Adele selalu suka seprai dan selimut hotel
mewah: lembut, wangi dan bersih. Membuatnya tidak ingin meninggalkan kenyamanannya
di pagi hari. Tapi hari ini, dia harus tega meninggalkan ini semua untuk berangkat
ke satu kota yang sangat dia dambakan: Melbourne.
Adele menyingkap selimutnya, turun dari
ranjang berukuran king dan berjalan cepat ke kamar mandi. Belum sampai ke ujung
satunya lagi dari tempat tidur, Adele mendengar suara selimut ditarik. Ditarik
oleh seseorang yang bertelanjang dada dan muka bersimbah iler.
Adele berhasil menahan pekikannya, dan
memeriksa pakaian yang melekat di tubuhnya. Tidak ada tanda-tanda telah terjadi
sesuatu semalam, dan Adele jadi lega. Adele berpikir, Andra pasti belum puas
bernostalgia bersamanya, sehingga dia memilih untuk tinggal alih-alih pulang
dan menghilang lagi. Lantas, apa yang Adele inginkan sekarang? Apakah dia ingin
tetap membiarkan Andra melanjutkan ceritanya, atau diam-diam meninggalkan Andra
lagi?
Fakta bahwa Adele memikirkan hal ini
alih-alih langsung mengusir Andra seharusnya sudah cukup menjawab pertanyaan di
dalam hatinya. Kalau Adele melempar koin sekarang, dengan sisi atas sebagai “ya”
dan sisi bawah untuk “tidak”, Adele tahu dia ingin koinnya mendarat di mana.
Ya, Adele tahu jelas apa yang dia inginkan.
Hanya saja dia tidak yakin apakah hal itu benar atau pantas dilakukan.
“Lakuin aja apa yang kamu mau”. Kalimat itu
muncul lagi di benak Adele. Kalimat yang muncul dari bibir Andra 23 tahun yang
lalu ketika Adele bimbang apakah dia harus memecat barista andalannya di
Flinders.
Dan sejak itu, kalimat itu selalu menjadi
pedoman Adele dan Andra dalam melakukan segala sesuatu, termasuk hal-hal bodoh
yang membawa dampak buruk, dan kadang sesal pada akhirnya.
Andra,
kamu ini obat atau racun sih?
Dan ketika Adele sedang bimbang tidak
keruan seperti ini, biasanya dia membiarkan semesta yang ambil alih untuk
dirinya.
===
20 menit kemudian, Adele keluar dari kamar
mandi dengan pakaian musim dingin yang lengkap. Ternyata Andra sudah bangun.
Dia duduk bersandar di tempat tidur sambil memeluk bantal. “Oh, morning, Adele”.
Adele mendadak salah tingkah, “Mmm… Morning”.
“Tidurnya enak?” Tanya Andra.
“Err… Lumayan. Kamu?”
“Kayaknya ini tidur terbaik setelah
bertahun-tahun deh,” kata Andra sambil memeluk bantalnya lebih erat. “Rupanya
ini rasanya punya istri”.
“Hah? Gimana?” Adele makin canggung.
“Ya bangun pagi-pagi gak sendirian, ada
temennya.”
“Halah, kayak ini baru pertama kali bangun
sama perempuan aja,” Adele mencemooh.
“Ya memang bukan, tapi kayaknya ini pertama
kali bangun tidur sama perempuan tapi semalemnya gak terjadi apa-apa”.
“Gak terjadi apa-apa?”
“Iya. Emang kamu maunya terjadi sesuatu?”
Andra menggoda Adele.
Adele canggung lagi, dan seperti biasa, dia
menutupi kecanggungannya dengan kejutekannya, “Enggak!”
“Hmm… Kalo emang kamu maunya terjadi
sesuatu, sebenernya emang terjadi sesuatu sih.”
“Apaan?”
“Kita ngobrol sampe kamu ketiduran.”
“Ya trus?”
“Ya asik aja. Kalo bisa, aku pengen gitu
setiap hari sama kamu.”
Aku
juga.
Tapi, gengsi Adele masih saja belum runtuh.
“Koq kamu nginep sini sih? Bukannya pulang aja kemarin…”
“Pulang?” Andra melengos. “Adele, you’re my
home.”
Dua batu besar yang membebani hati Adele
beradu dan menimbulkan percikan api. Sekarang pilihannya: siram bensin, atau
siram air?
“Sadar gak sih yang kamu bilang barusan itu
besar banget dan sulit dipercaya?” Adele berusaha membuat logikanya mengalahkan
hatinya yang sudah mulai membara.
“Ya makanya, kamu baru denger cerita aku
sepotong-sepotong sih. Dengerin dulu dong sampe selesai biar kamu tau kenapa
aku bisa sampe ngomong gitu.”
Andra. Paling bisa bikin orang penasaran.
“Jadi itu bukan asal ngomong gombal?”
“Adele, aku yakin kamu sepakat kalau kita
udah terlalu tua untuk gombal.” Andra mendadak serius. “Aku pikir aku juga udah
terlalu tua untuk percaya bahwa akan ada keajaiban kalau aku akan ketemu kamu
lagi. Tapi ternyata aku salah. Dan kali ini aku gak akan lepasin kamu.”
“Too bad. Mobil aku udah nungguin di bawah.
Aku udah harus pergi,” kata Adele sembari mengepak kopernya.
“Aku ikut,” Andra turun dari tempat tidur
dan mengambil pakaiannya di lantai lalu bergegas ke kamar mandi.
“What? Ke Melbourne?”
“Ke mana pun kamu pergi.”
“Andra! Stop!” Adele tidak mau gegabah kali
ini. “Are you sure? Kamu yakin kita mau… memulai cerita baru lagi?”
Andra menghampiri Adele, menatapnya
dalam-dalam, “Adele, coba kamu pikir. What are the chances kita bisa ketemu
lagi, di tempat yang jauh, di umur segini, dengan keadaan kita sama-sama
single? Gak mungkin ini cuma kebetulan.”
“I know, tapi…”
Andra membungkam mulut Adele, bukan dengan
mendaratkan ciuman di bibirnya, melainkan di dahinya. Kemudian Andra
mengukuhkannya lagi dengan memeluk Adele erat.
“Lakuin aja apa yang kita mau,” kata Andra
lembut di telinga Adele. “Aku bisa rasain kalau kamu juga mau. Kamu gak bisa
sangkal ini.”
Dan hanya dengan begitulah, Adele
teryakinkan. “Pack your bags, Andra. You’re taking me to Melbourne today.”
(bersambung)