Part 1 - 2038 | Part 2 - Entahlah
Hotel Adele hanya berjarak 20 menit berjalan
kaki dari Victoria Square. Sepanjang perjalanan singkat itu, Andra tiada
hentinya bercerita mengenai perjalanan keliling dunianya ditemani gitar
kesayangannya. Pikiran Adele terbang-terbang, dan dia tersadar akan sesuatu:
kenapa setiap kali aku ke Australia, aku selalu ketemu mantan? Waktu itu ketemu
Ricky sama istrinya, sekarang ketemu Andra sama gitarnya. Jangan bilang nanti
di Melbourne bakal ketemu bapaknya Justin!
Sesampainya di lobby hotel, Adele
menghentikan langkahnya, “Tunggu di sini dulu ya, aku mau mandi dulu. Tadi
kedinginan.”
“Nunggu di sini? Kamu mau aku diusir?”
“Lah kalau nggak, nunggu di mana?”
“Ya bayangin aja kalau satpam hotel bintang
5 liat ada pengamen duduk-duduk di lobbynya, apa nggak diusir?” Sahut Andra. “Nunggu
di kamar kamu lah.”
“Kamar aku? Jangan!” Adele spontan
melarang.
“Aduh, tenang aja, gak bakal aku apa-apain,”
kata Andra sambil berjalan ke lift dan memencet tombol naik. “Lantai berapa?”
Adele sedikit menggerutu, lalu menekan
tombol 25 dengan keras.
Begitu masuk ke kamar deluxe-nya, Adele
mempersilakan Andra duduk di sofa yang ada di sudut ruangan, membelakangi kaca
jendela. “Silakan nonton TV, istirahat, tapi jangan sentuh yang lain dan jangan
naik ke ranjang aku. If you eat something from the mini bar, you gotta pay,”
Adele memberikan instruksi yang singkat, padat, dan jelas.
“Loh, koq jadi jutek lagi sih? Perasaan
tadi udah baek-baek ngomongnya,” kata Andra dengan nada menggoda.
“Hmph. Aku mandi dulu. Be back in 30
minutes.”
Adele bergegas ke dalam kamar mandi,
memutar tuas keran ke tanda berwarna merah, dan masuk ke bawah pancuran. Dia
masih berusaha untuk memahami apa yang baru saja terjadi dan sedang terjadi. Dia
pun berpikir keras mengenai apa yang akan
terjadi. Apa yang dia inginkan? Apa yang
tidak dia inginkan? Ini semua masih berupa tanda tanya karena Adele sama
sekali tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.
Andra.
Udah om-om aja masih ganteng.
Rambut Andra kini pendek dengan beberapa helai
rambut berwarna perak yang nampak. Pakaiannya masih seperti rockstar tahun
2010-an. Celana jins, sepatu bot, dan jaket kulit. Kurang lebih masih sama dengan
bayangan Adele akan Andra.
Ada sedikit rasa puas ketika mengetahui
mantan pacar (apalagi yang pernah menyakiti) sekarang hidupnya tidak
bagus-bagus amat. Tidak jelek juga sih, tapi tidak lebih bagus dari Adele juga.
Setidaknya itu yang dia dapat dari percakapan singkat tadi.
Diam-diam Adele kagum bahwa Andra masih
mempertahankan idealismenya. Adele tahu Andra bermain musik di jalanan bukan untuk
menyambung hidup, melainkan untuk menjalankan hobinya. Adele jadi sadar, Andra
begini bukan karena dia seorang brondong, melainkan memang jiwa dan idealisme
senimannya yang tidak bisa diganggu gugat. 23 tahun yang lalu, Andra bukan husband
material, dan dia tidak pernah menjadi seseorang dengan husband material,
bahkan sampai sekarang pun.
Dia, boyfriend material. Pacar yang keren
dan membanggakan. Dari dulu sampai sekarang.
Adele menggeleng-gelengkan kepalanya, dan
menepuk-nepuk wajahnya yang masih dihantam air pancuran hangat. Mikir apa sih? Dasar tante-tante kesepian.
Adele keluar dari kamar mandi mengenakan
kaos putih longgar bertuliskan Bali, oleh-oleh dari Dewi, dan celana panjang
berwarna hitam. Adele membungkus rambutnya ke atas dengan handuk dan mengenakan
sandal hotel yang empuk.
Andra duduk di sofa sambil menggenjreng
gitarnya, menyanyikan sebuah lagu Indonesia legendaris yang sudah lamaaa sekali
tidak Adele dengar.
Walau
kau hanya singgah
Sekejap
di cinta tulus ini
Tapi
sangatlah berharga
Jadi
kenangan yang aku banggakan
Maka
bagiku cinta
Adalah
harta yang kusimpan
Andra memberi kode pada Adele untuk ikut
bernyanyi. Adele memejamkan matanya, menaruh tangan kanan di dadanya, dan
tangan kiri di samping telinganya, dan bernyanyi lagaknya seorang penyanyi RnB
yang begitu menjiwai lagunya.
Jejak
langkah yang kau tinggal
Mendewasakan
hatiku
Jejak
langkah yang kau tinggal
Takkan
pernah hilang selalu
Begitulah
cintaku
Adele membuka matanya dan tertawa. Andra juga
tertawa dan itu membawa Adele tertawa lebih keras lagi. Adele tidak ingat kapan
terakhir dia tertawa selepas ini, dan dia baru teringat betapa menyenangkannya
perasaan ini, tertawa untuk hal-hal yang kurang penting. Tawa yang memberi efek
hangat sekaligus sejuk pada hati.
“Ah sebel,” kata Andra sambil memukul
gitarnya pelan.
“Kenapa?”
“Tadi udah keburu janji gak mau
ngapa-ngapain kamu,” kata Andra.
“Jijik lu, Ndra. Gue udah tante-tante
menopause gini masih mau elu embat juga,” kata Adele sambil melempar bantal ke
wajah Andra.
Adele masuk ke dalam selimut sementara
Andra masih duduk di sofa dengan gitarnya, “Ayo lanjut ceritanya.” Nada Adele
kembali melembut.
“Tadi sampe mana yah?” Andra menyandarkan
gitarnya di samping sofanya. “Oh iya, sampe Barcelona. Barcelona indah banget.
Hehe kayaknya aku dari tadi ngomong semua tempat ‘indah banget’ ya. Mau gimana
lagi, emang indah sih. Aku gak tau adjektif apa lagi yang cocok untuk
menggambarkan tempat-tempat itu,” kata Andra.
“Pantesan aja kamu bikin banyak lagu ya.”
“Iya. Lagu aku banyak yang pake nama-nama
kota gitu. ‘Loving London’, ‘Midnight in Osaka’, ‘Cinta di Ciamis’…”
“Hah? Ciamis?”
“Hehe, enggak… Bercanda. Yang bener, Cinta
di Chicago.”
“Hmmm… Chicago, kota angin. Pasti pengennya
pelukan terus,” kata Adele. “Trus, dari semua kota itu, kamu paling suka kota
apa?”
Andra tersenyum, “Menurut kamu?”
“Adelaide? Cukup obvious ya.” Tanya Adele.
“Ya iyalah, kalau nggak, ngapain aku sampai
settle di sini.”
“Kenapa kamu milih settle di sini?”
“Adele, semua kota yang aku kunjungi itu cuma
ada dua jenis: indah, dan indah banget. Tapi di antara semuanya itu, nggak ada
yang terasa homy.”
“Hmmm… Trus?” Adele memeluk sebuah bantal
dan membenarkan posisinya di dalam selimut.
“Begitu sampe di Adelaide, aku anggep kota
ini sama kayak kota-kota lain aja. Eh tapi koq sebulan lewat, dua bulan lewat,
rasanya aku gak pengen pergi dari sini. Trus, ya udah aku urusin aja izin
tinggal di sini dan sebagainya, trus aku sewa apartemen dan tinggal di sini
sampai hari ini.
Ya begitu, setiap hari aku ke Victoria
Square, main musik di sana, ngeliatin orang duduk-duduk di sana. Ada yang
pacaran, ada yang sendirian, ada yang rame-rame. Yang sendirian pun
macem-macem, ada yang sambil baca buku, ada yang sambil nulis, ada juga yang
nangis. Kadang-kadang aku samperin orang-orang yang sendirian itu.
Pernah waktu itu ada anak remaja cewek
duduk sendirian, nangis sampe mukanya bengkak kayak martabak, trus aku samperin
trus aku nyanyi buat dia. Pas ditanya, dia bilang dia baru abis putus sama
pacarnya. Biasa lah. Cewek itu dateng hampir tiap hari, semakin hari semakin
sembab aja matanya. Sebisa mungkin aku temenin dia, eh tau-tau dia… jatuh cinta
sama aku.”
“GR kamu. Kamu cuma dianggep bapak atau om
sama dia kali.” Adele memotong cerita Andra.
“Nggak lah… Aku yakin dia jatuh cinta sama
aku. Setiap hari dia bawain aku makanan hangat dan kopi. Aku sih care sama dia,
tapi gak sampe pengen jadian sama dia. Tapi kan, lumayan juga yah dikasih
makanan sama ditemenin ngobrol setiap hari. Suatu hari, dia bilang pengen nikah
sama aku. Aku cuma ketawain dia doang, masa kamu mau nikah sama pengamen? Trus
hari itu dia bawa nasi sama ayam tumis pake sayur ijo, dan makanan itu dilempar
ke aku sampe sekujur tubuh aku nasi semua. Hahaha…”
“Ngeri amat.”
“Iya, cewek kalo udah kebelet nikah
ngeri-ngeri ya.”
“Ya lagian kamunya juga yang PHP.”
“Yaudah, trus besokannya dia gak muncul
lagi, aku sih business as usual. Tapi aku jadi terinspirasi bikin lagu-lagu.
Aku nulis tentang dia, trus aku keinget kisah orang tua kamu yang jatuh cinta
di sana juga. Jadi deh album yang kamu lihat tadi, Adelatte. Album itu isinya
kisah-kisah di Adelaide, macem-macem kisahnya, ada yang soal..”
Adele mendengkur pelan, matanya sudah
terpejam.
“Adele? Adele?” Andra berbisik sambil
mendekatkan wajahnya pada wajah Adele. Adele tertidur lelap. Andra sesaat
bingung harus berbuat apa, kemudian dia menarik selimut Adele sampai menutupi
pundaknya.
Andra memandangi wajah Adele yang terlelap,
seperti ada kesedihan yang tersirat di balik kelopak matanya yang terpejam.
Andra membungkuk, mengecup pipi Adele, lalu
berbisik, “Jangan sedih. Ada aku.”
0 comments:
Post a Comment