Udah lama gak nulis soal Quarter Life Crisis (hello... sebenernya udah lama lo gak nulis APAPUN *marahin diri sendiri). Ternyata chapter ini belum berakhir juga. Kirain pas udah masuk umur 26, QLC akan otomatis selesai. Ya keleus segampang itu...
This time, gw mo ngomongin soal struggle di friendship. Belakangan ini, hubungan gw sama temen-temen banyak diuji, dikasih badai yang gak gampang, dan end up jauh seperti yang gw bayangkan waktu gw SMP-SMA. Atau mungkin lebih tepatnya, yang gak pernah gw bayangkan sama sekali.
Ujung-ujungnya, yang dulu deket banget bisa ada konflik dan menjauh, yang dulu sama sekali gak pernah deket malah sekarang nempel. Tapi, ada orang yang selalu ada dari dulu sampai sekarang, gak pernah berubah, dan semoga tidak akan berubah.
Gw jadi tau karakter seseorang yang sesungguh-sungguhnya. Dan cara tau itu, unfortunately, ya dari badai. yang menerjang.
Saat semua aman damai sejahtera bahagia, semua orang cenderung baik dan menyenangkan.
Tapi di saat ada masalah, cara dia menghadapi dan menyelesaikan masalah itulah yang menarik.
Dan di saat itu, yang terpenting adalah teman sejati, atau bahkan seorang mentor, atau bahkan seorang titipan Tuhan (yang terkadang bikin kita terkaget-kaget akan sosoknya!)
Gw pun saat down mencoba berbagai cara. Salah satu cara mainstream yang gw coba adalah menarik diri dari komunitas. Gw kembali ke jalur rohani dan jalur menyendiri dengan baca buku. Tapi pada akhirnya, seseorang teman terkasih bikin gw sadar kalo itu gak gw banget. Gw orangnya tipe extrovert, bawel, aktif, heboh... Gak cocok yang begitu2an. Itu hanya akan bikin gw tambah down.
Then, gw kembali lagi ke komunitas, dengan komitmen harus tau yang mana boleh diomongin, yang mana yang enggak.Yang mana yang harus ditanggepin, yang mana yang nggak. Yang mana yang boleh diambil hati, yang mana yang enggak. Dan yang terakhir, yang mana yang temen beneran, yang mana yang nggak.
Tapi selalu, kenyataan 100000000x lebih susah dari teorinya. Dan itulah, another chapter di Quarter Life Crisis.
This time, gw mo ngomongin soal struggle di friendship. Belakangan ini, hubungan gw sama temen-temen banyak diuji, dikasih badai yang gak gampang, dan end up jauh seperti yang gw bayangkan waktu gw SMP-SMA. Atau mungkin lebih tepatnya, yang gak pernah gw bayangkan sama sekali.
Ujung-ujungnya, yang dulu deket banget bisa ada konflik dan menjauh, yang dulu sama sekali gak pernah deket malah sekarang nempel. Tapi, ada orang yang selalu ada dari dulu sampai sekarang, gak pernah berubah, dan semoga tidak akan berubah.
Gw jadi tau karakter seseorang yang sesungguh-sungguhnya. Dan cara tau itu, unfortunately, ya dari badai. yang menerjang.
Saat semua aman damai sejahtera bahagia, semua orang cenderung baik dan menyenangkan.
Tapi di saat ada masalah, cara dia menghadapi dan menyelesaikan masalah itulah yang menarik.
Dan di saat itu, yang terpenting adalah teman sejati, atau bahkan seorang mentor, atau bahkan seorang titipan Tuhan (yang terkadang bikin kita terkaget-kaget akan sosoknya!)
Gw pun saat down mencoba berbagai cara. Salah satu cara mainstream yang gw coba adalah menarik diri dari komunitas. Gw kembali ke jalur rohani dan jalur menyendiri dengan baca buku. Tapi pada akhirnya, seseorang teman terkasih bikin gw sadar kalo itu gak gw banget. Gw orangnya tipe extrovert, bawel, aktif, heboh... Gak cocok yang begitu2an. Itu hanya akan bikin gw tambah down.
Then, gw kembali lagi ke komunitas, dengan komitmen harus tau yang mana boleh diomongin, yang mana yang enggak.Yang mana yang harus ditanggepin, yang mana yang nggak. Yang mana yang boleh diambil hati, yang mana yang enggak. Dan yang terakhir, yang mana yang temen beneran, yang mana yang nggak.
Tapi selalu, kenyataan 100000000x lebih susah dari teorinya. Dan itulah, another chapter di Quarter Life Crisis.