Part 1 - 2038
Adele mengangkat kepalanya, melihat sosok
lelaki di depannya. Lelaki itu juga memandang Adele, kemudian menghentikan
genjrengannya. Dia terdiam selama dua detik, melepaskan gitar yang disampirkan
di bahunya, dan berkata…
“Akhirnya kamu dateng juga, Adele”.
Adele melonjak kaget. CD di genggamannya
terjatuh. Penonton yang sedari tadi mengelilingi sang pengamen membubarkan
diri.
“Adele, I’ve been waiting,” kata laki-laki
itu lagi sambil tersenyum super lebar.
“Andra? Koq… kamu…?” Adele tidak tahu harus
berbuat atau berkata apa. Dia bahkan tidak tahu apa yang hatinya rasakan:
senang atau sebal? Yang jelas, dia kaget setengah mati.
Andra memeluk Adele erat, dan pelukannya
terasa begitu nyaman. Entah, mungkin karena cuaca Adelaide super dingin, atau
mungkin karena Adele sudah terlalu lama tidak dipeluk selain oleh Justin, atau
mungkin karena mereka adalah 2 keping puzzle yang klik. Entahlah.
“Adele, tunggu sebentar, aku beres-beres dulu.
Kita harus ngobrol abis ini,” suara Andra sampai tersengal-sengal saking
bersemangatnya. Dia langsung membalikkan badan, meraup semua uang di boks
gitarnya dan menjejalkannya ke dalam kantong jaketnya. Dia mengambil empat keping
CD yang tadinya berusaha dia jual dan membagikannya ke orang-orang yang lewat.
“Please take it, this is for you, I have
found her. She’s here,” katanya sambil menyerahkan CD itu ke orang-orang yang
kaget karena disergap pengamen jalanan. Adele berharap CD itu tidak malah
dibuang ke tempat sampah yang berjarak 12 langkah dari tempat dia berdiri
sekarang.
===
Entah bagaimana proses terjadinya,
tahu-tahu mereka berdua sudah ada di sebuah kafe di satu gang buntu. Andra
menyapa baristanya dan mengambil tempat duduk di pojok dekat penghangat. Adele
masih saja diam seribu bahasa sejak disergap pelukan Andra tadi.
Mereka berdua saling memandang. Andra masih
tidak bisa berhenti tersenyum seperti orang yang baru menang lotre. Ketika
jiwanya sudah kembali ke raganya, akhirnya Adele bersuara, “ANDRA! Apaan sih
lu!”
“Hahahaha…” Andra malah terbahak. “This is
soooo Adele. Reaksi kamu ini… kamu banget. Udah 20 tahun lebih juteknya masih
nggak ilang-ilang.”
Adele kesal, tahu apa Andra soal apa yang
sudah terjadi 20 tahun ini? Tapi tetap, Adele tidak tahu harus berbuat apa
sekarang.
“Adele, aku udah menanti hari ini sejak
bertahun-tahun yang lalu. Tapi ketika kamu beneran ada di depan aku, aku juga
jadi bingung sendiri mau cerita dari mana.”
Seperti kebiasaan Adele, dia langsung melirik
ke jemari Andra yang memeluk gelas kopinya. Tidak ada cincin di jari manis
kirinya.
“Koq kamu bisa di sini?” Akhirnya Adele
buka suara.
“Hmmm… Ceritanya panjaaang banget…
Kejadiannya udah berjalan sekitar 20 tahun. Kalau mau diceritain, bisa berminggu-minggu
bahkan berbulan-bulan,”
“Yaudah kalau kamu gak mau cerita,” Adele
memalingkan mukanya ke luar jendela.
“Eits, mau… mau… Tapi, kamu dulu aja deh.
Kamu apa kabar? Koq bisa ke Adelaide? Jangan-jangan kamu tinggal di sini
sekarang?”
“Enggak. Aku jalan-jalan aja. Baru sampe
tadi pagi. In fact, besok pagi aku udah berangkat lagi ke Melbourne”.
“Oh? Koq cepet banget? Lamaan aja di sini. Kan
ada aku!”
“Najis lu”.
Andra malah tertawa lagi, “Adele, kamu udah
gak dendam soal kejadian 20 tahun lebih yang lalu kan?”
Adele kesal bukan main mendengarnya.
Sebenarnya dia sudah tidak pernah memikirkan Andra sama sekali. Tapi kalau
diingatkan begini, hati Adele mendadak panas. Seperti ada luka batin yang
terkorek lagi.
“Gak tau. Bodo amat. Aku udah gak pernah
mikirin lagi,” jawab Adele ketus.
“Akhirnya aku nggak jadi sama Stefani koq,
if this could make you better”.
Hati Adele sedikit adem, tapi dia berusaha
tidak menunjukkannya. Perlahan hati Adele merasa senang. Asyik juga bertemu
seseorang yang sudah begitu lama tidak ditemui. Rasa kesepian Adele membuatnya
gampang puas setiap kali bertemu lawan bicara.
“Gimana kabar kamu?” Tanya Andra lagi.
“Well, aku udah jadi tante-tante sekarang”.
“I can see that,” kata Andra sambil
terkekeh. “Tapi tetep cantik koq.”
Adele mengabaikan gombalan Andra barusan, “Aku
punya 1 anak cowok, namanya Justin. Umurnya 18 tahun.”
“Oh! Suami?”
“Udah pisah 8 tahun yang lalu.”
“Oh. Sorry,” kata Andra meski tidak ada
ekspresi penyesalan di wajahnya.
“Gak apa-apa. Itu kesepakatan bersama dan
untuk kebaikan bersama.”
“Trus sekarang? Pacar? TTM? Gebetan?” Tanpa
sadar, Andra mencecar Adele.
“Andra, plis lah. Emangnya aku anak 17
tahun masih punya gebetan atau TTM?”
“Ya kan aku mau mastiin aja,” Andra
terkekeh lagi. “Trus, kenapa bisa ke Adelaide?”
“Tiket pesawatnya lebih murah ke sini dulu.
Sebenernya tujuanku Melbourne. Iseng aja jalan-jalan sendiri. Bosen di rumah
sendirian, anak udah kuliah”.
Andra bergumam, “hmm”.
Kini Adele tidak kalah penasarannya mengenai
apa yang terjadi pada Andra, “Kalo kamu? Kenapa gak jadi sama Stefani? Sekarang
ada istri? Anak? Pacar? Gebetan?”
“Gak ada. Just me and my guitar,” kata
Andra sambil menepuk boks gitar yang berdiri di sampingnya. “Aku gak sempet
nikah sama Stefani. I ended it all.”
“’I’ ended it all? Bukan ‘we’ ended it all
atau ‘she’ ended it all?” Adele bertanya setengah tidak percaya.
“Iya. Jadi ceritanya waktu tahun 2016
papaku tiba-tiba meninggal. Mamaku shock berat dan sakit parah. 2017 mamaku
meninggal. Akunya yang jadi shock berat.”
“So sorry to hear that,” kata Adele.
“Gapapa. Papa mamaku ninggalin aku rumah
yang waktu itu aku tinggalin, 1 apartemen, 2 mobil, dan uang asuransi yang
jumlahnya gede. Semua jatoh ke aku. Ternyata ada untungnya juga jadi anak
tunggal,” Andra tersenyum lagi.
“Aku tinggal di rumah itu sendirian,
kesepian. Stefani setiap hari dateng ke rumah buat menghibur aku.
Lama-kelamaan, dia jadi tinggal bareng aku,” kata Andra datar.
“Weleh, zaman itu emangnya udah umum
tinggal bareng gitu?” Tanya Adele.
“Ya enggak. Tapi orang tuanya Stefani tau
koq. Mereka yang nyuruh malah.”
“Hah? Koq bisa?”
“Iya, Stefani udah kebelet nikah sama aku.
Orang tuanya juga udah kebelet liat anaknya nikah, makanya diizinin tinggal
bareng. Mungkin sengaja juga biar aku hamilin trus nikah gitu. Tapi, aku emang
belom kepengen nikah trus risih didesak-desak terus, jadi lama-lama aku bete
juga.
Udah gitu, setelah beberapa bulan, aku
ngerasa ‘koq gak enak ya hidup ditempelin orang terus’. Aku semakin gak bisa
bayangin menikah, apalagi sama Stefani, yang kalo ketemu aja bawaannya udah
bete terus. Jadi, aku makin menutup diri dari dia, dan karena aku menjauh, dia
semakin menggebu-gebu cari perhatian aku.”
“Klise banget. Trus?” Celetuk Adele.
“Kebetulan waktu itu band aku sama Ruben
dkk juga memutuskan untuk bubar. Lagi-lagi karena mereka masing-masing pilih
berkeluarga dan istri-istri mereka agak keberatan kalo suami-suaminya ngeband.
Aku pikir, aku jadi udah nothing to lose. Ortu udah nggak ada, band udah bubar,
pacar udah malesin. Jadi aku ambil keputusan yang sangat besar yang sama sekali
gak aku sesalin sampe sekarang.”
“Apa itu?” Adele semakin penasaran.
“Aku jual semua properti warisan orang
tuaku, termasuk rumah yang aku tinggalin. Trus aku bayar orang buat ngurusin
aset-asetku, sampe hari ini. Pokoknya entah gimana caranya duit aku diolah sama
dia sampe gak abis-abis sampe hari ini,” kata Andra kalem.
“Wuih, hebat amat.”
“Suatu hari, aku suruh Stefani untuk ngepak
barang-barangnya dan pergi. Tentu saja, dia gak mau pergi. Aku bilang kalo
rumah itu udah dijual dan kita harus pergi dari rumah itu dalam waktu seminggu.
Dia tetep keukeuh gak mau pergi, ya terpaksa aku bilang, ‘kalo kamu gak mau
pergi, ya beli rumah ini, kalahin angka penawaran si pembeli yang sekarang,
pokoknya aku tetap cabut dari rumah ini’.”
“Hahaha… Brengsek banget kamu, Ndra.”
“Yaudah, akhirnya rumah itu dikosongin,
trus aku urus-urus visa dan beli tiket one way ke Roma. Dan di situlah semuanya
dimulai.”
“Roma?”
“Iya, Roma. Gak tau kenapa, random aja.
Trus aku pindah-pindah negara. Kalo udah bosen di satu negara atau kota, aku
pindah. Pertama-tama aku di Eropa dulu. Trus balik lagi ke Indonesia, keliling
Indonesia. Trus keliling Asia, Amerika, dan begitu terus sampe akhirnya aku
keliling Australia.”
“Asik banget hidup kamu,” kata Adele kagum.
Adele jadi teringat, inilah yang dia kagumi dari Andra sejak dulu. Spontanitas
dan keberaniannya.
“Ya, lumayan. Sampe di satu kota, kalo
keadaan memungkinkan, aku ngamen aja. Lumayan dapet recehan buat beli sandwich.
Sambil jalan aku suka nulis lagu. Setelah 6-7 tahun, jadi deh satu album. Tapi
bukan album ‘Adelatte’ yang kamu liat tadi. Itu tadi album kedua aku, rilisnya
3 tahun lalu.”
“Hehe… Keren,” Adele yang jutek sudah
berganti Adele groupie-nya Andra.
“I’m sorry to interrupt, but we’re closing
in 10 minutes,” kata seorang pelayan bercelemek hijau. Adele melirik arlojinya,
ternyata sudah hampir pukul 8 malam di Adelaide. Andra memberi kode pada
pelayan itu bahwa mereka akan segera meninggalkan kafe tersebut.
“Jadi, mau lanjut di apartemenku atau di
hotel kamu?” Tanya Andra.
“What? No. Udahan aja. Besok aku mau bangun
pagi, nyetir ke Melbourne,” kata Adele sigap. Adele tahu Andra tidak akan
menyetujui hal ini, dan Adele pun sebenarnya belum mau mengakhiri reuni bersama
mantan ini.
“Dih. Aku belom selesai ceritanya, tau! Emangnya
kamu gak mau denger?”
“Ya, mau sih…” keingintahuan Adele
mengalahkan gengsinya.
“Your place or my place?” Tanya Andra lagi.
“Yaudah, hotelku aja…” Jawab Adele
semangat.
Lho, koq semangat? Entahlah…
(bersambung ke: Part 3)
0 comments:
Post a Comment