Bene Dion.
Pertama gw
liat Bene stand-up itu di Salihara, tepatnya di acara “7 Hari untuk Rakyat”, di
mana ada penampilan 7 stand-up comedian. Namanya “Bene Dion Rajagukguk” itu
menarik perhatian gw banget. Bene, yang gw assume diambil dari nama Benedictus,
berarti “yang terberkati”, sama seperti nama Bapa Paus yang sebelum ini, Benedictus
ke-XVI. Sedangkan Dion mengingatkan gw pada seorang mantan murid gw yang paling
ganteng, baik dan pinter. Dan Rajagukguk mengingatkan gw pada seorang Ibu Batak
yang baik hati dan lucu yang gw kenal, ber-boru Rajagukguk.
Salah satu show stand-up terbaik yang pernah gw tonton |
23 Oktober
2014, begitu gw tahu bukunya udah keluar di Gramedia deket rumah, gw langsung
beli. Dalam waktu sebulan ini, gw baca 2 buku lain yang ditulis sama comic juga
dan dua-duanya gak sreg banget di hati gw. Nah, buku Bene ini sebenernya
cover-nya yang paling nggak banget dibanding dua buku itu, tapi isinya, jauh
lebih bagus dari ekspektasi gw (yang udah keburu ancur).
Gw gak
bermaksud ngejelekin 2 comic lain itu, tapi gw berharap stand-up comedy itu
tetap jadi sebuah kesenian yang berkualitas dan berbobot, bukan ocehan para
alay yang ngerasa dunia kiamat kalau gak punya pacar. Mau harga sembako naik
kek, ada anak kelaparan dan miskin kek, bodo amat yang penting gua punya pacar.
Gw gak mau ada pengkotak-kotakan di stand-up, di mana ada comic alay dan comic
keren. Maunya semuanya keren.
Comic/penulis
yang pertama, sebenarnya ceritanya bagus-bagus aja, cuma kayaknya dia nulisnya
masih belum mahir. Banyak banget yang cuma HAHAHA HAHAHA HAHAHA ga jelas sampe
akhir zaman. Kalau dia nulis buku lagi, gw mungkin masih kasih kesempatan
kedua. Tapi tidak untuk si comic/penulis kedua ini. Yang ini, gw sampe rada kesel
bacanya. Terlalu alay buat gw. Menurut gw, dia sebagai public figure yang punya
banyak followers alay remaja, dia harusnya ngasih teladan yang baik.
Yah, kalau emang ga punya prestasi atau cerita yang pantas untuk dibagikan,
setidaknya gak usah lah cerita bagaimana dia pacaran waktu remaja (ya hak dia
sih, cuma ada gitu manfaatnya?), cabut dari sekolah, dan lain-lain seolah-olah
itu hal yang keren. Gw yakin koq si dia punya prestasi yang bisa dibanggakan
(jadi juara). Kalau cuma modal followers banyak aja, mending gak usah nulis
buku sekalian. Sayang-sayang kertas dan pohon. Akhirnya, gw yang mengkoleksi
buku dan happy kalau liat lemari buku gw penuh sama buku, ngasih buku itu ke
temen dengan pesan “ini buat lu, gak usah dibalikin lagi, gw udah baca (dan gw
gak suka)”.
Koleksi karya-karyanya stand-up comedian. Masih dikit, tapi dari sini mestinya kebaca gw suka yang model gimana. |
Oke. Back to
Bene and his book, “Ngeri-ngeri Sedap”.
Benang merah
dari buku ini adalah “Batak”. Gw punya beberapa teman Batak dan mereka semua
istimewa, pasti menonjol dibanding yang lain. Bene ini interesting karena dia “Batak
banget”, as in bener-bener masih lahir di Sumatera Utara, gak kayak temen-temen
gw yang lahirnya di Jakarta.
Cerita
dikit. Waktu gw kuliah di Beijing, gw pernah ikut aubade (paduan suara) yang
nyanyi lagu-lagu daerah, salah satunya medley lagu-lagu Batak: Tilo-tilo dan
Sik-sik Sibatumanikam yang liriknya susah banget. Sebelum kami latihan, kami
dikasih tahu apa artinya lagu-lagu itu dari Ibu Tambunan (yang boru Rajagukguk
itu). Kami perform lagu itu di upacara 17 Agustus di KBRI Beijing di hadapan
Dubes RI. Beliau berkesan sekali dan kemudian mengundang kami untuk perform di
resepsi diplomatik HUT RI di Beijing, di mana kami nyanyi lagu ini di hadapan
pada diplomat dari seluruh dunia yang sedang bertugas di Beijing. Bangganya
minta ampun.
Cover dan judul buku yang alay, namun sangat menjual |
Bene ini
nulis bagaimana asal-usul marga orang Batak, lalu dijelasin pula soal yang
namanya “marpadan”, bikin gw tahu kalau orang Batak itu gak mungkin cinta pada
pandangan pertama, yang mungkin adalah “cinta abis nanya marga”. Ternyata,
selain nikah dengan yang marganya sama itu dilarang, nikah sama yang “marpadan”
juga a big no-no.
Melalui buku
itu, gw juga jadi tahu bagaimana kondisi di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara
saat itu yang begitu mencekam sampai satu keluarga harus jual semua yang mereka
punya dan pindah kota.
Gw sedih
membaca bagaimana seorang anak SD yang dihajar bapaknya karena menolak untuk
berjualan es lilin di SMP dekat rumahnya. Gw ngerti rasa malunya anak itu, tapi
gw ngebayangin, pasti Si Bapak juga gak berdaya dan stress, makanya si anak
jadi korban. Si Ibu yang terjepit di tengah-tengah (tapi juga pasti stress dan
gak berdaya) harus bijaksana dan menjadi pendamai antara dua pihak yang sedang
berseteru ini.
Gw bahagia
membaca bagaimana Bene masuk UGM, dapet beasiswa bergengsi, masuk SUCI, lulus
cumlaude, dan ngebiayain orang tuanya ke Jogja (keren pula, ada deg-degannya
karena Kelud meletus). Tapi yang bikin gw senyum lebar banget adalah bagaimana
kedua orang tua Bene enjoy banget ngeliat openmic di Jogja, yang gw terjemahkan
sebagai “Bapak dan Mamak bangga sama Bene dan merestui karier Bene sebagai
komik”.
Inilah.
INILAH. Pinter akademis dan bertanggungjawab. Gw masih gak sreg sama yang
diomongin di buku ini halaman 101-103. You know, kesannya keren gitu kalo
kuliah gak lulus-lulus. Kesannya badass, rebel, ngelawan sistem, tapi
sebenernya kurang bertanggungjawab aja, gak mau (atau gak mampu) selesaiin apa
yang udah dimulai. Mereka memperdaya orang dengan kata-kata “Ah buat apa
cepet-cepet lulus demi ijazah selembar doang”, “Ah pendidikan di Indonesia
sampah,” “Pendidikan yang penting itu di masyarakat, bukan di kampus.” Poin
terakhir ini bener juga sih, lah kalau emang ngerasa begitu, ya gak usah kuliah
aja dari awal. Lulus SMA langsung aja terjun ke masyarakat. I mean, kuliah itu
kan gak belajar ilmu doang, tapi juga membentuk manusia jadi seseorang yang
bertanggungjawab, mempersiapkan diri dari masa remaja menuju kedewasaan. Yang
nyinyir akan mengatakan “ya elu enak, punya duit kuliah, di luar negeri lagi”.
Kalau sampai ada yang mikir begitu, then you don’t get my point.
Koq gw
ngerasa lebih keren kalau bisa berkarya (jadi stand-up comedian, jadi penulis,
apa pun), tapi pada saat yang sama, yang utama tetap tidak diabaikan? Jujur gw
prihatin banget liat kelakuan anak remaja zaman sekarang dengan media dan
orang-orang di dalamnya yang mengamplifikasikan. Mimin-mimin dan para
influencer di twitter, anak presiden, tuhannya para alay dengan followers 8
juta orang itu (salah satunya gw) seolah mendoktrin para remaja kalau jomblo
itu kiamat. Harus banget ngebedain yang namanya “malam minggu” dan “sabtu malam”?
Ya gw tau itu semua untuk lucu-lucuan, tapi kayaknya udah kebanyakan jadi gak
lucu lagi, dan efeknya sepertinya udah jadi lebih gede daripada cuma buat bahan
becandaan aja. Yang nyinyir akan ngomong lagi, “Elu pasti jomblo, makanya
gampang tersinggung.” Jawaban gw: emang gw gak punya pacar, trus kenapa? Kalau
ada yang becanda soal jomblo gitu-gitu, kadang gw ketawa juga koq. Tapi dalam
hati gw mikir, manfaatnya apa?
Kenapa sih
gak lebih banyak orang kayak Bene? Meski dia datang dari keluarga yang
(sepertinya) menengah ke bawah, dari tempat terpencil di ujung Sumatera sana,
tapi tetap bisa berprestasi secara akademis, membuat tenang hati orang tua
sekaligus membanggakan mereka, dan bisa berkarya juga lewat stand-up? Inilah
kenapa gw seneng baca kisah-kisah Bene, yang bermakna. Mungkin Bene sendiri gak
ngerasa, tapi dia menyertakan nilai dan pesan mengenai tanggung jawab dan berbakti
pada orang tua dalam bukunya.
Berkarya
terus ya, Bene! Habis ini aku mau cari-cari video stand-up kau. Kalau kau bikin
special show, aku pasti nonton kau! Salam buat Mamak ya!
24.10.2014
CK