Ocehan-ocehan saya :)

Monday, June 1, 2015

[Short Story] Musim yang Baik - Part 1

Note: this is a fiction, inspired by true events.


“Wah lo suka Sheila on 7 juga?” Tanya Hans pada Adele di whatsapp, 5 menit setelah Adele menge-post “Listening to: Mari Bercinta – Sheila on 7” di Path-nya.

Tidak sampai satu menit kemudian, Adele membalas, “Emangnya ada yang nggak suka sama mereka ya?” Ditutup dengan emoticon senyum dan pipi memerah.

“Hehe… Semua suka sih, tapi kebanyakan mereka tahu lagu-lagu macam ‘Buat Aku Tersenyum’, ‘Seberapa Pantas’, gitu-gitu. Gak banyak yang tahu ‘Mari Bercinta’.”

“Iyaaa… Gue suka banget lagu itu, padahal gak begitu terkenal. Lagu-lagu lain di album 07 Des itu juga enak-enak,” tanpa sadar, Adele mengetik di layar sentuhnya sambil tersenyum. Persis sama dengan emoticon yang dia kirim barusan.

“Iya, setuju. Album barunya juga bagus lho, udah denger belom?”

“Belom nih, kemaren pengen beli, cuma gue nyicil beli yang lama-lama dulu, takutnya bentar lagi out of stock. Lagian lagu-lagu itu yang menemani gue dari masih culun di SMP. Kenangannya membekas banget. Tapi gue rencana beli sih album barunya. Artworknya bagus.”

Satu menit kemudian, Hans Hendarto meng-update Path-nya “Listening to: Satu Langkah – Sheila on 7” dengan liriknya di kolom komentarnya.

Telah kulakukan semua
Semua tuk mendekatimu
Telah kucoba segala
Cara tuk cari atensimu

Di setiap kata terucap
Kau ucapkan kepadaku
Ke mana kau ingin berjalan
Slalu berjalan di sisiku

Tapi masih ada satu
Langkah yang pasti engkau tunggu
Sampai datang saat itu
Kumpulkan semua keyakinanmu

Sayang coba lihatlah aku
Seluruh jiwaku dambakan kamu
When I say I love you
Please baby say you love me too

Sayang coba dengar bibirku
Seluruh jiwaku dambakan kamu
When I say I love you
Please baby say you love me too

Tinggal satu langkah~

Dan kurang dari dua puluh empat jam kemudian, Adele menemukan satu kantong kertas coklat di samping mesin espresso di Flinders. Di atasnya ada tertempel sebuah post it kuning yang tertulis “Adele” dengan sebuah wajah senyum. Adele buru-buru membuka kantong kertas itu dan menemukan sesuatu berwarna Biru Tiffany dengan artwork bunga lili berwarna putih. Di atas bunga itu ada empat kupu-kupu berwarna oranye dan tulisan “Sheila on 7 – Musim yang Baik”.

Mendadak kupu-kupu itu berpindah ke perut Adele. Sambil menahan nafas, dia membuka kemasan CD itu dan menemukan post-it lainnya yang bertuliskan “Siap-siap untuk tanggal 2 Juni. Save the date. – H”



 




Buru-buru Adele meraih ponsel di dalam tas jinjingnya. Sebelum Adele sempat mengetik apa pun, pesan Hans sudah bertengger di layarnya sejak 10 menit yang lalu. “Bisa kan?”

Tanpa banyak pidato ucapan terima kasih, Adele membalas, “Bisa banget.”


Adele tidak bisa memungkiri, ada sesuatu dari Hans yang membuatnya mau meladeninya mengobrol berjam-jam di whatsapp. Entah apakah itu sesuatu dari Hans, atau Adele hanya kesepian dan butuh teman mengobrol saja. Awalnya semua begitu anyep, tapi terima kasih pada Path dan Sheila on 7 yang sudah punya ratusan lagu dan berkarya selama 19 tahun, mereka jadi banyak bahan obrolan.

Sejak pertama kali kenal dengan Adele, Hans jelas punya agenda. Adele tahu betul. Adele bisa merasakan semua effort Hans untuk mendapatkan hatinya. Namun, she just doesn’t get it. Adele membuka hati, merespon ajakan-ajakan Hans. Jujur dia senang dan terharu diberikan perhatian yang begitu manis dari Hans, tapi sayangnya, ada satu zat kimia yang hilang. Gak ada chemistrynya.

Adele bukannya PHP, dia sungguh mau belajar punya perasaan pada Hans, maka dari itu, dia mengiyakan ketika Hans mengajaknya menonton show Sheila on 7 pada tanggal 2 Juni. Selain untuk belajar menyukai Hans, Adele pun semangat untuk bisa menonton show dari band idolanya sejak masih remaja. Setiap hari Adele memutar CD pemberian Hans. Di Flinders, di mobilnya, dan setiap malam sebelum dia tidur. Adele ingin menghafalkan semua lagu di album itu sebelum tanggal 2 Juni datang.

Adele sudah membayangkan, di tengah kerumunan massa, dia dan Hans bersama menyanyikan “sampai jumpa kawanku... smoga kita selalu... menjadi sebuah kisah klasik... untuk masa depan...”. Kemudian mata mereka beradu, kemudian mereka terkekeh, dan kemudian mereka jatuh cinta dan bahagia selamanya.

Bersambung… (kalau masih ada moodnya)

Monday, May 18, 2015

Masokis

Di tengah banjirnya kerjaan (thank God) dan deadline yang mencekik (yikes!), gue rasakan dorongan besar untuk menulis, dan gue tahu gue harus tunda semua yang ada dan nulis ini.

Gue ngefans sama Sheila on 7 sejak album kedua mereka yang keluar waktu gue SMP. Artis mana pun yang gue suka, pasti gue pengen nonton live performancenya. Tapi gue gak pernah khusus nyari, gak pernah ketemu orang yang punya keinginan yang sama. Singkat cerita, hari Sabtu kemarin akhirnya gue dan seseorang barengan nonton Sheila on 7 di pensinya Labschool. Mereka perform 1 jam dan bawain 10 lagu. Dari 10 lagu itu, yang gue hafal mati cuma J.A.P (paling pecah), Melompat Lebih Tinggi, Seberapa Pantas, Lapang Dada, Hari Bersamanya. Sisanya gue boleh dibilang gak pernah denger sama sekali. Di sana ketika ada satu lagu yang gue gak tahu, gue nikmatin aja lagunya, dengerin liriknya.

Eh ada satu lagu yang gue gak tahu tapi rata-rata orang lain tahu. Barengan gue itu aja tahu lagu ini, gue bisa denger dia ikut nyanyi. Syairnya demikian:

Tuhan, aku berjalan menyusuri malam
Setelah patah hatiku

Dhuar. Gue langsung keinget siapa, hayo? Bukan, bukan keinget mantan. Tapi gue keinget diri gue sendiri. Langsung visual banget deh.

Aku berdoa semoga saja ini terbaik untuknya
Dia bilang, kau harus bisa seperti aku
Yang sudah biarlah sudah

Nah detik ini barulah saya teringat dia. Tapi apa hati gue ngilu-ngilu? Enggak, orang gue lagi happy happy nonton band idola gue yeeee...

Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu
Andai saja cintamu seperti cintaku

Makin gue teringat deh. Kali ini gak cuma satu orang, tapi dua orang sekaligus. Teringat mantan A dan mantan B. Betapa gue pernah jadi orang yang lebih mencinta daripada dicinta (pada mantan A. Ga tau kalo mantan B). Betapa mereka (kelihatannya) mudah berpisah dengan gue. Semudah beli rokok di mini market (ciye kritik sosial), semudah mereka dapat pengganti gue dan bahagia lagi (ciye curcol. lah emang curhat, orang ini blog gue ye). Apakah hati gue mulai ngilu-ngilu? Enggak, orang gue lagi happy happy nonton band idola gue yeeee...

Selang waktu berjalan kau kembali datang tanyakan keadaanku
Kubilang, kau tak berhak tanyakan hidupku
Membuatku smakin terluka

Ya mereka gak mungkin kembali dan tanya keadaan. Gue gak akan punya kesempatan bilang "kau tak berhak tanyakan hidupku", dan kalaupun punya, gue gak akan bilang begitu.

Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu
Andai saja lukamu seperti lukaku

Satu hal yang gue hakulyakin adalah, sudah pasti luka mereka gak sepedih luka gue. Mungkin mereka gak sadar mereka telah meninggalkan kenang-kenangan yang sebegitu berkesannya.

Sehari sesudahnya, gue beli album mereka yang ada lagu ini. Gue post lagu ini di Path gue dengan caption "untung tau lagu ini baru kemaren, bukan 2 bulan yang lalu". Gue denger lagu ini berulang-ulang dan gue gak ngerasa sedih. Di satu sisi cukup seneng, mungkin ini pertanda udah lumayan move on.

Tapi di sisi lain, gue rindu pedihnya luka itu. Makanya gue pencet tombol repeat, sampai pedihnya datang lagi.

CK
18.05.2015

Thursday, April 30, 2015

Nukilan Novel Perdana Cindy!



Berikut adalah nukilan novel yang saya tulis beberapa minggu yang lalu. Sampai sekarang, naskah novel ini belum dipublikasikan secara komersil. Saya masih terus berdoa dan berusaha agar dapat. Semua karakter dan cerita di bawah ini fiksi, tapi terinspirasi oleh tokoh/kejadian nyata. Anda mungkin menemukan karakter si A mirip dengan si X, tapi bukan berarti si A adalah X. Meski demikian, perasaan dalam hati yang menggerakkan jari saya untuk menggubah cerita ini 100% asli.


Enjoy.


“Selama kita jadian, hal apa yang paling berkesan buat kamu?” Tanya Adele pada Andra yang sedang bersandar pada bahunya.

“Hmmm... Apa yah? Banyak.” Andra males mikir.

“Iiiih... Apa dong? Pasti ada dong yang paling, paling kamu suka,” Adele merajuk.

Andra memainkan rambut Adele yang kalah panjang dengan rambutnya sambil berpikir keras.

“Oh aku tau,” Andra tiba-tiba duduk tegak. “Waktu kamu keukeuh sama Dewi mau bikin panggung ini buat aku.”

Adele tersenyum bangga.

“Kalo kamu?” Andra bertanya balik.

“Hmmm... Apa yah? Banyak.” Adele menggodanya.

“Iiiih... Apa dong? Pasti ada dong yang paling, paling kamu suka,” Andra mengeluarkan suara kecewek-cewekan.

“Kalo aku sih gak usah mikir lama. Aku udah tau apaan. Bahkan kejadian itu aku ulang-ulang terus di kepala aku sampe aku sering senyum-senyum sendiri.”

“Apa itu?”

Adele tersipu seperti anak umur 13 tahun. “Waktu kamu bilang kamu bakal bawa aku balik ke Melbourne.”

Andra tertawa, “Iya, suatu hari nanti ya. Aku pasti bawa kamu ke sana, sama Adelaide sekalian. Tapi jangan ditungguin terus, pokoknya tau-tau surprise aja.”

“Awas kamu, nanti aku tagih.”

Adele melingkarkan lengannya di perut Andra. Seandainya berbuat sama mudahnya dengan berkata-kata.

Because talk is cheap, but actions are priceless.

Monday, April 27, 2015

Tips Traveling / Backpacking ke Jepang Part 1: Sebelum Berangkat

Jadi, gue baru pulang trip ke Jepang selama 8 hari 7 malam, semua berkat keputusan impulsif dan tiket promo. Gue dan dua orang teman berangkat dengan riset yang minim, tapi di sana cukup enjoy juga. Nah untuk dokumentasi sekaligus informasi, berikut hal-hal yang harus dipersiapkan/diperhatikan sebelum berangkat ke Jepang. Gue coba infokan biayanya juga biar ada gambaran. Saat tulisan ini dibuat, 1 USD = Rp.13.000, dan 1 Yen = Rp.110.

Sebelumnya, itinerary kami secara garis besar adalah:
Day 1: Arrival Tokyo, Check in Guest House, Akihabara
Day 2: Morning train to Osaka, Check in Guest House, Osaka Castle, Dotonbori Street Food
Day 3: Universal Studio Osaka
Day 4: Morning train to Kyoto, tour Kyoto (Arashiyama and Fushimi Inari), train to Tokyo, Ginza and Roppongi.
Day 5: Disneysea, Shinjuku
Day 6: Harajuku, Nakano (makan, shopping barang-barang anime dan game), Ryogoku (minum)
Day 7: Kawagoe (suburb deket Tokyo), Kuil Sensoji, Ueno (shopping), Tokyo Station, Harajuku, Shibuya
Day 8: Tsukiji Fish Market, Harajuku, bus to Narita Airport.

1. Tiket Pesawat
Kami berangkat pake tiket promo Japan Airlines JAL, Jakarta - Tokyo Narita - Jakarta dengan harga iklan  419 USD. Tapi kenyataannya di pameran, kami bayar lebih dari itu karena itu minimal 2 orang dan harus bayar pake HSBC, kalau gak pake HSBC, kena +2,5%, dan karena jumlah kami ganjil, orang ketiga itu harganya 429 USD (+2,5%). Total harga yang gue bayar dengan kurs hari itu adalah Rp.5.714.226. Selain terms and conditions itu, tiket juga cuma boleh 7 hari (yang sebenernya 8 hari sih), jadi kami beli untuk berangkat tanggal 19 April dan pulang 26 April. Pulang dan pergi harus dari kota yang sama (Tokyo *atau* Osaka), dan harus pake penerbangan jam tertentu (dari Jakarta pagi jam 06.50, sampai Narita jam 16.30, pulangnya dari Narita jam 18.55, sampai Jakarta 01.00 (+1)) Oh ya, ini sudah termasuk airport tax Rp.150.000 ya...

Nah, ini mahal atau murah? Murah, apalagi naik JAL yang full service airline. Sebagai perbandingan, waktu itu ada promo Garuda Indonesia ke Tokyo Haneda 488USD. Pakai JAL (dan Garuda) enaknya adalah gak perlu transit lagi. Pakai JAL, selain bisa nyaman di perjalanan 7 jam dengan makanan, minuman dan in flight entertainment, kami juga dapet fasilitas free wi-fi untuk di dalem Jepang-nya. Jadi pas online check in di webnya, di sana bisa register untuk dapet username dan password untuk pake wi-fi di jalanan-jalanan di Jepang. Meski gak literally di semua tempat ada, ini sangat membantu kami yang nggak punya portable wi-fi. Koneksi internet sangat dibutuhkan untuk nyari-nyari alamat di jalanan Jepang yang pelit signage. Tips: SAVE dulu semua soft-copy alamat, peta, directions, dll. Jangan pas butuh baru buka e-mail/link, karena gak selalu ada internet di sana.

PS: dari pusat kota Tokyo, lebih deket ke Haneda daripada Narita. Perhatikan ini untuk biaya dan waktunya! Di hari terakhir, kami naik bus airport dari Ritz Carlton Roppongi ke Narita dengan biaya 3.100 Yen dan waktu 2 jam. Lumayan!

2. Visa Jepang
Paspor gue belom e-paspor, jadinya mesti bikin visa dengan biaya Rp.450.000,- lewat Avia Tour. Persyaratannya cukup standar, pas foto (ukuran khusus, mesti cetak ulang, biaya Rp.50.000,-), surat keterangan kerja, fotokopi buku tabungan 3 bulan terakhir, KK, dsb (nanti lengkap dikasih tau sama agennya). Butuh waktu sekitar 5 hari kerja untuk prosesnya. Kemarin kami cukup pontang-panting panik bikin visanya karena waktunya mepet dan ribet minta dokumen ini itu dari kantor dan bank. Jadi, selalu siaplah dokumen-dokumen ini itu.

3.  JR Pass
JR Pass adalah "tiket" kereta terusan yang meng-cover semua jaringan kereta JR di seluruh Jepang. Ini harus dipahami bener-bener karena JR Pass itu mahal sekali kalau gak dipakai dengan maksimal. Sedangkan kalau kita pakai dengan maksimal, kita jadi bisa hemat banyak uang. Kami beli yang 7 hari (ada 7, 14, 21 hari) dengan harga 29.110 Yen. Ini udah harga fix, jadi ga bisa lebih murah lagi ya ^u^.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana memaksimalkan pemakaian JR Pass? Jawabannya adalah, carilah hotel/penginapan yang deket stasiun JR.
Link-nya sebagai berikut:
Tokyo JR Network Map
Osaka JR Network Map
Kyoto JR Network Map

Dengan menginap di hotel dekat JR, kita gak usah beli tiket subway lokal lagi. Tapi kalaupun di Tokyo harus pakai Subway, belilah tiket terusan harian seharga 600 Yen, tapi hati-hati juga, ini tidak meng-cover subway yang dioperasikan oleh TOEI. Ribet yah? Agak sih. Pokoknya jangan bayangin kayak MRT Singapur yang ada di bawah satu manajemen.

Selain untuk commute di dalam kota, JR Pass juga bisa dipakai untuk ke pindah ke kota lain. Kami pakai JR Pass untuk ke Osaka dan Kyoto, yang kalau beli ketengan bisa jauh lebih mahal dari 29.110 Yen.

4. Tiket-tiket theme park
Kami memutuskan untuk pergi ke Disneysea Tokyo dan Universal Studio Osaka, jadi kami beli dulu tiketnya seharga 6.900 Yen untuk Disneysea dan 7.200 Yen untuk Universal Studio. Ini untuk menghemat waktu di sananya, karena kita tinggal bawa tiketnya dan masuk, gak perlu ngantri di loket lagi.

Tips: kami beli tiket JR Pass dan theme park di Jalan Tour (jalan-tour.com). Supaya lebih hemat, beli Yen dulu di luar dan bayar mereka pakai Yen, karena kurs di mereka lebih mahal. Waktu beli JR Pass ada buntutnya 330 Yen itu dibayar pakai rupiah aja.

5. Penginapan
Kami 1 malam di Tokyo (pake Agoda, harga USD75 per kamar), lanjut 2 malam di Osaka (pake Agoda, total harga USD176,92 per kamar untuk 2 malam), lalu 4 malam di Tokyo lagi (pake AirBnB, total harga Euro390, per kamar untuk 4 malam). Link di bawah.

Itu semua gak ada yang hotel. Yang Tokyo hari pertama dan Osaka lebih mirip ke kos-kosan campur dengan kamar mandi luar, dan yang 4 malam di Tokyo itu kayak 1 apartemen studio dengan kamar mandi di dalam. Kami bertiga nginep di satu kamar dan sempitnya minta ampun, tapi masih survive juga. Hehe.

2 pertama yang pake Agoda enaknya adalah kamar mandinya dan klosetnya khas Jepang banget yang sophisticated sekali, jadi mandinya puaaas. Yang ketiga kamar mandinya super sempit dan udah agak tua. Semuanya disediain sabun, shampoo, kondisioner, dan hair dryer.

Nah minusnya pake Agoda adalah kita gak dikasih portable wifi (kalau di penginapannya sih ada), jadi kalau keluar-keluar, kami langsung jadi fakir wi-fi. Kalau yang pakai AirBNB, dikasih pinjem portable wifi yang lumayan reliable untuk bertiga. Kesamaan mereka adalah: susah nyari alamatnya. Ketiganya gak ada plang di depannya jadi harus bener-bener ngandelin peta dan direction dari host AirBNB-nya. Jadi, siap-siaplah geret koper berat naik tangga subway sambil kebingungan cari alamat, belom lagi kalo ujan kayak kami di Osaka.

Jadi, enakan pake Agoda atau AirBNB? Ya masing-masing ada plus minusnya. Tapi kalau next time gue ke Jepang lagi, gue akan pilih AirBNB yang kamar mandinya sophisticated dan deket stasiun JR. Hehe.

Link Agoda di Tokyo (deket JR Shin-Koiwa)
Link Agoda di Osaka (deket JR Osakatenmangu / JR Minami Morimachi)
Link AirBNB di Tokyo (deket Subway Roppongi / Subway Akasaka)

--bersambung--

Next: objek wisata (theme park, shrines), belanja, makan di Jepang!

Kalau ada pertanyaan, silakan tanya di kolom comment. Kalau bisa, akan gue jawab. :)

Sunday, April 5, 2015

Every Man for Himself

Gila. 6 April 2015. Tahun 2015 baru berjalan 3 bulan lebih dikit, tapi emosi dan perasaan gue udah naik turun gila banget kayak naik rollercoaster (metafora klise, tapi gak kepikiran perumpamaan lain yang lebih pas). Sekarang di depan mata gue ada setumpuk pekerjaan yang urgent, semuanya priority, semuanya ribet, dan gue cuma bengong doang, berharap ini semua cepet selesai. Perjalanan menjadi dewasa emang gak mudah. Berlian kudu dipoles poles poles terus baru bisa kinclong. Dibandingkan dengan tahun 2014 yang relatif mulus semua, tiga bulan pertama di tahun 2015 itu jauh, jauh lebih menantang.

Dalam 96 hari ini, gue harus mengalami a pretty ugly breakup, harus closure sama beberapa orang, ngambil keputusan untuk break sementara dari sesuatu, ngambil keputusan besar untuk melakukan perjalanan (dua pula!), mengalami penolakan, my aunt died, dapet kabar mantan mau nikah (good for you), NGALAH LAGI DAN LAGI, ribet ngurusin visa ini itu, mempertanyakan hidup ini, sampe sebuah project yang kalo sampe goal bisa mengubah hidup gue selamanya. Ehm. Rada lebay, tapi ya bisa dibilang milestone yang besar lah.



Sempet ngalamin depresi seperti 2-3 tahun yang lalu. Rasanya? Menjijikan. Memuakkan. Entah sekarang ini gue udah ngelewatinnya atau belom. Semoga udah.

Gue biasain untuk selalu share apa pun kepenatan gue pada orang-orang terdekat. Tapi belakangan gue gak enak ati juga karena mereka juga punya kehidupan sendiri. Even kalo kita punya pasangan hidup pun, kerjaan mereka bukan ngurusin kita doang.

It's every man for himself. 2-3 tahun lalu, depresi  membuat gue lebih tegar menghadapi semuanya sendiri. Tahun lalu gue keenakan dan agak lupa sama keahlian itu. Sekarang gue mesti inget-inget lagi gimana caranya.

Monday, February 23, 2015

When I Die...

Orang-orang terdekat gue tahu kalau gue gak tabu ngomongin kematian sama halnya gue gak tabu ngomongin seks. Gue nganggep kematian itu sesuatu yang biasa. Tentu kematian mendadak dan gak wajar itu bikin sedih. Tapi ketika orang udah sepuh banget dan pergi meninggalkan dunia ini, gue malah sedikit ngerasa bahagia karena dia sudah pergi ke tempat yang lebih baik. Kematian adalah sesuatu yang PASTI akan kita hadapi. Nikah belum tentu, kaya belum tentu, tapi mati mah udah pasti.

Recently, tante gue yang berumur 77 tahun meninggal. Jujur, gue lebih banyak ngerasa lega daripada sedihnya. Sebenarnya ini bukan kejutan karena beliau sudah lama sakit dan beberapa hari sebelum pergi kesehatannya sangat drop. Ketika kami sekeluarga tahu kalau beliau udah nggak ada, bokap, nyokap, dan cici gue yang tinggal jauh pun langsung memikirkan cara untuk melayat (Tante tinggal di luar kota). Tadinya gue pikir gue gak perlu hadir karena sudah diwakilkan oleh mereka bertiga. Tapi ketika gue sampaikan gagasan itu, yang gue dapet malah dampratan dari si cici.

Singkat cerita, gue pergi. Gue belum pernah se-involved itu di dalam kematian seseorang. Rumah duka dihias begitu indah, upacara demi upacara diadakan, anak cucu pake baju putih semua, dll dll. Di misa requiem (misa arwah), gue tiba-tiba berkhayal, "gimana yah kalau gue yang meninggal". Dan gue mulai memikirkan semua details.

Gue harap kalau gue mati nanti (gue ga minta secara spesifik ke Tuhan berapa umur gue, yang jelas jangan biarkan gue ngeduluin ortu gue), gue ditaroh di rumah duka seperti biasa, tapi tempat gue ga boleh sampe ngebosenin. Gue selalu bingung deh tiap kali ngelayat. Abis doain, gue cuma duduk makan kacang. Ga berani small talks sama keluarganya takut salah ngomong, kalo langsung cabut juga gak sopan.

Nah, gue mau di rumah duka gue ada semacem open mic yang ngebolehin siapa pun untuk ngomong tentang gue. Boleh yang jelek, atau bagus. Pokoknya apa yang dia ingat tentang gue. Gue mau setidaknya ada perwakilan dari setiap social group gue yang kasih kesan pesan soal si Cindy yang baru pergi ini. Gue mau ada murid, temen Beijing, temen SMA, sodara, temen di twitter, ex-colleagues, sama ex-boyfriends kalo perlu. Gue akan minta disediakan bir dan minuman lainnya selain aqua gelas so setiap orang bisa bersulang setiap kali "punchline"nya dapet. Misalnya kalo ada yang ngomong "Gue gak akan lupa dulu Cindy pernah karaoke sampe jam 6 pagi", that's when you raise your glass and drink. Ngomong pun yang jelek-jelek dulu gpp, tapi harus ditutup dengan yang bagus dong! Kalo misalnya yang speech itu sebel/benci sama gue, dan kalo misalnya amit-amit gue belom sempet minta maaf sama dia, semoga dia menutup speechnya dengan "I forgive you, Cindy. Rest in Peace" Semoga yang "open mic" banyak sampe semua orang stay dan begadang sampai pagi dan gak pengen meninggalkan rumah duka itu. Semua orang harus nangis sampai ketawa dan ketawa sampai nangis (seperti yang tertulis di bio twitter gue!)

My wake should be like a party about me me and me. It has to be bigger than my birthdays (cos I don't invite ex-colleagues that I hate to my birthdays) and this time please allow me for one last time to be narcissistic. Kalo wedding kan, se-bridezilla-bridezilla-nya elu, kan tetep harus kompromi sama suami, mertua, dll... Nah, this is my funeral, dude. Kalo lu ngerasa gue ngerepotin, this is the very last time gue ngerepotin elu. Pokoknya harus dibikin seperti yang gue mau ya!

Trus, nanti foto gue harus yang kece, gak boleh yang standar kayak pas foto. Nanti misa requiemnya dipimpin sama pastor yang kenal gue personally so homilinya harus lucu dan harus spesifik tentang gue, ga boleh generic. Nanti di ruangan itu diputerin slide show foto dan lagu-lagu kesukaan gue. Trus yang terpenting, abis itu gue dikremasi aja dan buang semua abunya ke laut (kalau gak terlalu menyusahkan, bole tolong buangin di Great Wall sama di Houhai, Beijing?)

Oke? Cukup jelas? Nanti kalo ada yang kurang-kurang gue tambahin lagi ah. Pokoknya intinya jangan sampe gue mati pas masih ada utang. Utang duit bisa dibayar kalo nanti asuransi gue cair, tapi utang perasaan itu yang jangan sampe ada. Jangan sampe pas gue udah pergi pun, masih ada yang ga mau maafin gue. Jangan.

So kalau gue meninggal, tolong buka postingan ini dan ikuti ya. Makasih!

CK

Monday, February 9, 2015

Cuma tuker-tukeran peran

Gossip Girl dan Desperate Housewives adalah serial-serial yang panjang. Ketika serial itu sudah berjalan lebih dari tiga tahun, problem yang sering dirasakan oleh penonton adalah jenuh dan cerita yang maksa dan mbulet. Kalo di Gossip Girl, sebentar-sebentar si Serena sama si Nate, sebentar-sebentar sama si Dan, sebentar-sebentar Blair sama si Dan gitu aja terus sampe Ahok jadi presiden RI. Akhirnya gue gak tamatin itu Gossip Girl saking mangkelnya.

Di kehidupan nyata, gue *berusaha* untuk nggak drama. Setelah pernah mengalami drama yang melelahkan, gue mencoba menyelesaikan segala sesuatu dengan logika dan secara dewasa. Gue pikir gue udah pinter, dengan ini gue gak akan kena drama gak penting lagi. Ternyata gue salah. Gue sungguh salah. Haha.

Ternyata gue masih kena drama. Kali ini dramanya orang lain.

Dulu di drama gue sendiri, gue jadi pemeran utama yang termehek-mehek. Gue jadi korban. Ada villain yang jahatin gue. Gue anak-anak yang lagi ditempa untuk dewasa. Ending cerita itu? Gue berdamai dengan diri sendiri dan keadaan. I grew up.

Sekarang, ada orang lain yang lagi proses mendewasakan diri. Ada orang yang harus jalanin compulsory quarter life crisis mereka dan gue hadir dalam hidup mereka (kecemplung mungkin). This time gue jadi pihak yang dewasa, pihak yang santai, pihak yang mungkin bersimpati melihat mereka-mereka uring-uringan, pihak yang menasihati mereka "This too shall pass".

Mau gak mau suasana hati gue ikut terpengaruh sih. Tapi karena gue udah pernah ngalamin tsunami, banjir kecil ini gak ada apa-apanya buat gue. Sebagai manusia, sedih itu tidak terelakkan, tapi sembuh dan move onnya lebih cepet. Dulu gue menggerutu, "Kenapa gue harus mengalami ini? Apa salah gue?"

Sekarang gue tahu jawabannya, dan gue bersyukur akan tsunami yang pernah menerjang.

CK