Ketika aku
tahu kalau aku jadi pemenang kompetisi nulis #BersamaGaruda yang hadiahnya bisa
ikut @pandji ke salah satu destinasi Mesakke Bangsaku World Tour-nya, aku
berharap bisa ikut ke Amsterdam, Berlin, London, atau Los Angeles, pokoknya
yang terjauh. Tapi, ketika dikasih tahu kalau aku ikut ke Melbourne dan
Adelaide, sedikit pun aku gak kecewa, malah super excited. Salah satunya karena
aku bisa ke dua kota sekaligus, di salah satu trip terpanjang mereka.
Sebelum
berangkat, aku deg-degan. Aku menyangka kalau aku pasti starstruck banget sama
Pandji, sehingga aku ngerasa harus jaim setiap saat di depan idola selama
hampir seminggu penuh. Tapi, semua kekhawatiran buyar karena… semua yang ada di
tim #MBWT gokil-gokil dan rem aku juga jadi ikutan blong. Kami bertujuh ada
Pandji, Zaindra, Ben, Pio, Danis, Krisna dan aku. Masing-masing punya kelucuan
dan keunikan masing-masing, yang kalau digabung jadi pecah berkeping-keping. Setiap
orang punya tugas dan perannya sendiri, sehingga kalau kurang satu aja pasti
gak berjalan baik. A great team, indeed. :’) Dan ternyata, menurut aku yang
paling lucu di antara kesemuanya bukan Pandji, bukan Krisna juga, melainkan
DANIS! Hahaha…
#MBWT Melbourne-Adelaide: Krisna Harefa, Zaindra, Ben, Pandji Pragiwaksono, Danis, Pio, dan Cindy |
Kamis, 14
Agustus 2014. Perjalanan kami mulai di Soekarno-Hatta. Kami bertujuh dapat pelayanan
super istimewa dari Garuda Indonesia dengan premium check-in counter, dan boleh
nongkrong di premium lounge-nya. Di dalamnya ada sofa-sofa nyaman, makanan,
minuman, shower, toilet, free wifi, dan sebagainya. Ketika mau berangkat ke
Denpasar (untuk transit) pun, kami bertujuh didahulukan. Dari lounge, kami naik
mobil khusus dan masuk ke pesawat duluan sebelum penumpang lain. Jadilah kami
selfie-selfie dulu di dalam pesawat yang masih kosong.
Ciao Bella~ |
Kami transit
bentar di Denpasar, lalu langsung meluncur ke Melbourne. Di pesawat, aku
bingung antara mau langsung tidur atau nonton film dulu. Akhirnya milih tidur,
dan waktu bangun aku keburu ngejar satu film Argo yang adegannya bikin tambah
deg-degan mau ngelewatin imigrasi Australia nanti.
MELBOURNE
Jumat, 15
Agustus 2014. Sesampainya di Melbourne, kami dijemput oleh udara 10 derajat
celcius dan anak-anak PPIA serta Ibu Eka dari Garuda Indonesia. Selama di
Melbourne, kami bertujuh ditemani oleh anak-anak gaul Melbourne: Caca sebagai
guide dan Hansel sebagai driver (Hansel dipilih jadi driver oleh panitia karena
dia gak pernah nyasar, berkat selalu ninggalin jejak remah-remah kue di
belakangnya). Mereka asyik dan helpful banget deh, kayak gak ada capeknya gitu.
Di mana kami semua udah tepar gak karuan, mereka masih cheerful dan cekatan
membantu apa pun yang kami mau. Mau aktivasi SIM Card? Sini! Mau makan
gyutan-don? Besok ya! Mau kopi yang enak? Dianterin! Caca reminds me of myself,
5 years ago, di mana kerjaannya jadi mahasiswi lokal yang nganterin tamu ke
mana-mana dan selalu siap sedia kapan pun juga tanpa mengenal lelah. You rock,
Caca! And thank you for being my “other half” in Melbourne, alias orang yang
bisa diajak sharing makanan Melbourne yang porsinya segede tiranosaurus.
Caca, Hansel, Pio di apartemen kami di Melbourne |
First day, setelah
taro barang di penginapan, kami main-main, makan, dan ngopi di sekitar Swanston
Street di pusat kota Melbourne, karena venue acara dan tempat-tempat asyik
terpusat di sana. Aku colongan ke banyak tempat di sekitar situ. Ada Flinders
Station, Federation Square, ACMI (Australian Centre for the Moving Images), St.
Paul Cathedral (yang ternyata gereja Anglikan), Victoria State Library yang
mencengangkan, tempat shopping macam H&M (yang terbesar di dunia, dan
adanya di dalam bekas kantor pos), Target, dan lain-lain. Meski dingin,
berjalan di sekitar Swanston dan Bourke Street sangat menyenangkan. Jalanannya
berbentuk kotak-kotak dan very easy to navigate. Aku seneng banget liat ada
beberapa kios bunga di sepanjang jalan. Bunganya segar dan warnanya vivid
banget, memberikan torehan warna yang kontras di tengah kota yang dingin dan
sibuk.
Gak bisa nahan senyum kalau lihat ini :') |
St. Paul Cathedral |
Flinders Station |
Seperti yang
udah disebut tadi, porsi makanan di Melbourne (dan Australia pada umumnya) itu
gede-gede semua, sesuai dengan bitnya Pandji kalau orang Barat lebih terobsesi
sama ukuran alih-alih jumlah. Tapi yang patut di-highlight itu bukan banyak
sedikitnya, melainkan kualitasnya. Orang bilang segalanya di Australia mahal, bahkan
lebih mahal dari Amerika atau Eropa, tapi menurut aku, harganya sebanding
dengan kualitasnya (dan jumlahnya). Kualitas makanan/minuman baik yang masih
mentah atau sudah matang itu bagus semua. Mungkin didukung sama alam yang bagus
dan kesungguhan hati masyarakatnya. Bunganya luar biasa cantik, makanan
dipersiapkan dengan sepenuh hati (you can tell), buah-buahan punya bentuk,
rasa, dan aroma yang prima, bahkan air keran alias tap water (tep-woCHAH) aja
bisa diminum.
Orang yang bikin ini pasti berkarya, bukan hanya bekerja (@ Brunetti) |
Merah, kuning, hijau di Victoria Market |
#MBWT MELBOURNE
Sabtu, 16
Agustus 2014. Can’t think of a better venue than this. Letaknya persis di
tengah kota, tepat di seberang Victoria State Library. Kapasitasnya pas,
akustik dan pencahayaannya bagus. Lebih dari 600 orang Indonesia di Melbourne
datang dan terpingkal-pingkal nonton Pandji dan Krisna. Di momen perayaan
kemerdekaan RI, Pandji sukses bikin orang terharu dan terhibur pada saat yang
sama. Waktu aku merantau dulu, paling gak tahan denger lagu “Tanah Airku”,
pasti langsung mewek. Dan lagu ini jadi pemantik mood di awal acara. Hampir
seluruh bit Mesakke Bangsaku keluar, ditambah dengan satu bit baru yang berjudul
“Cebok”, spesial untuk World Tour. Kalau kata orang bit itu lahir dari
kegelisahan, aku tahu banget kalau bit ini sungguh lahir dari concern Pandji
yang mendalam mengenai semprotan toilet di luar negeri. :D
Kita habisi Melbourne malam ini! |
Pas bubaran,
aku ketemu dengan beberapa teman yang tinggal di Melbourne (inilah salah satu
alasan kenapa aku bersyukur bisa dapet ke Melbourne). Ada yang bilang “rahang
gue sakit”, “bekas jahitan bengkak”, ada yang ga bisa bilang apa-apa lagi
selain “keren, keren, dan keren”, dan ada juga yang gak bisa berhenti nyanyi
“Cabe-cabean” yang dipopulerkan oleh Krisna Harefa. HAHAHA. Serius deh, Kris,
gak ada yang tahu lagu ini sebelumnya.
Teman SMA yang sudah 8 tahun gak ketemu :') |
Setelah
Pandji dan Krisna selesai foto-foto, mereka yang belum makan malam (aku sih
udah colongan makan gyutan-don di sebelah venue) diajak oleh Caca dan Hansel ke
Oz Kebab di suburb. Katanya, food truck ini favoritnya mahasiswa Indonesia di
sana. Cowok-cowok yang lagi kelaparan pun terengah-engah ngabisin satu kebab.
Kalo aku, untung ada Caca. :’)
Kami kembali
ke apartemen sekitar pukul 1.30 subuh, dan harus buru-buru beberes dan packing
untuk ngejar penerbangan pukul 6 pagi ke Adelaide. Di tengah-tengah kericuhan
itu, kami ngakak sengakak-ngakaknya berkat kebaikan anak-anak Melbourne. Kalau
gak percaya, cek aja Vine-nya Pandji, ada Danis sama Ben yang guling-gulingan di
lantai sambil pelukan dan ngakak.
#MBWT ADELAIDE
Minggu, 17
Agustus 2014. Belum sempat tidur, kami sudah dijemput lagi untuk berangkat ke
Adelaide. Begitu sampai di tempat duduk pesawat, gak ada yang tahu proses taxi
atau penjelasan safety dari pramugarinya. Kami semua langsung ketiduran dan
baru bangun lagi ketika roda pesawat menghantam landasan bandara Adelaide. Kami
dijemput oleh Faruq dan Tito, perwakilan PPI setempat, serta Pak Bobby dan Ibu
Eka dari Garuda Indonesia yang berangkat dari Melbourne sehari sebelumnya.
Pemandangan pertama di Adelaide |
Saking
paginya, kami belum bisa check-in di hotel. Pandji dan Krisna perlu recharge
tenaga mereka dan dress-up untuk show mereka sore nanti. Faruq dan Tito pun
kebingungan, akhirnya kami didrop di rumah Pak Arief, seorang WNI yang udah
belasan tahun tinggal di Adelaide, untuk istirahat. Pandji, Krisna, dan aku
disambut dengan sangat baik (dan bingung) oleh Pak Arief, Bu Arief, dan anak
mereka.
Pas sudah
lebih segar, kami berangkat lagi ke venue. Ternyata para masyarakat Indonesia
di sana baru saja mengadakan upacara 17 Agustusan dan bazaar masakan Indonesia.
Kelihatan kalau mereka sangat mementingkan acara ini. Pakai batik mereka yang
tercantik, kerudung mereka yang tercantik, dan bawa perut yang kosong untuk makan
makanan Indonesia (pengalaman pribadi zaman kuliah, hehe).
Demografi
WNI di Adelaide dan Melbourne berbeda. Mahasiswa di Melbourne kebanyakan baru
berumur 17-23an yang baru lulus SMA dan kuliah di sana. Sedangkan di Adelaide
banyak mahasiswa S2 dan S3 serta orang-orang yang kerja di Adelaide. Maka dari
itu, mereka lebih berumur, banyak yang udah berkeluarga, dan jauh lebih kalem
dan gak heboh dibanding anak Melbourne. Ada juga seorang ibu yang sudah menetap
di Adelaide dan sudah 30 tahun gak pulang Indonesia.
Yang paling
berkesan adalah opener MBWT Adelaide, yaitu Mas Jaka alias Jack. Mas Jaka ini
adalah seorang tuna netra yang lagi studi S2 di Adelaide. Mas Jaka ini orangnya
lucu dan pintar banget. Dia benar-benar menginspirasi. Kalau aku ngobrol sama
dia, lama-kelamaan aku akan lupa kalau dia sebenarnya nggak bisa lihat.
Ngefans berat sama Mas Jaka! |
Sesudah Mas
Jaka, setelah kurang dari 24 jam manggung di Melbourne, naiklah Krisna,
kemudian Pandji. They killed it. Venue-nya Adelaide lebih kecil, lebih intim
dibanding Melbourne. Di hadapan orang-orang Indonesia yang lagi super homesick,
Pandji memberikan apa yang exactly mereka rindukan. Aku yang duduk di samping
bisa melihat tawa orang yang pecah di setiap bit yang dilempar, seolah berkata “Udah
lama banget gue gak ketawa lepas begini!” Aku pun ikut tertawa. I guess this is
why I always laugh even though I already hear the same bit for more than 10
times. Laughing is contagious.
Evangelis "Cabe-cabean". Ajadoss. |
And then, ada
kata-kata dari Pandji yang teramat penting di mana aku sadar what the whole
world tour thing is about (ini hal paling penting di seluruh tulisan panjang
ini, hear hear). Menurut aku pribadi, makna yang terbesar dari world tour ini
bukan sebagai pembuktian bahwa industri kreatif bisa sukses, bukan supaya
Pandji bisa nyombong terutama di depan haters-nya, melainkan kata-kata Pandji
berikut (paraphrase):
“I know that
you live a very comfortable life in Australia. Indonesia mungkin gak senyaman
Australia. Tapi pulanglah dan bangun Indonesia dari apa yang sudah kamu
pelajari di sini.”
Pulanglah ke Ibu yang membutuhkanmu |
Kata-kata itu
bikin aku tertampar banget. Karena sebenarnya sampai sekarang, aku masih kadang
mempertanyakan apakah meninggalkan perantauan yang nyaman 3 tahun lalu itu
adalah keputusan yang tepat. Selama 5 tahun aku merantau, bolak-balik ke acara
komunitas Indonesia, gak pernah ada satu orang pun yang nyuruh kita balik untuk
bangun Indonesia. Tapi berkat pesan dari Pandji kepada masyarakat Indonesia di
Adelaide, aku jadi hakulyakin kalau pulang ke Indonesia adalah hal yang tepat.
Mungkin gak enak, tapi pasti gak salah.
ADELAIDE
Kami dapat
kesempatan main di Adelaide sesudah show #MBWT. Sebelum berangkat, aku tanya ke
teman-teman Melbourne mengenai Adelaide. Mereka bilang, “Ah, Adelaide sepi, gak
ada apa-apa.” Mereka benar, Adelaide sepi. Tapi justru itulah yang membuat
Adelaide istimewa.
Malam hari,
beberapa dari kami pengen cari tempat nongkrong. Kami jalan, jalan, dan jalan,
malah ketemu Victoria Square, sebuah alun-alun di tengah kota Adelaide. Malam
hari jam 8, di situ literally gak ada orang. Cuma ada patung Queen Victoria dan
burung-burung. Cuaca gak terlalu dingin, dan kami duduk di situ dan
ngobrol-ngobrol sambil dengar suara air mancur. Dia bilang, “Gue bisa seharian
di sini”, dan aku bilang, “Adelaide indah banget ya, sayang kita sober.”
Baby I rule, I rule, I rule... |
Speaking of
which, kami jadi terinspirasi untuk beli bir dan kembali ke Victoria Square
untuk ngobrol-ngobrol sambil ngebir di sana. And you know what? Kami ke
beberapa minimarket di sana, dan ternyata mereka gak jual bir karena gak punya
izinnya. “Oh, kayak Karawang ya!” Katanya. Sungguh kota anak alim. Akhirnya
kami tetap ngebolang di Victoria Square dan menemukan ini...
Rezeki anak soleh |
SEPETI PENUH
MAINAN! Ada tenis, bulu tangkis (not bule tongue kiss!), kriket, dan mainan
berbagai jenis bola. Ini semua boleh dimainin gratis. Kami yang sober pun
memilih seru-seruan dengan cara lain, yaitu lempar-lemparan bola. Ternyata,
have fun pun gak harus intoxicated. That night was one of the best moments in
Australia.
Keesokan
harinya, just spending our day in an Australian-way. Aku memulai pagi dengan
misa di Katedral St. Francis Xavier. Setelah itu, kami “ziarah” alias napak
tilas ke apartemennya Raditya Dika dulu (now you know why Raditya Dika bisa
“lahir” di Adelaide, kotanya kondusif banget buat nulis). Setelah itu, kami
keliling Rundle Mall, belanja dan dilanjutkan dengan sesi wajib minum kopi di
Hey Jupiter. Di sana aku ngobrol dengan Mbak Ade, orang Indonesia yang lahir di
Adelaide (mungkin karena itulah namanya Ade). Mbak Ade ini penari yang akan
tampil di Ubud Writers and Readers Festival loh! Ketika aku sedang melakukan
ini, Pandji lagi di luar kafe ngobrol sama bule-bule yang lagi lewat mengenai
Indonesia.
St. Francis Xavier Cathedral |
Ngobrol dan ngopi cantik dengan Mbak Ade yang cantik |
Bukan "Kena deh!" |
Sesudah
ngopi, kami main ke University of Adelaide. Di depan hall-nya yang mirip gereja
tua, tim #MBWT yang sudah “dilepas” oleh panitia mulai gila-gilaan, meski udara
dingin menggigit, mereka tetap semangat bikin foto pose aneh-aneh, video rap,
video ala Michael Bay, dan segalanya yang absurd-absurd. Video rap ini sumpah
lucu banget! Orang-orang yang lewat dan melihat kami mengeryitkan kening dan
berkata dalam hati, “Ini pada ngapain di kampus gue?” Pokoknya kalau DVD
dokumenternya udah keluar, jangan gak beli ya! (Sekalian bantu promosi)
Bertindak sesuka hati, lompat ke sana ke sini |
Malam hari, setelah
makan “A.B” yang terkenal di North Adelaide Burger Bar dan ngopi (!), kami
jalan-jalan ke Elder Park. Di sana banyak angsa! Angsanya bisa jalan sampai ke
darat dan main di rumput! Dan lagi-lagi, tempat itu sepi banget. Aku berpikir.
Sungai dan jembatan yang indah seperti ini ada banyak di seluruh dunia. Tapi
kenapa di Adelaide terkesan istimewa? Oh, aku tahu, karena orang-orangnya! Di
sepanjang sungai itu, aku jalan bareng Mas Jaka yang dituntun Krisna dan ngobrol
banyak soal kehidupannya sebagai tuna netra. He’s the kind of guy you see on
Kick Andy. Santai, tapi menginspirasi.
AB. Aku Begah |
Abbey Road ala ala |
Keesokan
harinya sebelum kembali ke Melbourne lagi, kami jalan-jalan bebas di sekitar
Rundle Mall. Yang cowok-cowok shopping peralatan olahraga dan DVD di JB Hifi
(tempat di mana waktu bagai berhenti), aku malah nemu “the hidden gem” di
Adelaide: ADELAIDE CITY LIBRARY. Woohoo. Kontras banget sama kasino di Adelaide
yang sepi dan lesu, perpustakaan Adelaide itu keren banget. Meski tempatnya gak
begitu gede, tapi isinya lengkap. Ada komputer, ruang musik sekaligus komputer
Mac untuk ngemix, 3D printer, ruang rapat, dan lain-lain. Jatuh cinta deh sama
kota ini.
Nyuruh Krisna fotoin, aku liat hasilnya, dan suruh ulang 50x sampai hasilnya cakep gini. Mamam. |
Meeting jadi hemat dan produktif kan kalau begini! |
Kesimpulannya,
Adelaide is very underrated. It’s the perfect place to go when you’re sick of crowded
and busy city life. Adelaide telah bikin aku mabuk, jatuh cinta, dan ketagihan.
You just want to eat the clouds |
Aku selalu lemah dalam menutup tulisan, karena aku tidak suka perpisahan dengan sesuatu yang kusuka. Tapi, tidak ada pesta yang tidak berakhir, bukan? Siapa saja yang mampu bisa pergi ke Australia, tapi tidak semua orang bisa bagian dari sejarah tur dunia pertama dari standup comedian Indonesia. Untuk itu, aku merasa bangga dan berterimakasih yang sebesar-besarnya pada Garuda Indonesia yang sangat mendukung rangkaian tur ini. Pula pada Pandji serta tim. You are not just a true entertainer, you are a hero to me now.
FAIGK!!!!!!! |