“Selamat ulang tahun ke-50, Ma,” kata
Justin pada Adele sambil menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus kertas kado
berwarna emas.
“Makasih, Nak. Apa ini isinya?” Tanya Adele
pada Justin sambil mengguncang-guncangkan kotak itu.
“Buka aja, pasti Mama suka”.
Mendapat lampu hijau dari anak semata
wayangnya, Adele menyobek kertas kado itu dan tertawa girang melihat isinya.
“Awww, iPhone 18? Koq kamu beliin Mama ini?
iPhone 16s Mama kan masih bagus,” kata Adele sedikit merajuk, padahal hatinya
senang minta ampun.
“Masih bagus apanya? Itu udah lama banget
Mama pake, lagipula Mama ‘kan udah mau pergi jalan-jalan, nanti foto-foto yang
bagus trus kirimin ke aku, ya?”
“Iya, pasti. Nanti Mama upload di Instagram
juga, pake hashtag #ShotOniPhone18,” kata Adele sambil mengeluarkan ponsel
barunya dari boks.
“Ih, Mama, kuno banget pake Instagram.
Sekarang udah tahun 2038, masih aja pake Instagram,” kata Justin.
“Iya, iya… Mama emang gak ngerti pake
sosmed kekinian. Pokoknya, makasih yaaa, anak Mama paling ganteng,” kata Adele
sambil memeluk Justin.
“Anytime, Ma.”
=====
Adele melambaikan tangan pada Justin yang
sekarang sudah ada di balik kaca bandara Soekarno Hatta terminal 6. Adele akan
menikmati hadiah ulang tahun yang dia belikan untuk dirinya sendiri:
jalan-jalan ke Australia selama 2 minggu penuh, sesuatu yang sudah ingin dia
lakukan sejak bertahun-tahun lalu tapi baru terwujud sekarang. Perjalanan
impiannya ini baru bisa terwujud karena bertepatan dengan Justin yang baru
masuk kuliah, dan momen ulang tahun ke-50 sebagai momen yang tepat untuk
melakukan the journey of a lifetime, lagi. Ini juga sebagai reward bagi dirinya
sendiri yang telah berhasil merawat dan mendidik Justin sendirian selama 8
tahun terakhir ini.
Sudah 23 tahun Adele tidak ke Australia.
Meski demikian, lukisan Stasiun Flinders masihlah hal pertama yang dia lihat
pertama kali setiap pagi dan hal terakhir yang dia lihat setiap malam, karena
dia memajang lukisan Flinders buah tangannya sendiri tepat di seberang tempat
tidurnya.
Adele akan terbang ke Adelaide, menginap
semalam di sana, lalu mengemudi ke Melbourne. Sesampainya di Melbourne, dia
tidak punya rencana khusus. Mungkin melukis dan minum kopi seperti waktu dia
muda dulu. Kali ini mungkin sesekali ke kasino, seperti tante-tante kesepian
lainnya yang ingin menghabiskan waktu.
=====
Meski orang tuanya menamainya Adelaide,
Adele tidak suka-suka amat pada kota ini. Dia mampir ke kota ini karena tiket
pesawatnya lebih murah, sekaligus untuk mengingat kedua mendiang orangtuanya.
Orang tuanya suka sekali pada kota ini. Sekarang mereka telah menjadi peri-peri
yang bisa terbang ke mana pun, dan Adele yakin, mereka telah menjelma jadi
cupid yang memanah insan-insan Adelaide untuk jatuh cinta pada satu sama lain
seperti mereka.
Adelaide di bulan Juni begitu menggigit,
suhunya mendekati titik beku. Adele terlalu meremehkannya, dan terlalu percaya
diri bahwa raganya yang sudah berusia 50 tahun ini akan masih kuat dihantam angin
beku Australia.
Adele membeli seikat bunga mawar putih dan
dua buah lilin kecil di mini market sebelah hotelnya dan berjalan menuju
Victoria Square. Saat itu baru pukul 5 sore tapi langit sudah berangsur gelap. Ia
ingin “berziarah” ke tempat kenangan kedua orang tuanya, lalu segera kembali ke
hotel dan beristirahat, mempersiapkan diri untuk perjalanan jauh besok.
Victoria Square sudah lebih ramai dari 30
tahun yang lalu. Ada orang yang menjual kopi, lukisan, pengamen, dan beberapa
keluarga yang sedang main kejar-kejaran dengan anjing mereka. Adele menghampiri
patung Queen Victoria yang setia berdiri di sana, menaruh bunga di kakinya,
menyalakan lilin dan berdoa. “Papi, Mami, Adele lagi ada di Adelaide sekarang.
Maaf dulu Papi Mami pergi saat Adele lagi terpuruk, tapi Adele sama Justin
bahagia sekarang,” kata Adele dalam hati sambil mengatupkan tangannya.
Setelah puas mengenang kedua orang tuanya,
Adele berjalan mengitari alun-alun itu sebelum kembali ke hotel. Dia menghirup
udara Adelaide dalam-dalam sampai paru-parunya penuh. Kalau boleh, dia tidak
mau menghembuskannya lagi karena udaranya begitu segar.
Langkah Adele terhenti di sisi kanan patung
Queen Victoria, di tengah 4-5 orang yang mengelilingi seorang seniman jalanan
yang sedang menggenjreng gitar. Adele melihat ke lantai di depan pengamen itu.
Di depan boks gitarnya yang sudah terisi beberapa uang kertas dan koin,
terpajang beberapa buah CD yang covernya berwarna biru muda. Adele mengambil CD
itu dan mengamati covernya. Di covernya terdapat ilustrasi seorang perempuan di
sebuah kafe sambil memegang gelas. Di pojok kanan cover itu terdapat tulisan
seperti tulisan tangan sambung yang berbunyi “Adelatte”.
Adele mengangkat kepalanya, melihat sosok
lelaki di depannya. Lelaki itu juga memandang Adele, kemudian menghentikan
genjrengannya. Dia terdiam selama dua detik, melepaskan gitar yang disampirkan
di bahunya, dan berkata...
“Akhirnya kamu dateng juga, Adele”.
(bersambung ke Part 2 - Entahlah)
“Akhirnya kamu dateng juga, Adele”.
(bersambung ke Part 2 - Entahlah)
0 comments:
Post a Comment