5 Maret 2016 adalah hari yang membahagiakan
karena gue berkesempatan nonton special-nya Margaret Cho, di Singapura, yang
berjudul “There’s no I in team but there’s Cho in psycho” atau disingkat psyCHO.
Margaret Cho itu comic perempuan keturunan Korea asal Amerika, isu yang dibawa
tentang diskriminasi ras, seks, LGBT, dan soal pemerkosaan. Buat gue, ini kedua
kalinya gue nonton special show comic luar setelah Russell Peters.
Dalam satu hari itu, dia show dua kali,
pukul 3 sore dan 8 malam. Gue nonton yang pukul 8 malam dan beli tiket yang
termurah, SGD88 (belum termasuk booking fee 4 dolar dan convenience fee 1,5
dolar), venuenya di Kallang Theatre, modelnya kalo di Jakarta mirip Gedung
Pertunjukan Bulungan tapi lebih tinggi lagi. Jadi gue yang duduk 4-5 baris dari
belakang gak keliatan mukanya Margaret. Venuenya yang berkapasitas 1,744 orang malam itu penuh.
Show yang ditulis mulai pukul 8 ternyata
baru dimulai pukul 8.20. Dan yang bikin gue lumayan kaget adalah show ini
tidak ada openernya. Langsung Unni (Kakak) Margaret pakai kemeja putih dan
celana panjang hitam. Gue sangka dia sombong arogan gitu, taunya enggak, biasa
aja.
Gue kirain gue gak akan ada masalah dengan
bahasa, mengingat gue hampir tidak ada masalah ini sewaktu nonton Russell
Peters. Tapi, gue salah. Gue gak begitu nangkep bit-bit pertama Margaret karena
beberapa hal. Pertama karena istilah yang dipakai agak asing sama gue (jangan
tanya apa, wong nggak ngerti). Yang kedua adalah soal teknis, gue yang duduk
nun jauh di sana nggak begitu kedengeran, dan ketika punchline dan orang
ketawa, suara ketawanya ngalahin suara utamanya. Kayaknya bukan gue doang yang
ngerasa begini, soalnya suaranya langsung dinaikin volumenya. Yang ketiga adalah
bit pembukanya yang ngebahas local content. Satu venue pecah banget ketika
Margaret nyanyi-nyanyi “China Wine, China Wine” sambil joget-joget, gue bingung
apaan. Dan ternyata oh ternyata, dia lagi ngehajar masalah Pdt Lawrence Khong
dan istrinya, Sun Ho yang udah bertahun-tahun ini heboh di Singapura. Gue cuma
tau-tau dikit, sih. Pokoknya si Lawrence ini pendeta di salah satu gereja
Kristen di Singapura, dan beberapa tahun lalu dia kena skandal menggelapkan
uang jemaat. Buat apa uangnya? Buat mendanai karir musik istrinya, jadi
penyanyi hip-hop di Amerika, dan lagunya judulnya China Wine ini. Skandal ini
bikin heboh, karena si Sun Ho ini gak mencitrakan seorang istri pendeta banget.
Di video klipnya ini, si Ibu Pendeta pake baju minim dan joget-joget erotis
sambil digrepe-grepe gitu. Ada koq di Youtube. Nah balik lagi ke Margaret. Dia
protes karena si Lawrence in benci kaum LGBT, dan dia bilang “gue bingung ya,
Singapura ini negara yang sangat liberal, tapi sangat kolot dan religius pada
saat yang sama” (gue terjemahkan dengan gaya comic Indo gapapa yah).
Referensinya ke budaya lokal sangat keren
sih, dan lucu banget. Dia bilang, “Singapur itu bersih banget, di mana-mana
bersihhh banget. Tapi di restorannya ga sediain tissue, seolah semua jadi
bersih secara ajaib”. Lalu dia lanjut soal marijuana. Dia bilang di Colorado,
marijuana itu legal dan bisa ditemukan di mana-mana, kayak Chicken Rice.
Trus dia membahas isu-isu terkini seperti
Donald Trump, keterlibatan dia di serial TV Fresh Off The Boat (my favorite!)
yang adalah serial TV Amerika pertama yang membahas keluarga Asian-American,
trus “orang tua” dia di komedi Robin Williams and Joan Rivers. Ada dua bit
spesifik yang sangat berkesan yang pengen gue bahas, yang pertama, dia membahas
soal kepemilikan senjata di Amerika yang mengakibatkan terjadinya pembantaian
di Virginia. Gue langsung deg-degan, “anjir, topik kayak gini gimana dibikin
lucunya?” Pembantaian ini dilakukan oleh orang Korea dan mengakibatkan 32 orang
tewas. Setelah kejadian itu, Margaret langsung nelpon papanya. “My father was
very upset,” katanya. Lalu dia mulai niruin papanya dengan logat Korea yang
kental, “thirty two people is too many…” *pause* “one or two is okay”. DARRR.
Lalu yang berkesan kedua adalah ketika dia
membahas soal kekristenan, dia bilang Jesus would approve LGBT since he was so
gay. HAHAHA. Dia bilang, “Bayangin Yesus jalan-jalan ke mana-mana sama 12 of
his boyfriends, and he said, “oh you’re drinking water? Here, have some wine.
You’re hungry? Here’s some fishes and bread.” HAHAHAHAHAHA. I’m not offended at
all. Trus dia lanjut dengan, “Bisa bayangin gak, gue dulu itu guru sekolah
minggu. Yes, me, teaching bible to little kids. Makanya gue tau ada bible verse
yang berbunyi, ‘It’s not what goes into your mouth that makes you unclean, but
what comes out of it’ *pause* so, swallow.” DAAAAARRR.
I just love it when people quote bible
verse correctly and they’re able to make a very relevant joke out of it. BTW,
versi Indonesianya dari verse itu (Mat 15:11) berbunyi, “Bukan yang masuk ke
dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah
yang menajiskan orang.”
Lalu masih berhubungan dengan kekristenan,
dia cerita bagaimana “orang tua”-nya dalam komedi meninggal dalam waktu dekat.
Joan Rivers dan Robin Williams. Satu hal yang berkesan banget adalah, dia
cerita bahwa Robin adalah orang yang banyak nyumbang ke orang miskin. Ketika
dia meninggal, Margaret dan teman-teman galang dana untuk cause yang sama, jadi
banyak orang yang ngasih duit ke dia. Suatu hari, ketika dia lagi pegang cash,
dia keluar dari supermarket dan ada seorang gelandangan yang maki-maki dia,
maksa dia untuk ngasih koin 25 sen-an. Alih-alih ngasih 25 sen, dia ngasih
selembar 100 dolar ke orang itu. Orang itu yang tadinya galak langsung berubah,
jadi nangis tersedu-sedu sambil bilang terima kasih. Orang itu bilang, “nanti
kalau lo mati dan diadili di akherat, gue akan berada di sisi lo dan bersaksi
kalau elo udah bantuin gue waktu gue hidup, dan gue minta Tuhan untuk masukin
lo ke surga.” Lalu Margaret bilang: Who’s the Christian now?
Lalu dia menutup set malam itu dengan satu
pesan tentang pemerkosaan. Dia cerita kalau dia korban pelecehan seksual oleh
pamannya sendiri waktu dia umur 5-12 tahun. Gue mikir lagi, anjir, ini gimana
dibikin lucunya. Tapi gue akhirnya tahu gimana caranya bikin sesuatu yang lucu
dari isu yang sangat sensitif, yaitu: ceritain pengalaman pribadi aja, jangan
mewakili orang lain. Kalo yang tadi soal pembantaian di Virginia dia ngebahas
papanya, soal pemerkosaan ini, dia ngebahas bagaimana dia jadi nara sumber di
acara para rape survivors dan dia malah diomelin pesertanya. Ga terlalu lucu
sih, tapi setidaknya aman.
Setelah ngebahas soal itu, dia ngundang
satu pemain gitar dan bilang, “sebelum udahan, gue mau tutup dengan dua lagu,
lagu yang pertama adalah buat Ke$ha (fyi: Ke$ha lagi kena kasus soal
pemerkosaan),” trus yang kedua dia ngajak orang ikut nyanyi bareng, chorusnya
berbunyi, “I want to kill my rapist”. Gue sedih dengernya dan gue gak ikutan
nyanyi.
Total set kira-kira 1 jam 50 menit, lebih
35 menit dari waktu yang dijanjikan (75 menit), dan gue cukup puas. Gue senang
bisa menyaksikan comic internasional yang sangat professional. Kalo gue boleh
menyimpulkan pengalaman gue nonton Margaret Cho dan Russell Peters, yang gue
tangkep adalah:
1.
Tiketnya sangat mahal, timnya
sangat professional, venuenya bagus.
2.
Mereka pinter masukin local
content
3.
Mereka gak pake contekan (or at
least ga ketauan sama gue)
4.
Dan karena itu membuat gue
merasa… mereka seperti ngobrol biasa dengan spontan. Ini yang menurut gue beda
banget sama comic Indo di mana rata-rata masih keliatan banget ngafalnya. Ini
bukan issue sih, tapi gue jadi menyadari aja kalau gaya yang ngalir gitu lebih
enak ditonton. Menurut gue comic Indo yang deliverynya enak ngalir gitu adalah:
Soleh Solihun.
Overall, pengalaman yang menyenangkan.
Nonton performance comic-comic luar bikin lumayan seger karena gue lagi jenuh
sama comic-comic local Indonesia. Semoga cepet kangen lagi.
Cindy
Singapore, 6 March 2016