjang aku. If you eat something from the mini bar, you gotta pay,” Adele memberikan instruksi yang singkat, padat, dan jelas.

“Loh, koq jadi jutek lagi sih? Perasaan tadi udah baek-baek ngomongnya,” kata Andra dengan nada menggoda.

“Hmph. Aku mandi dulu. Be back in 30 minutes.”

Adele bergegas ke dalam kamar mandi, memutar tuas keran ke tanda berwarna merah, dan masuk ke bawah pancuran. Dia masih berusaha untuk memahami apa yang baru saja terjadi dan sedang terjadi. Dia pun berpikir keras mengenai apa yang akan terjadi. Apa yang dia inginkan? Apa yang tidak dia inginkan? Ini semua masih berupa tanda tanya karena Adele sama sekali tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.

Andra. Udah om-om aja masih ganteng.

Rambut Andra kini pendek dengan beberapa helai rambut berwarna perak yang nampak. Pakaiannya masih seperti rockstar tahun 2010-an. Celana jins, sepatu bot, dan jaket kulit. Kurang lebih masih sama dengan bayangan Adele akan Andra.

Ada sedikit rasa puas ketika mengetahui mantan pacar (apalagi yang pernah menyakiti) sekarang hidupnya tidak bagus-bagus amat. Tidak jelek juga sih, tapi tidak lebih bagus dari Adele juga. Setidaknya itu yang dia dapat dari percakapan singkat tadi.

Diam-diam Adele kagum bahwa Andra masih mempertahankan idealismenya. Adele tahu Andra bermain musik di jalanan bukan untuk menyambung hidup, melainkan untuk menjalankan hobinya. Adele jadi sadar, Andra begini bukan karena dia seorang brondong, melainkan memang jiwa dan idealisme senimannya yang tidak bisa diganggu gugat. 23 tahun yang lalu, Andra bukan husband material, dan dia tidak pernah menjadi seseorang dengan husband material, bahkan sampai sekarang pun.

Dia, boyfriend material. Pacar yang keren dan membanggakan. Dari dulu sampai sekarang.

Adele menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menepuk-nepuk wajahnya yang masih dihantam air pancuran hangat. Mikir apa sih? Dasar tante-tante kesepian.

Adele keluar dari kamar mandi mengenakan kaos putih longgar bertuliskan Bali, oleh-oleh dari Dewi, dan celana panjang berwarna hitam. Adele membungkus rambutnya ke atas dengan handuk dan mengenakan sandal hotel yang empuk.

Andra duduk di sofa sambil menggenjreng gitarnya, menyanyikan sebuah lagu Indonesia legendaris yang sudah lamaaa sekali tidak Adele dengar.

Walau kau hanya singgah
Sekejap di cinta tulus ini
Tapi sangatlah berharga
Jadi kenangan yang aku banggakan
Maka bagiku cinta
Adalah harta yang kusimpan

Andra memberi kode pada Adele untuk ikut bernyanyi. Adele memejamkan matanya, menaruh tangan kanan di dadanya, dan tangan kiri di samping telinganya, dan bernyanyi lagaknya seorang penyanyi RnB yang begitu menjiwai lagunya.

Jejak langkah yang kau tinggal
Mendewasakan hatiku
Jejak langkah yang kau tinggal
Takkan pernah hilang selalu

Begitulah cintaku

Adele membuka matanya dan tertawa. Andra juga tertawa dan itu membawa Adele tertawa lebih keras lagi. Adele tidak ingat kapan terakhir dia tertawa selepas ini, dan dia baru teringat betapa menyenangkannya perasaan ini, tertawa untuk hal-hal yang kurang penting. Tawa yang memberi efek hangat sekaligus sejuk pada hati.

“Ah sebel,” kata Andra sambil memukul gitarnya pelan.

“Kenapa?”

“Tadi udah keburu janji gak mau ngapa-ngapain kamu,” kata Andra.

“Jijik lu, Ndra. Gue udah tante-tante menopause gini masih mau elu embat juga,” kata Adele sambil melempar bantal ke wajah Andra.

Adele masuk ke dalam selimut sementara Andra masih duduk di sofa dengan gitarnya, “Ayo lanjut ceritanya.” Nada Adele kembali melembut.

“Tadi sampe mana yah?” Andra menyandarkan gitarnya di samping sofanya. “Oh iya, sampe Barcelona. Barcelona indah banget. Hehe kayaknya aku dari tadi ngomong semua tempat ‘indah banget’ ya. Mau gimana lagi, emang indah sih. Aku gak tau adjektif apa lagi yang cocok untuk menggambarkan tempat-tempat itu,” kata Andra.

“Pantesan aja kamu bikin banyak lagu ya.”

“Iya. Lagu aku banyak yang pake nama-nama kota gitu. ‘Loving London’, ‘Midnight in Osaka’, ‘Cinta di Ciamis’…”

“Hah? Ciamis?”

“Hehe, enggak… Bercanda. Yang bener, Cinta di Chicago.”

“Hmmm… Chicago, kota angin. Pasti pengennya pelukan terus,” kata Adele. “Trus, dari semua kota itu, kamu paling suka kota apa?”

Andra tersenyum, “Menurut kamu?”

“Adelaide? Cukup obvious ya.” Tanya Adele.

“Ya iyalah, kalau nggak, ngapain aku sampai settle di sini.”

“Kenapa kamu milih settle di sini?”

“Adele, semua kota yang aku kunjungi itu cuma ada dua jenis: indah, dan indah banget. Tapi di antara semuanya itu, nggak ada yang terasa homy.”

“Hmmm… Trus?” Adele memeluk sebuah bantal dan membenarkan posisinya di dalam selimut.

“Begitu sampe di Adelaide, aku anggep kota ini sama kayak kota-kota lain aja. Eh tapi koq sebulan lewat, dua bulan lewat, rasanya aku gak pengen pergi dari sini. Trus, ya udah aku urusin aja izin tinggal di sini dan sebagainya, trus aku sewa apartemen dan tinggal di sini sampai hari ini.

Ya begitu, setiap hari aku ke Victoria Square, main musik di sana, ngeliatin orang duduk-duduk di sana. Ada yang pacaran, ada yang sendirian, ada yang rame-rame. Yang sendirian pun macem-macem, ada yang sambil baca buku, ada yang sambil nulis, ada juga yang nangis. Kadang-kadang aku samperin orang-orang yang sendirian itu.

Pernah waktu itu ada anak remaja cewek duduk sendirian, nangis sampe mukanya bengkak kayak martabak, trus aku samperin trus aku nyanyi buat dia. Pas ditanya, dia bilang dia baru abis putus sama pacarnya. Biasa lah. Cewek itu dateng hampir tiap hari, semakin hari semakin sembab aja matanya. Sebisa mungkin aku temenin dia, eh tau-tau dia… jatuh cinta sama aku.”

“GR kamu. Kamu cuma dianggep bapak atau om sama dia kali.” Adele memotong cerita Andra.

“Nggak lah… Aku yakin dia jatuh cinta sama aku. Setiap hari dia bawain aku makanan hangat dan kopi. Aku sih care sama dia, tapi gak sampe pengen jadian sama dia. Tapi kan, lumayan juga yah dikasih makanan sama ditemenin ngobrol setiap hari. Suatu hari, dia bilang pengen nikah sama aku. Aku cuma ketawain dia doang, masa kamu mau nikah sama pengamen? Trus hari itu dia bawa nasi sama ayam tumis pake sayur ijo, dan makanan itu dilempar ke aku sampe sekujur tubuh aku nasi semua. Hahaha…”

“Ngeri amat.”

“Iya, cewek kalo udah kebelet nikah ngeri-ngeri ya.”

“Ya lagian kamunya juga yang PHP.”

“Yaudah, trus besokannya dia gak muncul lagi, aku sih business as usual. Tapi aku jadi terinspirasi bikin lagu-lagu. Aku nulis tentang dia, trus aku keinget kisah orang tua kamu yang jatuh cinta di sana juga. Jadi deh album yang kamu lihat tadi, Adelatte. Album itu isinya kisah-kisah di Adelaide, macem-macem kisahnya, ada yang soal..”

Adele mendengkur pelan, matanya sudah terpejam.

“Adele? Adele?” Andra berbisik sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Adele. Adele tertidur lelap. Andra sesaat bingung harus berbuat apa, kemudian dia menarik selimut Adele sampai menutupi pundaknya.

Andra memandangi wajah Adele yang terlelap, seperti ada kesedihan yang tersirat di balik kelopak matanya yang terpejam.

Andra membungkuk, mengecup pipi Adele, lalu berbisik, “Jangan sedih. Ada aku.”

(bersambung)

Part 4