Ocehan-ocehan saya :)

Wednesday, August 5, 2015

Part 3 - Catching Up


Part 1 - 2038 | Part 2 - Entahlah

Hotel Adele hanya berjarak 20 menit berjalan kaki dari Victoria Square. Sepanjang perjalanan singkat itu, Andra tiada hentinya bercerita mengenai perjalanan keliling dunianya ditemani gitar kesayangannya. Pikiran Adele terbang-terbang, dan dia tersadar akan sesuatu: kenapa setiap kali aku ke Australia, aku selalu ketemu mantan? Waktu itu ketemu Ricky sama istrinya, sekarang ketemu Andra sama gitarnya. Jangan bilang nanti di Melbourne bakal ketemu bapaknya Justin!

Sesampainya di lobby hotel, Adele menghentikan langkahnya, “Tunggu di sini dulu ya, aku mau mandi dulu. Tadi kedinginan.”

“Nunggu di sini? Kamu mau aku diusir?”

“Lah kalau nggak, nunggu di mana?”

“Ya bayangin aja kalau satpam hotel bintang 5 liat ada pengamen duduk-duduk di lobbynya, apa nggak diusir?” Sahut Andra. “Nunggu di kamar kamu lah.”

“Kamar aku? Jangan!” Adele spontan melarang.

“Aduh, tenang aja, gak bakal aku apa-apain,” kata Andra sambil berjalan ke lift dan memencet tombol naik. “Lantai berapa?”

Adele sedikit menggerutu, lalu menekan tombol 25 dengan keras.

Begitu masuk ke kamar deluxe-nya, Adele mempersilakan Andra duduk di sofa yang ada di sudut ruangan, membelakangi kaca jendela. “Silakan nonton TV, istirahat, tapi jangan sentuh yang lain dan jangan naik ke ranjang aku. If you eat something from the mini bar, you gotta pay,” Adele memberikan instruksi yang singkat, padat, dan jelas.

“Loh, koq jadi jutek lagi sih? Perasaan tadi udah baek-baek ngomongnya,” kata Andra dengan nada menggoda.

“Hmph. Aku mandi dulu. Be back in 30 minutes.”

Adele bergegas ke dalam kamar mandi, memutar tuas keran ke tanda berwarna merah, dan masuk ke bawah pancuran. Dia masih berusaha untuk memahami apa yang baru saja terjadi dan sedang terjadi. Dia pun berpikir keras mengenai apa yang akan terjadi. Apa yang dia inginkan? Apa yang tidak dia inginkan? Ini semua masih berupa tanda tanya karena Adele sama sekali tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.

Andra. Udah om-om aja masih ganteng.

Rambut Andra kini pendek dengan beberapa helai rambut berwarna perak yang nampak. Pakaiannya masih seperti rockstar tahun 2010-an. Celana jins, sepatu bot, dan jaket kulit. Kurang lebih masih sama dengan bayangan Adele akan Andra.

Ada sedikit rasa puas ketika mengetahui mantan pacar (apalagi yang pernah menyakiti) sekarang hidupnya tidak bagus-bagus amat. Tidak jelek juga sih, tapi tidak lebih bagus dari Adele juga. Setidaknya itu yang dia dapat dari percakapan singkat tadi.

Diam-diam Adele kagum bahwa Andra masih mempertahankan idealismenya. Adele tahu Andra bermain musik di jalanan bukan untuk menyambung hidup, melainkan untuk menjalankan hobinya. Adele jadi sadar, Andra begini bukan karena dia seorang brondong, melainkan memang jiwa dan idealisme senimannya yang tidak bisa diganggu gugat. 23 tahun yang lalu, Andra bukan husband material, dan dia tidak pernah menjadi seseorang dengan husband material, bahkan sampai sekarang pun.

Dia, boyfriend material. Pacar yang keren dan membanggakan. Dari dulu sampai sekarang.

Adele menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menepuk-nepuk wajahnya yang masih dihantam air pancuran hangat. Mikir apa sih? Dasar tante-tante kesepian.

Adele keluar dari kamar mandi mengenakan kaos putih longgar bertuliskan Bali, oleh-oleh dari Dewi, dan celana panjang berwarna hitam. Adele membungkus rambutnya ke atas dengan handuk dan mengenakan sandal hotel yang empuk.

Andra duduk di sofa sambil menggenjreng gitarnya, menyanyikan sebuah lagu Indonesia legendaris yang sudah lamaaa sekali tidak Adele dengar.

Walau kau hanya singgah
Sekejap di cinta tulus ini
Tapi sangatlah berharga
Jadi kenangan yang aku banggakan
Maka bagiku cinta
Adalah harta yang kusimpan

Andra memberi kode pada Adele untuk ikut bernyanyi. Adele memejamkan matanya, menaruh tangan kanan di dadanya, dan tangan kiri di samping telinganya, dan bernyanyi lagaknya seorang penyanyi RnB yang begitu menjiwai lagunya.

Jejak langkah yang kau tinggal
Mendewasakan hatiku
Jejak langkah yang kau tinggal
Takkan pernah hilang selalu

Begitulah cintaku

Adele membuka matanya dan tertawa. Andra juga tertawa dan itu membawa Adele tertawa lebih keras lagi. Adele tidak ingat kapan terakhir dia tertawa selepas ini, dan dia baru teringat betapa menyenangkannya perasaan ini, tertawa untuk hal-hal yang kurang penting. Tawa yang memberi efek hangat sekaligus sejuk pada hati.

“Ah sebel,” kata Andra sambil memukul gitarnya pelan.

“Kenapa?”

“Tadi udah keburu janji gak mau ngapa-ngapain kamu,” kata Andra.

“Jijik lu, Ndra. Gue udah tante-tante menopause gini masih mau elu embat juga,” kata Adele sambil melempar bantal ke wajah Andra.

Adele masuk ke dalam selimut sementara Andra masih duduk di sofa dengan gitarnya, “Ayo lanjut ceritanya.” Nada Adele kembali melembut.

“Tadi sampe mana yah?” Andra menyandarkan gitarnya di samping sofanya. “Oh iya, sampe Barcelona. Barcelona indah banget. Hehe kayaknya aku dari tadi ngomong semua tempat ‘indah banget’ ya. Mau gimana lagi, emang indah sih. Aku gak tau adjektif apa lagi yang cocok untuk menggambarkan tempat-tempat itu,” kata Andra.

“Pantesan aja kamu bikin banyak lagu ya.”

“Iya. Lagu aku banyak yang pake nama-nama kota gitu. ‘Loving London’, ‘Midnight in Osaka’, ‘Cinta di Ciamis’…”

“Hah? Ciamis?”

“Hehe, enggak… Bercanda. Yang bener, Cinta di Chicago.”

“Hmmm… Chicago, kota angin. Pasti pengennya pelukan terus,” kata Adele. “Trus, dari semua kota itu, kamu paling suka kota apa?”

Andra tersenyum, “Menurut kamu?”

“Adelaide? Cukup obvious ya.” Tanya Adele.

“Ya iyalah, kalau nggak, ngapain aku sampai settle di sini.”

“Kenapa kamu milih settle di sini?”

“Adele, semua kota yang aku kunjungi itu cuma ada dua jenis: indah, dan indah banget. Tapi di antara semuanya itu, nggak ada yang terasa homy.”

“Hmmm… Trus?” Adele memeluk sebuah bantal dan membenarkan posisinya di dalam selimut.

“Begitu sampe di Adelaide, aku anggep kota ini sama kayak kota-kota lain aja. Eh tapi koq sebulan lewat, dua bulan lewat, rasanya aku gak pengen pergi dari sini. Trus, ya udah aku urusin aja izin tinggal di sini dan sebagainya, trus aku sewa apartemen dan tinggal di sini sampai hari ini.

Ya begitu, setiap hari aku ke Victoria Square, main musik di sana, ngeliatin orang duduk-duduk di sana. Ada yang pacaran, ada yang sendirian, ada yang rame-rame. Yang sendirian pun macem-macem, ada yang sambil baca buku, ada yang sambil nulis, ada juga yang nangis. Kadang-kadang aku samperin orang-orang yang sendirian itu.

Pernah waktu itu ada anak remaja cewek duduk sendirian, nangis sampe mukanya bengkak kayak martabak, trus aku samperin trus aku nyanyi buat dia. Pas ditanya, dia bilang dia baru abis putus sama pacarnya. Biasa lah. Cewek itu dateng hampir tiap hari, semakin hari semakin sembab aja matanya. Sebisa mungkin aku temenin dia, eh tau-tau dia… jatuh cinta sama aku.”

“GR kamu. Kamu cuma dianggep bapak atau om sama dia kali.” Adele memotong cerita Andra.

“Nggak lah… Aku yakin dia jatuh cinta sama aku. Setiap hari dia bawain aku makanan hangat dan kopi. Aku sih care sama dia, tapi gak sampe pengen jadian sama dia. Tapi kan, lumayan juga yah dikasih makanan sama ditemenin ngobrol setiap hari. Suatu hari, dia bilang pengen nikah sama aku. Aku cuma ketawain dia doang, masa kamu mau nikah sama pengamen? Trus hari itu dia bawa nasi sama ayam tumis pake sayur ijo, dan makanan itu dilempar ke aku sampe sekujur tubuh aku nasi semua. Hahaha…”

“Ngeri amat.”

“Iya, cewek kalo udah kebelet nikah ngeri-ngeri ya.”

“Ya lagian kamunya juga yang PHP.”

“Yaudah, trus besokannya dia gak muncul lagi, aku sih business as usual. Tapi aku jadi terinspirasi bikin lagu-lagu. Aku nulis tentang dia, trus aku keinget kisah orang tua kamu yang jatuh cinta di sana juga. Jadi deh album yang kamu lihat tadi, Adelatte. Album itu isinya kisah-kisah di Adelaide, macem-macem kisahnya, ada yang soal..”

Adele mendengkur pelan, matanya sudah terpejam.

“Adele? Adele?” Andra berbisik sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Adele. Adele tertidur lelap. Andra sesaat bingung harus berbuat apa, kemudian dia menarik selimut Adele sampai menutupi pundaknya.

Andra memandangi wajah Adele yang terlelap, seperti ada kesedihan yang tersirat di balik kelopak matanya yang terpejam.

Andra membungkuk, mengecup pipi Adele, lalu berbisik, “Jangan sedih. Ada aku.”

(bersambung)

Part 4

Tuesday, August 4, 2015

Part 2 - Entahlah

Part 1 - 2038

Adele mengangkat kepalanya, melihat sosok lelaki di depannya. Lelaki itu juga memandang Adele, kemudian menghentikan genjrengannya. Dia terdiam selama dua detik, melepaskan gitar yang disampirkan di bahunya, dan berkata…

“Akhirnya kamu dateng juga, Adele”.

Adele melonjak kaget. CD di genggamannya terjatuh. Penonton yang sedari tadi mengelilingi sang pengamen membubarkan diri.

“Adele, I’ve been waiting,” kata laki-laki itu lagi sambil tersenyum super lebar.

“Andra? Koq… kamu…?” Adele tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Dia bahkan tidak tahu apa yang hatinya rasakan: senang atau sebal? Yang jelas, dia kaget setengah mati.

Andra memeluk Adele erat, dan pelukannya terasa begitu nyaman. Entah, mungkin karena cuaca Adelaide super dingin, atau mungkin karena Adele sudah terlalu lama tidak dipeluk selain oleh Justin, atau mungkin karena mereka adalah 2 keping puzzle yang klik. Entahlah.

“Adele, tunggu sebentar, aku beres-beres dulu. Kita harus ngobrol abis ini,” suara Andra sampai tersengal-sengal saking bersemangatnya. Dia langsung membalikkan badan, meraup semua uang di boks gitarnya dan menjejalkannya ke dalam kantong jaketnya. Dia mengambil empat keping CD yang tadinya berusaha dia jual dan membagikannya ke orang-orang yang lewat.

“Please take it, this is for you, I have found her. She’s here,” katanya sambil menyerahkan CD itu ke orang-orang yang kaget karena disergap pengamen jalanan. Adele berharap CD itu tidak malah dibuang ke tempat sampah yang berjarak 12 langkah dari tempat dia berdiri sekarang.

===

Entah bagaimana proses terjadinya, tahu-tahu mereka berdua sudah ada di sebuah kafe di satu gang buntu. Andra menyapa baristanya dan mengambil tempat duduk di pojok dekat penghangat. Adele masih saja diam seribu bahasa sejak disergap pelukan Andra tadi.

Mereka berdua saling memandang. Andra masih tidak bisa berhenti tersenyum seperti orang yang baru menang lotre. Ketika jiwanya sudah kembali ke raganya, akhirnya Adele bersuara, “ANDRA! Apaan sih lu!”

“Hahahaha…” Andra malah terbahak. “This is soooo Adele. Reaksi kamu ini… kamu banget. Udah 20 tahun lebih juteknya masih nggak ilang-ilang.”

Adele kesal, tahu apa Andra soal apa yang sudah terjadi 20 tahun ini? Tapi tetap, Adele tidak tahu harus berbuat apa sekarang.

“Adele, aku udah menanti hari ini sejak bertahun-tahun yang lalu. Tapi ketika kamu beneran ada di depan aku, aku juga jadi bingung sendiri mau cerita dari mana.”

Seperti kebiasaan Adele, dia langsung melirik ke jemari Andra yang memeluk gelas kopinya. Tidak ada cincin di jari manis kirinya.

“Koq kamu bisa di sini?” Akhirnya Adele buka suara.

“Hmmm… Ceritanya panjaaang banget… Kejadiannya udah berjalan sekitar 20 tahun. Kalau mau diceritain, bisa berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan,”

“Yaudah kalau kamu gak mau cerita,” Adele memalingkan mukanya ke luar jendela.

“Eits, mau… mau… Tapi, kamu dulu aja deh. Kamu apa kabar? Koq bisa ke Adelaide? Jangan-jangan kamu tinggal di sini sekarang?”

“Enggak. Aku jalan-jalan aja. Baru sampe tadi pagi. In fact, besok pagi aku udah berangkat lagi ke Melbourne”.

“Oh? Koq cepet banget? Lamaan aja di sini. Kan ada aku!”

“Najis lu”.

Andra malah tertawa lagi, “Adele, kamu udah gak dendam soal kejadian 20 tahun lebih yang lalu kan?”

Adele kesal bukan main mendengarnya. Sebenarnya dia sudah tidak pernah memikirkan Andra sama sekali. Tapi kalau diingatkan begini, hati Adele mendadak panas. Seperti ada luka batin yang terkorek lagi.

“Gak tau. Bodo amat. Aku udah gak pernah mikirin lagi,” jawab Adele ketus.

“Akhirnya aku nggak jadi sama Stefani koq, if this could make you better”.

Hati Adele sedikit adem, tapi dia berusaha tidak menunjukkannya. Perlahan hati Adele merasa senang. Asyik juga bertemu seseorang yang sudah begitu lama tidak ditemui. Rasa kesepian Adele membuatnya gampang puas setiap kali bertemu lawan bicara.

“Gimana kabar kamu?” Tanya Andra lagi.

“Well, aku udah jadi tante-tante sekarang”.

“I can see that,” kata Andra sambil terkekeh. “Tapi tetep cantik koq.”

Adele mengabaikan gombalan Andra barusan, “Aku punya 1 anak cowok, namanya Justin. Umurnya 18 tahun.”

“Oh! Suami?”

“Udah pisah 8 tahun yang lalu.”

“Oh. Sorry,” kata Andra meski tidak ada ekspresi penyesalan di wajahnya.

“Gak apa-apa. Itu kesepakatan bersama dan untuk kebaikan bersama.”

“Trus sekarang? Pacar? TTM? Gebetan?” Tanpa sadar, Andra mencecar Adele.

“Andra, plis lah. Emangnya aku anak 17 tahun masih punya gebetan atau TTM?”

“Ya kan aku mau mastiin aja,” Andra terkekeh lagi. “Trus, kenapa bisa ke Adelaide?”

“Tiket pesawatnya lebih murah ke sini dulu. Sebenernya tujuanku Melbourne. Iseng aja jalan-jalan sendiri. Bosen di rumah sendirian, anak udah kuliah”.

Andra bergumam, “hmm”.

Kini Adele tidak kalah penasarannya mengenai apa yang terjadi pada Andra, “Kalo kamu? Kenapa gak jadi sama Stefani? Sekarang ada istri? Anak? Pacar? Gebetan?”

“Gak ada. Just me and my guitar,” kata Andra sambil menepuk boks gitar yang berdiri di sampingnya. “Aku gak sempet nikah sama Stefani. I ended it all.”

“’I’ ended it all? Bukan ‘we’ ended it all atau ‘she’ ended it all?” Adele bertanya setengah tidak percaya.

“Iya. Jadi ceritanya waktu tahun 2016 papaku tiba-tiba meninggal. Mamaku shock berat dan sakit parah. 2017 mamaku meninggal. Akunya yang jadi shock berat.”

“So sorry to hear that,” kata Adele.

“Gapapa. Papa mamaku ninggalin aku rumah yang waktu itu aku tinggalin, 1 apartemen, 2 mobil, dan uang asuransi yang jumlahnya gede. Semua jatoh ke aku. Ternyata ada untungnya juga jadi anak tunggal,” Andra tersenyum lagi.

“Aku tinggal di rumah itu sendirian, kesepian. Stefani setiap hari dateng ke rumah buat menghibur aku. Lama-kelamaan, dia jadi tinggal bareng aku,” kata Andra datar.

“Weleh, zaman itu emangnya udah umum tinggal bareng gitu?” Tanya Adele.

“Ya enggak. Tapi orang tuanya Stefani tau koq. Mereka yang nyuruh malah.”

“Hah? Koq bisa?”

“Iya, Stefani udah kebelet nikah sama aku. Orang tuanya juga udah kebelet liat anaknya nikah, makanya diizinin tinggal bareng. Mungkin sengaja juga biar aku hamilin trus nikah gitu. Tapi, aku emang belom kepengen nikah trus risih didesak-desak terus, jadi lama-lama aku bete juga.

Udah gitu, setelah beberapa bulan, aku ngerasa ‘koq gak enak ya hidup ditempelin orang terus’. Aku semakin gak bisa bayangin menikah, apalagi sama Stefani, yang kalo ketemu aja bawaannya udah bete terus. Jadi, aku makin menutup diri dari dia, dan karena aku menjauh, dia semakin menggebu-gebu cari perhatian aku.”

“Klise banget. Trus?” Celetuk Adele.

“Kebetulan waktu itu band aku sama Ruben dkk juga memutuskan untuk bubar. Lagi-lagi karena mereka masing-masing pilih berkeluarga dan istri-istri mereka agak keberatan kalo suami-suaminya ngeband. Aku pikir, aku jadi udah nothing to lose. Ortu udah nggak ada, band udah bubar, pacar udah malesin. Jadi aku ambil keputusan yang sangat besar yang sama sekali gak aku sesalin sampe sekarang.”

“Apa itu?” Adele semakin penasaran.

“Aku jual semua properti warisan orang tuaku, termasuk rumah yang aku tinggalin. Trus aku bayar orang buat ngurusin aset-asetku, sampe hari ini. Pokoknya entah gimana caranya duit aku diolah sama dia sampe gak abis-abis sampe hari ini,” kata Andra kalem.

“Wuih, hebat amat.”

“Suatu hari, aku suruh Stefani untuk ngepak barang-barangnya dan pergi. Tentu saja, dia gak mau pergi. Aku bilang kalo rumah itu udah dijual dan kita harus pergi dari rumah itu dalam waktu seminggu. Dia tetep keukeuh gak mau pergi, ya terpaksa aku bilang, ‘kalo kamu gak mau pergi, ya beli rumah ini, kalahin angka penawaran si pembeli yang sekarang, pokoknya aku tetap cabut dari rumah ini’.”

“Hahaha… Brengsek banget kamu, Ndra.”

“Yaudah, akhirnya rumah itu dikosongin, trus aku urus-urus visa dan beli tiket one way ke Roma. Dan di situlah semuanya dimulai.”

“Roma?”

“Iya, Roma. Gak tau kenapa, random aja. Trus aku pindah-pindah negara. Kalo udah bosen di satu negara atau kota, aku pindah. Pertama-tama aku di Eropa dulu. Trus balik lagi ke Indonesia, keliling Indonesia. Trus keliling Asia, Amerika, dan begitu terus sampe akhirnya aku keliling Australia.”

“Asik banget hidup kamu,” kata Adele kagum. Adele jadi teringat, inilah yang dia kagumi dari Andra sejak dulu. Spontanitas dan keberaniannya.

“Ya, lumayan. Sampe di satu kota, kalo keadaan memungkinkan, aku ngamen aja. Lumayan dapet recehan buat beli sandwich. Sambil jalan aku suka nulis lagu. Setelah 6-7 tahun, jadi deh satu album. Tapi bukan album ‘Adelatte’ yang kamu liat tadi. Itu tadi album kedua aku, rilisnya 3 tahun lalu.”

“Hehe… Keren,” Adele yang jutek sudah berganti Adele groupie-nya Andra.

“I’m sorry to interrupt, but we’re closing in 10 minutes,” kata seorang pelayan bercelemek hijau. Adele melirik arlojinya, ternyata sudah hampir pukul 8 malam di Adelaide. Andra memberi kode pada pelayan itu bahwa mereka akan segera meninggalkan kafe tersebut.

“Jadi, mau lanjut di apartemenku atau di hotel kamu?” Tanya Andra.

“What? No. Udahan aja. Besok aku mau bangun pagi, nyetir ke Melbourne,” kata Adele sigap. Adele tahu Andra tidak akan menyetujui hal ini, dan Adele pun sebenarnya belum mau mengakhiri reuni bersama mantan ini.

“Dih. Aku belom selesai ceritanya, tau! Emangnya kamu gak mau denger?”

“Ya, mau sih…” keingintahuan Adele mengalahkan gengsinya.

“Your place or my place?” Tanya Andra lagi.

“Yaudah, hotelku aja…” Jawab Adele semangat.

Lho, koq semangat? Entahlah…

(bersambung ke: Part 3)

Part 1 - 2038



“Selamat ulang tahun ke-50, Ma,” kata Justin pada Adele sambil menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus kertas kado berwarna emas.
“Makasih, Nak. Apa ini isinya?” Tanya Adele pada Justin sambil mengguncang-guncangkan kotak itu.
“Buka aja, pasti Mama suka”.
Mendapat lampu hijau dari anak semata wayangnya, Adele menyobek kertas kado itu dan tertawa girang melihat isinya.
“Awww, iPhone 18? Koq kamu beliin Mama ini? iPhone 16s Mama kan masih bagus,” kata Adele sedikit merajuk, padahal hatinya senang minta ampun.
“Masih bagus apanya? Itu udah lama banget Mama pake, lagipula Mama ‘kan udah mau pergi jalan-jalan, nanti foto-foto yang bagus trus kirimin ke aku, ya?”
“Iya, pasti. Nanti Mama upload di Instagram juga, pake hashtag #ShotOniPhone18,” kata Adele sambil mengeluarkan ponsel barunya dari boks.
“Ih, Mama, kuno banget pake Instagram. Sekarang udah tahun 2038, masih aja pake Instagram,” kata Justin.
“Iya, iya… Mama emang gak ngerti pake sosmed kekinian. Pokoknya, makasih yaaa, anak Mama paling ganteng,” kata Adele sambil memeluk Justin.
“Anytime, Ma.”

=====

Adele melambaikan tangan pada Justin yang sekarang sudah ada di balik kaca bandara Soekarno Hatta terminal 6. Adele akan menikmati hadiah ulang tahun yang dia belikan untuk dirinya sendiri: jalan-jalan ke Australia selama 2 minggu penuh, sesuatu yang sudah ingin dia lakukan sejak bertahun-tahun lalu tapi baru terwujud sekarang. Perjalanan impiannya ini baru bisa terwujud karena bertepatan dengan Justin yang baru masuk kuliah, dan momen ulang tahun ke-50 sebagai momen yang tepat untuk melakukan the journey of a lifetime, lagi. Ini juga sebagai reward bagi dirinya sendiri yang telah berhasil merawat dan mendidik Justin sendirian selama 8 tahun terakhir ini.
Sudah 23 tahun Adele tidak ke Australia. Meski demikian, lukisan Stasiun Flinders masihlah hal pertama yang dia lihat pertama kali setiap pagi dan hal terakhir yang dia lihat setiap malam, karena dia memajang lukisan Flinders buah tangannya sendiri tepat di seberang tempat tidurnya.
Adele akan terbang ke Adelaide, menginap semalam di sana, lalu mengemudi ke Melbourne. Sesampainya di Melbourne, dia tidak punya rencana khusus. Mungkin melukis dan minum kopi seperti waktu dia muda dulu. Kali ini mungkin sesekali ke kasino, seperti tante-tante kesepian lainnya yang ingin menghabiskan waktu.

=====

Meski orang tuanya menamainya Adelaide, Adele tidak suka-suka amat pada kota ini. Dia mampir ke kota ini karena tiket pesawatnya lebih murah, sekaligus untuk mengingat kedua mendiang orangtuanya. Orang tuanya suka sekali pada kota ini. Sekarang mereka telah menjadi peri-peri yang bisa terbang ke mana pun, dan Adele yakin, mereka telah menjelma jadi cupid yang memanah insan-insan Adelaide untuk jatuh cinta pada satu sama lain seperti mereka.
 
Adelaide di bulan Juni begitu menggigit, suhunya mendekati titik beku. Adele terlalu meremehkannya, dan terlalu percaya diri bahwa raganya yang sudah berusia 50 tahun ini akan masih kuat dihantam angin beku Australia.
Adele membeli seikat bunga mawar putih dan dua buah lilin kecil di mini market sebelah hotelnya dan berjalan menuju Victoria Square. Saat itu baru pukul 5 sore tapi langit sudah berangsur gelap. Ia ingin “berziarah” ke tempat kenangan kedua orang tuanya, lalu segera kembali ke hotel dan beristirahat, mempersiapkan diri untuk perjalanan jauh besok.
Victoria Square sudah lebih ramai dari 30 tahun yang lalu. Ada orang yang menjual kopi, lukisan, pengamen, dan beberapa keluarga yang sedang main kejar-kejaran dengan anjing mereka. Adele menghampiri patung Queen Victoria yang setia berdiri di sana, menaruh bunga di kakinya, menyalakan lilin dan berdoa. “Papi, Mami, Adele lagi ada di Adelaide sekarang. Maaf dulu Papi Mami pergi saat Adele lagi terpuruk, tapi Adele sama Justin bahagia sekarang,” kata Adele dalam hati sambil mengatupkan tangannya.
Setelah puas mengenang kedua orang tuanya, Adele berjalan mengitari alun-alun itu sebelum kembali ke hotel. Dia menghirup udara Adelaide dalam-dalam sampai paru-parunya penuh. Kalau boleh, dia tidak mau menghembuskannya lagi karena udaranya begitu segar.
Langkah Adele terhenti di sisi kanan patung Queen Victoria, di tengah 4-5 orang yang mengelilingi seorang seniman jalanan yang sedang menggenjreng gitar. Adele melihat ke lantai di depan pengamen itu. Di depan boks gitarnya yang sudah terisi beberapa uang kertas dan koin, terpajang beberapa buah CD yang covernya berwarna biru muda. Adele mengambil CD itu dan mengamati covernya. Di covernya terdapat ilustrasi seorang perempuan di sebuah kafe sambil memegang gelas. Di pojok kanan cover itu terdapat tulisan seperti tulisan tangan sambung yang berbunyi “Adelatte”. 
Adele mengangkat kepalanya, melihat sosok lelaki di depannya. Lelaki itu juga memandang Adele, kemudian menghentikan genjrengannya. Dia terdiam selama dua detik, melepaskan gitar yang disampirkan di bahunya, dan berkata...

“Akhirnya kamu dateng juga, Adele”.

(bersambung ke Part 2 - Entahlah

Thursday, July 2, 2015

Tinder: Just for Fun


Beberapa hari yang lalu di Tinder gue ngeliat seseorang yang pasang bio kayak gini:

I’m willing to lie about how we met.

Kalimat itu terselip di antara kata-kata manis lainnya. Dan tanpa pikir panjang, gue langsung swipe layar HP gue ke kiri, pertanda gue nggak minat sama dia, padahal orangnya tampangnya cukup ganteng.

Gue nggak malu bilang ke orang kalo gue mainan Tinder. Gue sendiri mantap mulai main ini karena dua sahabat gue yang dua-duanya cowok (dan setau gue mereka cowok baik-baik), juga pake dan kelihatannya cukup decent. Jadilah gue download apps ini ketika lagi jalan bareng mereka berdua, dan ujung-ujungnya malah jadi ngadu siapa yang dapet match paling banyak (and of course I won). :D

Gue bahkan merekomendasikan apps ini ke teman-teman cewek gue yang masih single dan memberi mereka tutorial gimana cara pakenya. Dan bahkan lagi, gue kasih tips ke mereka bagaimana bermain Tinder yang aman dan nyaman versi gue. The ultimate rule is, kalo ketemu yang profile picnya celana doang dengan titit nyembul, swipe left aja, udah jelas apa motivasinya, kecuali motivasi elu itu juga.

Suatu saat ketika gue menemani teman cewek gue yang baru patah hati hebat dan segala wejangan dan hiburan nggak mempan di dia, gue suruh dia main Tinder sebagai pelipur lara. Dia pun melakukannya dan sepertinya cukup berdampak positif sama dia. Sampai suatu hari, dia panik whatsapp gue, katanya, “Duh gue ketemu mantan gue di Tinder, gimana sih cara sign out dari apps ini? Duh dia liat gue gak ya? Mati gue kalo dia sampe ngeliat.” Dalem ati gue mikir sih, “Kalo dia sendiri mainan Tinder dan dia ngejudge lo desperate ato apa karena mainan Tinder juga, then bersyukurlah elu udah putus sama dia”. Tapi orang yang lagi rapuh abis putus cinta (dan masih ngarep balikan sama mantannya) kan gak boleh digituin. Ujung-ujungnya gue ajarin gimana cara sign out-nya dan berharap dia dapet ketenangan batin setelah menguninstall itu.

Sama kayak cowok di atas yang nulis tentang bersedia boong tentang bagaimana dia ketemu match-nya. Pertanyaan gue, kenapa harus boong ya? If you need to lie about it, then don’t do it at all lah. Emangnya Tinder narkoba? “Wah, gandengan baru nih, Bro? Kenal di mana?” / “Errr… Dari gereja…” / “Oh jadi lo ke gereja buat nyari cewe? Nice”. Ya kalo orang mau judgmental ya judgmental aja. Gue malah akan lebih nilai elu buruk kalo elu boong, alih-alih mainan Tinder. Seolah pas lagi ditangkep polisi, “Dek, kamu melanggar karena nerobos lampu merah” / “ENGGAK PAK! SAYA NGGAK NEROBOS LAMPU MERAH! SAYA ABIS NABRAK ORANG SAMPE BERDARAH-DARAH TRUS KABUR”.

Di zaman sekarang, sepertinya selalu harus ada penjelasan untuk segala sesuatu, dan kita ngerasa “harus” untuk jelasin, padahal sebenernya nggak. Gue sering terjebak di situasi kayak begini, ditanya dalam keadaan gak siap tapi ngerasa “harus” jawab, jadi gue jawabnya agak ngaco dan kadang gak merepresentasikan jawaban gue yang sebenarnya dan gue berjam-jam kemudian gue ngebatin, “Lah napa gue nggak jawab gini ya, tadi?”. Nah gue udah siapin jawaban kalo ada yang nanya FAQ ini ke gue, “Ngapain sih elu main Tinder?” Gue akan jawab, “Just for fun”. Jadi ketika Tinder udah nggak fun lagi, ya akan gue tinggalkan. Gak pernah sekalipun gue ngerasa risau karena apa yang terjadi di dalam Tinder ataupun di luar Tinder. For me, Tinder is harmless, nothing to lose.

Tinder is fun and FUNNY. Seriously. Gue sering banget pengen screenshot ngetwit tentang hal-hal lucu yang terjadi di Tinder tapi gue nggak tega karena itu privacy orang dan mungkin ada orang yang ketakutan banget kalo ketauan dia mainan Tinder. Kadang ada yang namanya lucu lah, fotonya ancur lah, sampe orang yang kita nggak sangka-sangka kita temui di sana. Ujung-ujungnya, hal ini cuma beredar di diskusi offline dan grup Whatsapp.

Sayangnya, banyak orang yang anggep Tinder terlalu serius, ato kalo istilah anak sekarang: baper. Tapi sebagai orang yang baper-an juga (di luar Tinder, tentunya), gue ngeladenin orang baper ini seperlunya biar dia nggak jadi gila sendiri. Baru aja kemaren kejadian. Kejadian yang lucu banget yang bahkan nggak gue twit, tapi tulis di blog sekalian.

Jadi gue sempet bales chat dia intens, lalu gue sibuk, trus dia chat lagi, “Kenapa sih elu gak bales chat gue lagi? Elu lagi mood swing ya?” Nah karena lagi ga sempet bales saat itu (dan gue buka Tinder ga tentu, bisa 3-4 hari sekali, bisa berminggu-minggu sekali, bisa juga setiap hari buka), ya gue diemin aja itu chat. It’s super normal. Gue sendiri juga ada chatnya yang ga dibales sama cowo. Dan biasanya, it ends there. Ga pernah ada chat yang udah dianggurin lama banget trus dipanggil lagi.

Kecuali cowo ini. Ketika dipanggil lagi, gue bales. Dan gue “dituntut” sesuatu, padahal dia nggak berhak nuntut, kecuali ada terselip di Terms and Condition Tinder yang gak gue baca dan main langsung gue accept aja. Gue berhak gak jawab juga sih, tapi solidaritas sesama baper membuat gue menjawab “monggo” ketika dia bertanya, “Cin, gue mau nanya tapi elu jawab jujur ya. OK?”

Jeng jeng. Apa ini? Koq belum apa-apa udah dituntut harus jawab dan harus jujur?

Dan dia pun bertanya, “Kenapa sih dulu lo gak bales chat gue lagi?”

Gue speechless. Ini dua minggu lebih setelah gue antepin message dia.

Dan kalo jujur ada tingkatannya, gue jawab pake jujur tingkat dua, yaitu, “Soalnya gue lagi sibuk”. Which is true. Tapi kalo mau jujur tingkat satu, jawaban gue adalah, “Gak kenapa-kenapa… Gue cuma lagi nggak pengen aja chatting sama lo. Kalo gue mau, sesibuk apa pun pasti gue jabanin. Dan ini Tinder gitu, tolong jangan baper-baper amat”. Tapi kan gimana gitu ya kalo kita udah worry gimana banget sampe dua minggu kemudian masih ditanyain dan jawabannya ternyata “gak kenapa-kenapa”, nanti bisa-bisa gue malah disangka boong, sama seperti orang judgmental, orang mau suudzon mah suudzon aja.

Dan sampai sekarang dia nggak bales lagi. Mungkin emang dia hanya ingin tahu jawaban yang telah menghantui dia selama dua minggu lebih. Entah jawaban apa yang dia harapkan dari gue sih, yang jelas semoga dia puas sama jawaban gue dan nggak penasaran lagi. Buat yang begini, gue saranin sih uninstall aja Tinder lo biar hidup lo lebih damai, trus pesen Gojek ke Ragunan karena sepertinya kamu butuh piknik.